"Rasanya bangga sekali, disalami kepala negara dan diberi ucapan
terima kasih. Ilmu yang saya miliki ternyata berharga, kalau tidak
dengan merangkai bunga, belum tentu saya bisa masuk Istana," ucap Ike.
Penuturan Ike, panggilan akrab Martinneke, dapat ditemukan dalam
buku bertajuk "Kisah-Kisah Inspiratif: Membuka Mata Hati" yang
diterbitkan oleh Antara Publishing pertama kali pada Desember 2015.
Dalam buku setebal 323 halaman itu, dituturkanlah sebanyak 50
artikel yang ditulis oleh sebanyak 35 jurnalis Lembaga Kantor Berita
Nasional (LKBN) Antara, dari berbagai daerah di Tanah Air.
Kisah tentang Martinneke atau Ike itu dapat ditemukan dalam tulisan
berjudul "Merangkai Bunga Antar Martinneke ke Istana Negara", yang
ditulis oleh Ikhwan Wahyudi, pewarta di LKBN Antara Biro Sumatera Barat.
Di tulisan tersebut, terkuak kisah Hajjah Martinneke yang telah
merangkai bunga di Istana mulai dari Presiden Soeharto, BJ Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang
Yudhoyono.
Dalam artikel Ikhwan dituturkan, kepercayaan untuk menata di Istana
diperoleh ketika Martinneke berhasil tampil sebagai peringkat pertama
lomba merangkai bunga tingkat nasional yang diselenggarakan Ikatan
Perangkai Bunga Indonesia pada 1980.
Ketika itu, di hadapan juri lomba, perempuan kelahiran Padang, 23
Mei 1937 itu mempersembahkan rangkaian bunga yang unik dan berbeda dari
peserta lain, yaitu miniatur rumah adat Minangkabau yang digabung dengan
ucapan "Welcome to Minangkabau".
Jika peserta lomba lain menggunakan bunga yang bagus dan mahal
seperti mawar, anggrek, Ike memilih memakai bunga biasa seperti
heliconia agar karyanya berbeda.
Akhirnya setelah empat kali berturut-turut menjuarai lomba tingkat
nasional, Ike direkomendasikan Ikatan Perangkai Bunga Indonesia menjadi
salah satu perangkai bunga di Istana Negara Jakarta setiap 17 Agustus.
Sedangkan keahlian merangkai bunga diperoleh saat Ike berusia 18
tahun ketika sedang menuntut ilmu Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP).
Salah satu kenangan yang dia ingat antara lain adalah nasihat
almarhumah Ibu Tien Soeharto yang mengatakan, "Majukan terus bunga
Indonesia, pegang keahlian ini terus sampai akhir hayat."
Selain kisah tentang maestro perangkai bunga Martinneke, dalam buku
Kisah-Kisah Inspiratif itu juga ditampilkan banyak sosok yang bakal
menggugah diri para pembaca.
Dalam bagian "Berdaulat Secara Politik", dapat ditemukan misalnya
kisah Wiyono. Ia seorang wirausahawan bidang teknologi dan pengajar SMK
Budi Mulia di Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur. Wiyono dibantu rekan
sejawat dan siswa-siswanya, berhasil mengembangkan heksacopter (pesawat
intai dengan enam baling-baling).
Padahal, SMK Budi Mulia bukanlah sekolah favorit berbiaya mahal. SPP
per bulannya hanya Rp70 ribu bahkan gratis bagi mereka yang benar-benar
tidak mampu.
Selain itu, di bagian ini ada pula cerita tentang Abdul Muhaimin,
lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Makassar yang
dengan idealisme tinggi bertekad untuk mengajar di pelosok terpencil.
Tepatnya di SD Santo Michael Kampung Taniba Riendo, Distrik Fafuruar,
Teluk Bintuni, Papua Barat.
Untuk mencapai perjalanan ke kampung tersebut, Abdul Muhaimin harus
berjalan kaki selama dua hari dua malam. Tidak jarang karena kelelahan,
dirinya harus menginap di hutan.
Ada pula kisah Letnan Kolonel Cpl TNI Simon P Kamlasi, yang fokus
untuk mengatasi persoalan kurangnya air bersih, khususnya di Kepulauan
Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dengan kegigihan yang dimilikinya, pria yang menjabat sebagai Kepala
Seksi Logistik Korem 161/Wirasakti itu telah berhasil memasang 103 unit
pompa hidrolik di hampir seluruh NTT.
Bukan hanya warga NTT saja yang telah menikmati pompa tersebut,
namun beberapa provinsi juga menikmatinya seperti Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur, serta di pulau Jawa khususnya di gunung Kidul
Wonosari.
Akibat keuletannya tersebut pada 27 Januari 2015, ayah empat anak
itu diberi penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) karena
menjadi orang pertama yang memprakarsai pembuatan alat pompa air
hidrolik secara massal.
Pantang menyerah
"Pokoknya saya kerja terus, pantang
menyerah." Kata-kata itu terlontar dari mulut Suprianto, seorang sosok
yang menjadi simbol petani sawit yang sukses di Kecamatan Pangkalan
Lesung, Pelelawan, Riau.
Suprianto yang kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, 1963 itu awalnya
hanyalah seorang kuli bangunan yang memutuskan untuk bertransmigrasi ke
pulau Sumatera bersama dengan istri dan anaknya.
Hanya dengan berbekal pakaian, sedikit perabot dapur, alat
pertukangan, dan sepeda kumbang yang biasa dipakainya, Supri dan Miasih
(sang istri) dam Mawan (anak pertama) yang saat itu masih berusia 5
bulan, berangkat dengan kapal menuju Riau.
Namun sesampainya di lokasi transmigrasi, Supri dan istrinya kaget
karena keadaan di wilayah transmigrasi tidak seperti yang ada di
benaknya.
Hal itu antara lain karena kondisinya terletak sepi di tengah hutan.
Jarak dengan tetangga sangat jauh, begitu pula dengan rumah beratap
seng yang mengakibatkan suhu dalam rumah terasa panas.
Setelah menanam padi, jagung, palawija dan bekerja sebagai tukang
bangunan sekitar 25 kilometer dari rumahnya di lokasi transmigrasi,
ekonomi keluarga Supri mulai membaik dengan menjadi petani sawit.
Saat ini, Supri sudah berhasil menyekolahkan kedua anaknya di
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Ia juga memiliki
investasi berupa 50 hektare kebun sawit di Kalimantan yang
pengelolaannya dipercayakan kepada saudaranya.
Sedangkan total penghasilan Supri kini diperkirakan bisa melebihi gaji direksi bank swasta tingkat menengah.
Selain kisah tentang Suprianto, dalam bagian "Mandiri Secara
Ekonomi" juga dapat ditemukan kisah Mahlan, warga Banjarmasih yang
karena rindunya mencicipi beberapa buah Kalimantan (Borneo) yang dulunya
banyak ditemukan di wilayah Kalimantan Selatan, kini berupaya
melestarikan sejumlah buah-buahan langka lokal itu.
Sejumlah buah-buahan lokal itu antara lain adalah karatongan,
mahrawin atau mantaula yang kesemuanya masih jenis durian. Belum lagi
jenis buah lain seperti famili rambutan seperti siwau dan maritam, dan
jenis mangga-manggaan seperti kasturi, asam tandui, hasam hurang, dan
hambawang pulasan.
Sementara dari tanah Papua, dapat ditemukan pula sosok Yance
Mansnandifu, warga Kabupaten Biak Numfor yang berkat ketekunan usaha
mengelola sampah rumah tangga dapat meraup jutaan rupiah setiap bulan
untuk menambah penghasilan keluarga.
"Dari hasil mengelola sampah ini saya dapat membiayai pendidikan
keluarga dan anak hingga perguruan tinggi. Ini pekerjaan sederhana
tetapi mendatangkan banyak uang," ungkap Yance.
Sedangkan di Sulawesi, ada pula kisah tentang Mbok Sri yang menjadi
ikon industri rumah tangga bawang goreng yang dihasilkan di Palu,
Sulawesi Tengah.
Merek Mbok Sri itu sendiri diambil dari nama Haryo Sriyono, wanita
kelahiran Pakualaman, Yogyakarta, 10 Mei 1932, yang mengenalkan bisnis
bawang goreng melalui usaha industri rumah tanggal di Palu pada 1976.
Saat itu, ibu empat anak ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga
Bob Dunllop, ekspatriat Inggris yang bekerja sebagai konsultan proyek
irigasi milik Kementerian Pekerjaan Umum.
"Setiap hari, setelah tuan Dunllop berangkat kerja, saya pergi
membeli bawang di pasar dan menggorengnya," ujar Mbok Sri, yang setelah
Dunllop kembali ke Inggris, Mbok Sri mulai berusaha secara mandiri.
Dengan mempekerjakan 12 orang karyawan yang sebagian besar
perempuan, usaha rumah tangga Mbok Sri yang kini dikendalikan menantunya
itu kini bisa meraup omzet penjualan antara Rp350-400 juta per bulan.
Di bagian "Berkepribadian Sosial Budaya" dari buku tersebut, dapat
ditemukan misalnya kisah sejumlah orang yang menjadi penyintas tragedi
Tsunami tahun 2004.
Sejumlah penyintas tsunami yang dituturkan antara lain adalah kisah
Dr Edi Darmawan, yang berkeinginan melanjutkan studinya menjadi
spesialis anastesi, setelah menjadi penyintas tsunami ketika dirinya
masih berusia 18 tahun dan tragedi itu mengakibatkan kedua orangtuanya
tidak pernah ditemukan lagi.
Edi mengaku bisa selamat dari tragedi yang merenggut nyawa ratusan
ribu orang itu karena ibunya bersikeras memaksa ia pergi mengaji kendati
saat itu ia sebenarnya ingin tinggal di rumah untuk mengerjakan tugas
kuliah.
"Jangan larut dalam kesedihan, tetapi harus yakin dan berusaha dari
diri sendiri untuk bangkit," kata dr Edi Darmawan yang saat ini bekerja
di Rumah Sakit Zainal Abidin.
Kisah-kisah inspiratif yang membuka mata hati
Senin, 1 Februari 2016 7:45 WIB