Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Bulan baru merupakan bulan gelap, fase pertama
dari siklus peredaran bulan dilihat dari bumi. Saat itu bulan berada
pada satu garis lurus di antara bumi dan matahari (konjungsi/ijtimak).
Bulan yang menghilang ini kemudian muncul kembali dalam bentuk
penampakan bulan sabit pertama (hilal) berbentuk segaris cahaya tipis
melengkung, sesaat sesudah matahari terbenam.
Terjadinya ijtimak disusul penampakan hilal ini menandai dimulainya
bulan baru dalam sistem kalender Islam, suatu penanggalan yang
didasarkan peredaran bulan (lunar/kamariah).
Sistem kalender yang telah digunakan oleh masyarakat tradisional
sejak dahulu kala ini memang lebih bersifat lokal, tergantung pada
pengamatan fenomena bulan baru di masing-masing kawasan.
Indonesia, misalnya, menentukan jatuhnya awal Ramadan, Syawal dan
Zulhijah dengan menggunakan pengamatan di berbagai lokasi di kawasannya
sendiri dari Aceh di ujung barat hingga Papua di ujung timur.
Dengan demikian, Idulfitri di Indonesia bisa berbeda hari dengan
Lebaran di negara lainnya, bahkan bisa berbeda antara satu ormas dan
ormas lainnya meski masih dalam satu kota.
Fakta ini membuat kalangan agamawan muslim dari berbagai kawasan
berkeinginan untuk membuat suatu kalender Islam global dengan kriteria
tunggal yang akan melahirkan satu hari, satu tanggal untuk seluruh
dunia.
Kalender Tunggal
Pada tanggal 28 hingga 30 Mei 2016, telah dilaksanakan Kongres
Penyatuan Kalender Hijriah Internasional yang digelar di Istanbul, Turki
dan dihadiri oleh para pakar syariat Islam, ahli astronomi, pejabat
urusan Islam, dan wakil organisasi Islam dari 60 negara.
Kongres tersebut digagas oleh Badan Urusan Agama Turki bekerja sama
dengan European Council for Fatwa and Research (ECFR), Observatorium
Kandilli dan Islamic Crescents Observation Project (ICOP).
Dari Indonesia, hadir Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan
Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Dr. Syamsul Anwar, astronom dari Lajnah
Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Hendro Sentyanto, M.Si.,
dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H. Muhyidin Djunaedi.
Kongres tersebut merupakan pertemuan terakhir dari rangkaian forum
yang telah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir. Ada lebih dari 10
konsep kalender yang dibahas. Namun, kemudian mengerucut hingga menjadi
dua model, yakni Kalender Bizonal dan Kalender Unifikasi.
Kalender Bizonal akan membagi dunia menjadi dua zona yang
masing-masing zona bisa memiliki hari yang sama dalam memasuki bulan
baru, tetapi juga bisa berbeda tergantung pada visibilitas hilal (imkan
rukyat) setempat.
Kalender Unifikasi menganggap dunia menjadi satu zona (matlak) saja
yang memiliki hari yang sama dalam memasuki bulan baru meskipun di
bagian dunia lain visibilitas hilalnya belum terpenuhi.
Pembahasan kalender yang mengalami perdebatan panjang ini akhirnya
terpaksa berakhir dengan "voting". Kalender tunggal mencapai suara
mayoritas 80 suara, termasuk suara tiga wakil dari Indonesia, sedangkan
kalender bizonal 27 suara, kata wakil Indonesia dari Muhammadiyah Prof.
Dr. Syamsul Anwar.
"Prinsipnya satu hari satu tanggal di seluruh dunia. Dalam hal ini,
imkan rukyat yang terjadi pada suatu bagian dunia akan digunakan
kawasan lain yang tidak mengalami imkan rukyat agar seluruh dunia dapat
memasuki bulan baru pada hari berikutnya," katanya.
Parameternya, awal bulan dimulai serentak di seluruh dunia bila
pada magrib itu hilal dapat teramati dengan kriteria tinggi bulan
sekurangnya 5 derajat dan elongasi bulan (jarak bulan dan matahari)
sekurangnya 8 derajat sebelum pukul 00.00 GMT.
Dengan catatan awal bulan hijriah terjadi jika imkan rukyat terjadi
di mana pun di dunia, asalkan di wilayah paling timur bola bumi
(Selandia Baru) belum terbit fajar.
Alasan pihaknya memilih kalender tunggal, kata Syamsul, antara lain
adanya suatu ibadah dalam Islam yang harus dapat ditanggali sama di
berbagai tempat, contohnya puasa sunat Arafah yang pelaksanaannya harus
pada hari yang sama dengan pelaksanaan wukuf di Arafah pada tanggal 9
Zulhijah.
Sementara itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan
sangat mendukung karena dengan kalender tunggal itu umat Islam
diharapkan tidak akan lagi terkotak-kotak dalam perbedaan saat penentuan
awal bulan Ramadan, Syawal, dan hari wukuf pada bulan Zulhijah.
Adanya kalender tunggal yang telah memperhitungkan penanggalan
hingga puluhan tahun ke depan juga dinilai mempermudah tugas pemerintah
dalam perencanaan infrastruktur, transportasi, hingga perbankan.
Jangka Panjang
Sementara
itu, pakar astronomi yang juga Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (Lapan) Prof. Dr. Thomas Djamaluddin menanggapi positif
Kongres Istanbul itu.
"Sistem tunggal kalender global yang diusulkan ternyata menggunakan
kriteria imkan rukyat yang sangat optimistis di mana posisi bulan cukup
tinggi yang memungkinkan hilal mudah terlihat," katanya.
Namun, menurut dia, keberlakuan secara global pada dasarnya perlu
mengikuti pendapat fikih tentang satu wilayah hukum. Artinya, sistem itu
bisa diterapkan ketika seluruh dunia menyatu sebagai satu otoritas
tunggal atau otoritas kolektif antarnegara.
Pemberlakuannya, kata dia, tidak bisa dalam jangka pendek, dan
lebih baik dengan kesepakatan berjenjang, mulai dari kesepakatan
nasional, regional, hingga global, karena menyatukan yang lokal saja
sulit.
Syamsul membenarkan bahwa, hasil Kongres Istanbul juga masih perlu
dilanjutkan dengan pertemuan berikutnya yang sifatnya lebih teknis dan
dikhususkan kepada pengkajian kriteria kalender unifikatif yang praktis.
Meski demikian, kesepakatan internasional soal kalender Islam
global itu sudah merupakan langkah maju yang sangat berarti dan sedang
menunggu tindak lanjut dan upaya implementasi.
Ketua Islamic Science Research Network (ISRN) Prof. Tono Saksono,
Ph.D. mengatakan bahwa jika kalender Hijriah global ini disepakati untuk
digunakan oleh umat Islam dunia, umat tidak perlu lagi menggunakan
kalender Gregorian sebagai patokan dan bisa membuat penanggalan hijriah
hingga ratusan tahun ke depan.
Sebanyak 11,5 hari selisih dari dua sistem kalender itu menyebabkan
zakat terutang umat Islam secara kumulatif hingga 500 tahun ke depan
mencapai 5 triliun dolar AS, katanya.
Angka terutang ini sungguh besar dan tidak seharusnya umat Islam
abai dan membiarkan saja kondisi tanpa kalender Hijriah ini.
Ditambah lagi kalender Islam global terkait erat dengan
universalisme risalah Islam yang merupakan agama rahmat untuk seluruh
dunia.
Menuju penyatuan penanggalan Islam sedunia
Senin, 20 Juni 2016 11:34 WIB