Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Hari Senin pagi pukul 10.00 WIB, bertepatan pada
20 Oktober 2014 Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla dilantik sebagai
Presiden dan Wakil Presiden dalam Sidang paripurna MPR/DPR/DPD yang
dipimpin oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan.
Dengan dilantiknya itu, maka resmilah Joko Widodo sebagai Presiden
ke-7 RI periode 2014-2019, sehingga hari ini Senin 20 Oktober 2016 sudah
genap memipin bangsa Indonesia selama dua tahun.
Selama dua tahun berjalan inilah para akademisi, praktisi dan
pengamat hukum mempertanyakan, sudahkan Presiden Joko Widodo dan Jusuf
Kalla melaksanakan janjinya melaksanakan reformasi hukum seperti yang
telah dikodifikasikan dalam "buku putih" yang dibalut dengan jargon
program Nawa Cita?
Nawa Cita seperti yang dimuat pada Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2015-2019 terdapat 9 program pemerintahan Joko Widodo
dan Jusuf Kalla yang akan dilaksanakan dalam masa tugas hingga 2019.
Di antara 9 program itu, antara lain, menghadirkan kembali negara
untuk melindungi segenap bangsa, mengembangkan tata kelola pemerintahan
yang bersih, dan terpercaya, membangun Indonesia dari pinggiran dan ke
empat, melakukan reformasi hukum yang dapat menangkal korupsi.
Dari 9 program itu reformasi hukum berada pada tahapan ke empat
setelah agenda membangun Indonesia dari pinggiran. Karena itu wajar jika
dalam dua tahun pemerintahan Jokowi - JK ini dalam dua tahun terakhir
belum banyak menyentuh pada reformasi hukum secara optimal.
Menurut hakim Agung, Topane Gayus Lumbuun lambatnya Pemerintahan Joko
Widodo dan Jusuf Kalla selama dua tahun melakukan reformasi hukum,
bukan karena dirinya tidak serius, tetapi karena masih adanya warisan
para pejabat yang memimpin di lingkungan peradilan kebanyakan
orang-orang jahat, sehingga apa yang dilakukan Jokowi dalam bidang hukum
tidak tampak nyata.
Praktik dunia peradilan kini masih banyak yang melakukan korupsi,
kolusi dan nepotisme. Hal itu, kata Gayus, membuktikan kebenaran
pendapat para pengamat bahwa pemerintahan Jokowi tidak mudah melakukan
reformasi hukum selama masih adanya pejabat lama yang bercokol dalam
pemerintahannya.
Pendapat itu, disampaikan dalam diskusi hukum, dua tahun
pemerintahan Jokowi - JK yang diselenggarakan oleh Asosiasi pimpinan
Perguruan Tinggi Hukum Indonesia, di Jakarta, belum lama ini.
Pendapat Gayus itu mengutip ungkapan Jeffry Winter, pengamat politik
dan hukum dari Northwestern AS menyebutkan, ketika Susilo Bambang
Yudhoyono, sebagai presiden RI ke 6, reformasi memang berhasil membawa
Indonesia sebagai negara cukup demokratis, namun sayangnya tidak diikuti
oleh penguatan pada reformasi hukum, sehingga jika hal itu tidak
dilaksankan maka akan mewarisi pada pemerintahan berikutnya.
Oleh karenanya, kata Gayus, pendapat itu membuktikan kondisi kini
bahwa belum berjalannya reformasi hukum dalam dua tahun pemerintahan
Jokowi karena masih banyak orang-orang jahat yang kini masih berada di
lingkup kekuasaan khususnya di kalangan pengadilan.
Tema yang diusung APPTHI, "2 Tahun Pemerintahan Jokowi - JK
Mengembalikan Marwah Indonesia Sebagai Negara Hukum Kilas Balik
Mandegnya Nawa Cita Bidang Hukum," yang diikuti para dekan Fakultas
Hukum, mahasiswa dan pengamat, dengan menampilkan pembicara, seperti
Prof. Dr. Saldi Isra, guru besar Universitas Andalas, Prof. Dr. Faisal
Santiago, Direktur Program Pasca, Universitas Borobudur Jakarta, dan
pengamat ekonomi dan politik, Dr, Ichsanuddin Noorsi.
Dalam diskusi itu Gayus yang juga guru besar dari Universitas
Krisna Dwipayana menyampaikan masih rendahnya ideks penegakan hukum di
Indonesia. "Indeks korupsi di Indonesia hingga kini masih sangat rendah
yaitu berada di tingkat 52 dari 102 negara dunia yang dilakukan survei
oleh NGO.
Oleh karenanya, setelah sukses melakukan berbagai program ekonomi,
termasuk meluncurkan Tax Amnesti, Presiden Jokowi - JK pada tahun ke
tiga ini akan mulai masuk mereformasi bidang hukum dalam pemberantasan
korupsi dan pungutan liar yang masih menjamur di negara Indonesia,
sehingga dapat memperbaiki indeks korupsinya.
"Jangan dilihat kecilnya nilai pungutan liar itu, tetapi hadirnya
Jokowi dalam penangkapan Pungli di lingkungan Departemen Perhubungan
belum lama ini hanya memberikan sinyal bahwa dia akan mulai masuk
membereskan pungli-pungli itu karena untuk yang korupsi sudah
didelegasikan ke lembaga KPK," kata Gayus yang juga mantan Komisi III
DPR itu.
Senada dengan itu, Prof. Saldi Isra, mengatakan, tidak mudah
mengukur keberhasilan Jokowi dalam melakukan reformasi bidang hukum
selama dua tahun pemerintahannya, karena antara hukum dan ekonomi sangat
berbeda.
Program ekonomi mudah dapat dilihat indikator dan keberhasilannya,
namun untuk hukum tidak cukup jika hanya dilihat selama dua tahun
berjalan ini.
Tetapi, kata Saldi, selama dua tahun, Joko Widodo dan Jusuf Kalla
memipin, belum ada indikator yang mengarah pada refomasi hukum secara
jelas. Mungkin saja pada tahun ketiga ini beliau akan serius dan akan
kita lihat hasilnya akhir tahun nanti.
Prof. Saldi juga mengatakan, pada tahun pertama, Jokowi sibuk
melakukan konsolidasi politik ke DPR guna meningkatkan dukungannya,
tahun kedua menyasar sektor ekonomi, karena itu pada tahun ke tiga ini
mari kita tagih janjinya yang dimuat dalam Nawa Cita itu agar segera
diwujudkan.
"Terus terang saja, program hukum di Nawa Cita sangat rinci
dibading program hukum Presiden sebelumnya, namun jika hal itu tidak
dilaksanakan, maka akan terjadi sama saja, bahwa indonesia akan gagal
membangun budaya hukum, atau legal culture yang masih mandeg."
Hukum dalam persepsi Saldi, dalam dua tahun ini masih terabaikan,
bahkan mungkin masih terbanyangkan. Itu sebanya, momentum dua tahun ini
sudah dilewatkan oleh Jokowi - JK.
Nawa Cita Hukum
Pengamat ekonomi dan politik Ichsanuddin Noorsy berpendapat lain.
Pemerinatahan Jokowi - JK sesungguhnya tidak perlu ada Nawa Cita atau
Tri Sakti sebagai jargon-jargon politiknya. Yang penting bagi rakyat
kebanyakan, Jokowi - JK melaksanakan sumpah janjinya sebagai presiden
yang tidak akan melanggar konstitusi dan adil terhadap rakyatnya.
Dalam sumpah jabatan kala itu Jokowi - JK menyebutkan, "Demi Allah
saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang
Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan
selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa."
Menurut Ichsan, Pemerintahan Jokowi dalam membangun program ekonomi
lebih menguntungkan kepada kelompok penguasaha karena jika di bedah,
maka isinya adalah orang-orang kapitalis yang tujuannya mengejar rente.
Termasuk dalam meluncurkan program Amnesti Pajak, hanyalah melegalkan
harta dari orang-orang yang selama ini berbuat salah tetapi diampuni.
"Mestinya tugas mengampuni orang-orang salah itu ranahnya di
pengadilan, bukan di eksekutif, tetapi saya tidak mengerti mengapa
begitu," katanya.
Ketua APPPTHI, Dr. Laksanto Utomo dalam
sambutan penutupannya mengatakan, sebagai kelompok akademis, pihaknya
akan terus membuka forum-forum diskusi ilmiah, khususnya kajian hukum,
termasuk juga mengritisi dan memberikan solusi jika ada yang tidak jalan
dalam melaksanakan agenda reformasi hukum.
"Nawa Cita adalah janji Presiden Jokowi, karenanya jika ada yang
belum dilaksanakan mari kita dukung tanpa harus menghilangkan sikap
kritis sebagai akademis, bahwa katakan salah meskipun itu berat,"
katanya.
Ia juga menyampaikan, APPTHI telah memprakarsai Eksaminasi putusan
PK atas Sudjiono Timan yang menganulir putusan Kasasi dari 15 tahun
penjara menjadi bebas. Atas eksaminasi itu, kata Laksanto, agar hukum
tidak mudah disalah gunakan oleh orang--orang yang tidak punya kejujuran
dan integritas dalam membangun bangsa yang lebih demokratis dan adil.
Negeri ini dibangun oleh para pendiri yang penuh kejujuran, oleh
karenanya jangan sampai dipimpin oleh orang-orang yang tak mampu
memaknai keadilan itu sendiri."
Dua tahun pemerintahan Jokowi dalam sorotan hukum
Sabtu, 22 Oktober 2016 20:30 WIB