Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Setelah melewati dua kali rapat kerja dan lima
kali rapat Panitia Kerja (Panja), akhirnya substansi Rancangan
Undang-Undang mengenai Revisi UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE) rampung dibahas dan disetujui oleh Panja
DPR RI.
Rancangan UU ITE telah diselesaikan pembahasannya dalam pembicaraan
Tingkat I pada 20 Oktober 2016, dengan keputusan menyetujui untuk
diteruskan ke tahap selanjutnya yaitu Pengambilan Keputusan atau
Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI.
Selanjutnya pada 26 Oktober 2016, Rapat Paripurna DPR RI menyetujui
revisi Rancangan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (RUU ITE) untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyampaikan terima
kasih dan apresiasi kepada Tim Pemerintah di bawah pimpinan Prof Dr
Henri Subiakto, Sekjen Kementerian Kominfo Farida Dwi Cahyarini dan Plt
Dirjen Aplikasi Informatika Mariam F Barata yang telah mengawal
pembahasan RUU ini hingga rampung di tingkat Panja.
Setelah disahkan oleh DPR, selanjutnya Presiden menuangkannya dalam
berita negara dan undang-undang yang telah mengalami perubahan itu pun
akan langsung berlaku.
Menurut Menkominfo Rudiantara, perubahan UU ITE ini hanya dilakukan
dalam beberapa hal saja, yang bertujuan supaya bisa menyesuaikan dengan
dinamika teknologi dan tidak ada pihak yang bisa memanfaatkan UU ITE
untuk melakukan kriminalisasi pada pihak lain.
Terdapat tujuh muatan materi pokok revisi UU ITE yang diharapkan
mampu menjawab dinamika tersebut. Ketujuh hal tersebut adalah:
Pertama, menambahkan sejumlah penjelasan untuk menghindari multi
tafsir terhadap ketentuan penghinaan/pencemaran nama baik pada pasal 27
ayat 3.
Ada tiga perubahan dalam pasal tersebut yakni menambahkan penjelasan
atas istilah "mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik".
Kemudian menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan
bukan delik umum, serta menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan
tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang
diatur dalam KUHP.
Kedua, menurunkan ancaman pidana pencemaran nama baik, dari paling
lama enam tahun menjadi empat tahun, dan denda dari Rp1 miliar menjadi
Rp750 juta. Selain itu, juga menurunkan ancama pidana kekerasan pasal
29, sebelumnya paling lama 12 tahun, diubah menjadi empat tahun dan
denda Rp2 miliar menjadi Rp750 juta.
Ketiga, melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi atas pasal 31 ayat 4
yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau
penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang.
Kemudian menambahkan penjelasan pada ketentuan pasal 5 ayat 1 dan ayat 2
mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagai alat bukti hukum yang sah.
Keempat, melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada pasal 43
ayat 5 dan ayat 6 dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, yakni
penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin
Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan
KUHAP.
Selain itu, penangkapan penahanan yang semula harus meminta
penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1x24 jam,
disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
Kelima, memperkuat peran penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) UU ITE
pada pasal 43 ayat 5, dengan menambahkan kewenangan untuk memutuskan
akses terkait tindak pidana teknologi informasi dan kewenangan meminta
informasi dari penyelenggara sistem elektronik terkait tindak pidana
teknologi informasi.
Keenam, menambahkan ketentuan "right to be forgotten" pada pasal 26,
yaitu kewajiban menghapus konten yang tidak relevan bagi penyelenggara
sistem elektronik. Pelaksanaannya dilakukan atas permintaan orang yang
bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan, dan setiap penyelenggara
sistem elektronik juga wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi
Elektronik yang sudah tidak relevan.
Ketujuh, memperkuat peran pemerintah untuk mencegah penyebarluasan
konten negatif di internet, dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada
ketentuan pasal 40 yakni pemerintah wajib melakukan pencegahan
penyebarluasan Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang.
Pemerintah juga berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau
memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan
pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar hukum.
Lindungi Masyarakat
Ketua Tim Antar-Kementerian
untuk pembahasan Revisi UU ITE Henri Subiakto mengharapkan UU ITE yang
baru dapat lebih bermanfaat dan melindungi masyarakat di dunia maya.
"Revisi UU ITE yang diajukan pemerintah ini bertujuan supaya
masyarakat terlindungi hak dan nama baiknya, tanpa juga mengharuskan
mereka kehilangan ruang untuk berkomunikasi," ujar Henri.
Berkurangnya ancaman hukuman pidana pencemaran nama baik, dari enam
tahun menjadi empat tahun, sengaja dilakukan supaya tersangka yang
diduga melanggar UU ITE tersebut tidak perlu ditahan selama persidangan
berjalan, sebab mereka juga belum mendapatkan keputusan bersalah secara
hukum. Hal itu pun berkesesuaian dengan KUHAP.
Henri menambahkan, dengan ketentuan ini, maka masyarakat tak perlu
khawatir menyampaikan aspirasinya di dunia maya. Namun, pasal tentang
pencemaran nama baik tetap dipertahankan.
"Pasal pencemaran nama baik juga merupakan perlindungan negara bagi
masyarakat, dengan begitu masyarakat juga terjaga hak dan nama baiknya.
Pencemaran nama baik yang dimaksud itu seperti fitnah, misalnya," tutur
Henri.
Tepis KekhawatiranSementara itu, Kepala Divisi
Riset dan Jaringan LBH Pers, Asep Komaruddin, menilai pasal hak orang
untuk dilupakan kesalahannya (right to be forgotten) yang dimasukkan
dalam UU ITE dikhawatirkan mengancam kebebasan pers.
Menurut Asep, pasal tersebut dikhawatirkan akan menjadi problem baru
karena ketentuan itu menjadi alat ganda pemerintah di samping adanya
kewenangan penapisan konten.
Penambahan pasal tersebut dikhawatirkan akan dimanfaatkan pemerintah
untuk menyensor pemberitaan media. Ketentuan ini dinilai bisa berakibat
negatif karena dapat menjadi alat baru untuk melakukan sensor atas
berita publikasi media dan jurnalis di masa lalu.
Pasal hak orang untuk dilupakan kesalahannya dinilai bertentangan
dengan UU Pers, khususnya pasal 4 ayat 2, karena ketentuan tersebut
tidak memiliki aturan yang rinci dalam memberikan hak seseorang
menghapus berita negatif.
Dengan demikian, potensi penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran menjadi besar dan mungkin disalahgunakan.
Menjawab kekhawatiran tersebut, Henri Subiakto menegaskan, pasal
"right to be forgotten" atau hak orang untuk dilupakan kesalahannya,
tidak mengebiri kebebasan pers.
Pasal right to be forgotten itu tak serta merta bila si pemohon
datang lalu dikabulkan, tetapi masih ada waktu verifikasi satu sampai
tiga tahun untuk pelaksanaannya.
Nantinya setelah pengadilan melakukan verfikasi laporan tersebut,
barulah diputuskan boleh atau tidaknya pemberitaan orang tersebut yang
dulunya ditetapkan sebagai tersangka dihapus.
"Kami juga paham dengan adanya kebebasan pers makanya pengadilan
verifikasi dulu. Tapi kan juga harus dipikirkan orang yang dirugikan
akibat pemberitaan di masa lalu yang sudah tak relevan dengan kondisi
dirinya saat ini," kata Henri Subiakto menjawab kekhawatiran tersebut.
Oleh karena itu, penerapan pasal terkait hak untuk dilupakan dalam UU ITE akan diperjelas melalui peraturan pemerintah (PP).
Di sisi lain, sejumlah pihak menilai seharusnya penyebaran informasi
di internet disikapi oleh pejabat publik sebagai sebuah kritik,
sehingga mereka harus hati-hati dalam melakukan tindakan.
Pemerintah tampaknya harus jeli merumuskan penjelasan mengenai hal
tersebut dalam PP karena selama PP belum terbit, maka tafsir atas pasal
itu berlaku secara umum, yakni berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat,
termasuk pejabat negara.
Melindungi masyarakat melalui UU ITE
Selasa, 8 November 2016 10:51 WIB