Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Umat Islam Indonesia telah berhasil membuktikan
Aksi Bela Islam jilid 3, pada 2 Desember (212), 2016 berlangsung
tertib dan damai, walau diikuti jutaan orang yang datang dari berbagai
penjuru tanah air untuk sholat Jumat dan berdoa bersama di lapangan
Monas, Jakarta. Ini menepis telak anggapan bahwa Islam itu beringas,
keras, dan susah diatur.
Alhamdulillah, segala puji kepunyaan Tuhan Seru Sekalian Alam,
unjuk rasa yang tercatat terbesar dalam jumlah peserta (ada yang
menyebut sampai sekitar tujuh juta), di Indonesia, bahkan mungkin di
dunia, berlangsung aman dan terkendali (The greatest show of peaceful
force). Padahal, sejumlah pengamat dan aktivis politik, memprediksi
bakal terjadi "sesuatu".
"Sesuatu" itu adalah revolusi sosial, karena kumpulan orang sebesar
itu di suatu lokasi berpotensi besar untuk menyulut keributan dengan
berbagai alasan. Apresiasi perlu disampaikan kepada pimpinan umat Islam
yang tergabung dalam MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan organisasi lain
yang telah mampu mengendalikan suasana serta kepatuhan peserta kepada
para ulama. Dan, tentu tidak adil, kalau tidak mengapresiasi kinerja
Polisi, TNI dan aparat keamanan lainnya.
Kehadiran Presiden Jokowi ikut Shalat Jumat bersama dan
apresiasinya kepada peserta aksi damai patut juga dihargai. Mungkin itu
bentuk "kepiawaian" politik Jokowi, mungkin juga bagian dari kesepakatan
Kapolri dan pimpinan MUI sebelumnya untuk menyelenggarakan unjuk rasa
yang dijuluki "Super Damai" 212.
Mengacu Super Semar, singkatan Surat Perintah Sebelas Maret, orang
yang suka iseng menyebut "Super Damai" adalah singkatan Surat
Persepakatan (untuk ber-) Damai.
Ada pihak yang mengklaim "upaya berbulan-bulan para ulama hapus
selesai dengan satu langkah Jokowi dan Habib Riziek mati kutu".
Sebaliknya, yang pro-Aksi Damai 212, bilang Jokowi gentar menghadapi
jutaan Muslim. Ya, jangan cepat bilang begitu!
Kompromi dalam deal politik adalah wajar. Jangan mengira
pemerintah, yang selama ini mengesankan pro-Ahok, tidak melihat aksi
damai sebagai "move" politik. Demikian pula, pihak non-Ahokers melihat
gerakan pemerintah sebagai aksi tandingan.
Gerakan itu meliputi sejumlah anjangsana Presiden, Kapolri dan
Panglima TNI ke berbagai pihak yang dianggap berpengaruh plus pengerahan
massa yang diberi label "gelar budaya" untuk menjaga Bhinneka Tunggal
Ika, Pancasila dan NKRI, yang dicap oleh non Ahokers sebagai "aksi pelat
merah" dan ditengarai didukung para pengusaha dan media massa utama.
Kedua belah pihak sudah sama-sama cerdas, masing-masing tahu kartu
lawannya. Dan, ini yang wajib disyukuri, pimpinan dan pengikut kedua
belah pihak ternyata sama-sama mencintai kedamaian dan persatuan
Indonesia dalam wadah NKRI yang berdasar Pancasila.
Pihak yang kecele adalah para provokator yang berharap terjadi
chaos yang menyulut revolusi sosial. Yang mungkin agak bingung adalah
para wartawan, baik nasional maupun asing.
Mau menulis atau melaporkan apa? Maklum, wartawan umumnya tertarik
menyiarkan sesuatu yang dramatis dan dahsyat. Sesuatu yang berlangsung
damai atau biasa-biasa saja, itu bukan news (berita).
Langkah pasca-Aksi 212
Apakah Aksi Super Damai 212 dengan kehadiran Presiden Jokowi bisa
menghentikan gelombang badai politik nasional? Pengamat politik yang
jeli akan menjawab: "Belum tentu". Alasannya, watak gerakan politik yang
mengadopsi premise "kawan atau lawan", pantang menyerah sebelum tujuan
masing-masing tercapai, sebagian atau seluruhnya.
Selalu ada jalan tengah, kedua belah pihak tidak ingin kehilangan
muka. Biasanya, terjadi tawar-menawar. Tidak ada yang menang mutlak.
Apalagi, pihak Ahokers sejak beberapa hari sebelum Aksi Damai 212 sudah
merencanakan Aksi 412 (4 Desember, 2016) di Bunderan HI (Hotel
Indonesia) yang diharapkan dihadiri oleh lima juta peserta.
Karyawan kementerian dan lembaga pemerintah serta sejumlah
perusahaan besar milik para taipan, konon dikerahkan. Ini dianggap aksi
tandingan. Namanya, kok mirip, meniru atau mengekor Aksi Damai 212 atau
411 (4 November 2016)? Biar saja, sama pinter nya kok. Di jaman serba
hoax ini, copi-mengcopi, bahkan copas (copy-paste) lumrah.
Setiap aksi akan mendapat reaksi seperti Aksi 212 dan 411.
Begitupun nanti dengan Aksi 412. Apalagi, tuntutan GNP MUI agar Ahok
ditangkap (ditahan) dan dipenjara karena dituduh melakukan tindak pidana
penistaan agama (Islam) belum dipenuhi. Ia baru ditetapkan sebagai
tersangka oleh kepolisian dan kasusnya sudah di P21.
Bola sekarang di tangan Kejaksaan Agung. Non Ahokers juga sudah
mengantisipasi Ahok akan bebas dari tuntutan hukum. Alasannya, Jaksa
Agung Prasetyo berasal dari partai pendukung pemerintah. Sekalipun
Presiden menyatakan tidak akan intervensi, seperti dijelaskan
Menkopolhukam Wiranto sesuai Shalat Jumat bersama peserta Aksi 212,
orang juga paham, kalau Presiden memberi isyarat tertentu.
Jaksa Agung akan menurut
Jadi, bola sekarang persisnya di depan kaki Jokowi. Presiden dan
pendukungnya juga tahu, puncak tuntutan non Ahokers adalah Jokowi harus
turun, karena Jokowi-Ahok dianggap satu paket. Kalau satu jatuh, satunya
juga harus turun. Oleh sebab itu, aksi tandingan akan berlanjut.
Bahkan terdengar, akan ada "Aksi Lempar Jumroh" untuk mengusir
setan pakai (dengan) batu (kerikil). Apa yang terjadi kini adalah
sejarah yang berulang: kaum nasionalis versus Islam seperti tahun
1950-an.
Kini kaum nasionalis, yang didukung kelompok non Islam dan
pengusaha, melawan Umat Islam, yang menyebar di sejumlah partai
beraliran Islam, non Islam dan massa mengambang. Dulu Komunis (PKI)
menangguk keuntungan pada Pemilu 1955.
Telah terkooptasinya sejumlah (pimpinan) partai Islam oleh
pemerintah tidak berarti menyurutkan persatuan umat Islam, jika
menyangkut soal akidah, walau ada perbedaan tafsir, aliran, mahzab dan
organisasi. Aksi 212 membuktikan itu. Bahkan, ditengarai banyak PNS yang
beragama Islam ikut aksi itu atau minimal menyatakan simpati.
Apa pun, harus disyukuri Aksi Super Damai 212 telah menunjukan
bangsa Indonesia, yang mayoritas Islam, termasuk presiden, telah lulus
dalam "test terberat" dalam sejarah politik Indonesia.
Orang yang beriman percaya, itu semua berkat campur tangan Allah,
yang mendengar doa bersama 212. "Kami tidak minta kepada Presiden, tapi
langsung kepada Allah, yang menciptakan Jokowi," ungkap seorang ulama.
Jika kedua belah pihak bersikeras untuk bereaksi dengan alasan demi
perubahan, kapan ini akan selesai dengan biaya berapa? Ahok hanya pintu
masuk. Pada dasarnya, pihak satu menuntut perubahan sistem.
Politik dan ekonomi berkeadilan yang pro mayoritas rakyat, bukan
lebih pro golongan tertentu yang minoritas. Satunya, yang minoritas,
dengan dukungan uang banyak, ingin dapat giliran berkuasa. Mumpung ada
yang bisa dijadikan "super hero", bahkan martir.
Jalan tengahnya: Tanpa makar, tetap NKRI berdasar Pancasila seperti
diputuskan Bung Karno dan para Pendiri Bangsa Indonesia tahun 1945.
Syaratnya: Ahok ditahan (biar tidak membuat pernyataan yang dapat
menyulut aksi lagi), kasus hukumnya diproses secara adil dan transparan.
Kalau ia terbukti bersalah, dijatuhi hukuman. Tapi, jangan
berat-berat dan hak-haknya sebagai WNI tetap dijamin. Yang dipertaruhkan
NKRI, bukan hanya jabatan gubernur dan Presiden.
Rapopo, ngono, ya ngono, ning ojo ngono (Gak apa-apa, begitu ya
begitu, tapi jangan begitu) alias win-win. Lalu, bagaimana? Pak Jokowi,
Wong Solo, mengerti itu.
*Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin
Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama
Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.
Muslim Indonesia buktikan cinta ketertiban, kedamaian, NKRI
Minggu, 4 Desember 2016 23:34 WIB