Jakart (ANTARA GORONTALO) - "Total belanja hari ini berapa Pak?" tanya Galis
Ramona, seorang pegawai administrasi di sebuah lembaga pemerintahan.
"Total Rp164.646 Mbak," kata Deny yang menjadi asisten dapur.
Galis lalu membulatkan total belanja tersebut menjadi Rp165.000 pada laporan keuangan harian.
Hal itu karena petugas pasar swalayan secara sepihak membulatkan
tagihan belanja tersebut menjadi Rp165.000, dan memberikan Rp35.000
sebagai uang kembalian dari pembayaran Rp200.000
"Hilang deh tuh puluhan rupiahnya, kalau sehari tiga kali belanja
untuk makan, sayang kan. Apalagi kalau sebulan," ujar Galis.
Galis mengaku hampir setiap malam berkutat dengan pembukuan
pengeluaran kas operasional. Ketika sudah lelah karena bekerja seharian,
dia harus menjaga konsetrasi agar tetap teliti untuk mencatat laporan
keuangan.
Tak jarang, dia lembur bekerja hingga hari berganti, agar tiada pekerjaan tersisa untuk esok hari.
"Kalau langsung dibulatkan nilai rupiahnya, laporan keuangannya kayak jadi perkiraan, nanti bisa membengkak," ujarnya.
Sedangkan Wida Wulasari, seorang pekerja konsultan kehumasan yang
kerap berpergian ke luar negeri, merasa miris ketika berbelanja di
negara lain.
Sebelum pergi, dia terkadang merasa heran mengapa harus
mengeluarkan nominal rupiah begitu besar untuk ditukarkan dengan nominal
mata uang negara lain yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
"Ketika di Malaysia, saya merasa nilai mata uang rupiah kita kok
lemah sekali. Karena mengeluarkan 10 ringgit di sana, kita harus
menghabiskan Rp30.000. Bayangkan 30.000 dengan 10," ujar Wida.
Banyaknya digit pada nilai nominal rupiah saat ini bukan tanpa
sebab. Kondisi fundamental perekonomian Indonesia pasca-kemerdekaan yang
terus bergejolak telah mendegradasi nilai tukar rupiah. Hal itu
diperparah dengan hiper-inflasi yang menembus 1136 persen pada 1966.
Pada 1966, rata-rata nilai tukar rupiah sebesar Rp415 per dolar AS.
Bandingkan dengan 1944 ketika nilai tukar rupiah hampir setara dengan
dolar AS atau sebesar 1,88 per dolar AS. Menurunnya nilai tukar rupiah
terus bersambung hingga rupiah kini sekitar Rp13.300 per dolar AS.
Merebaknya wacana redenominasi rupiah sejak 2010 membuat Wida dan
Galis menaruh harapan bahwa aksi penyederahanaan nominal rupiah tersebut
bukan basa-basi. Redenominasi merupakan penyederhanaan nilai nominal
mata uang dengan mengurangi digit tanpa mengurangi nilai riil mata uang
tersebut.
Dengan redenominasi, Galis berharap kegiatannya yang selalu
berkutat dengan uang akan lebih efisien. Sedangkan Wida, sebagai Warga
Negara Indonesia yang kerap melancong ke luar negeri, berharap
redenominasi dapat meningkatkan martabat rupiah ketika dibandingkan
dengan mata uang asing.
Wacana redemonimasi rupiah pertama kali mencuat pada 2010, saat
Bank Indonesia dipimpin Pejabat Sementara Gubernur BI Darmin Nasution.
Darmin saat itu berpendapat redenominasi telah menemui momentumnya,
karena pertumbuhan ekonomi Indonesia terus melaju, bahkan melebihi 6,0
persen. Laju inflasi pun terjaga. Di samping itu, Indonesia akan
dihadapkan pada integrasi ekonomi Asia Tenggara.
Rencana BI adalah redenominasi rupiah dilakukan dengan
menghilangkan tiga angka nol pada nilai uang, harga barang, maupun upah.
"BI melihat sudah momennya untuk dibicarakan. Ini prosesnya akan
sangat panjang. Kita sekarang ini pertumbuhan ekonominya relatif baik.
Meski sedang inflasi karena ada kenaikan cabe keriting dan hal lain,
tapi masih terkendali," kata Darmin saat itu. Kini Darmin menjabat
sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Wacana redenominasi tidak berjalan mulus. Kemunculannya menimbulkan
pro-kontra. Apalagi tidak sedikit negara yang gagal melakukan
redenominasi.
Munculnya redenominasi juga kerap disalahartikan dan disamakan
dengan tindakan sanering, atau pengguntingan nilai rupiah yang
mengurangi daya beli masyarakat pada dekade 1950 dan 1959.
Di tengah pro dan kontra tersebut, dari 2010 hingga 2013, BI dan
pemerintah mencoba meyakinkan DPR bahwa sosialisasi terhadap masyarakat
tentang manfaat redenominasi akan terus dilakukan. Peta jalan transisi
redenominasi pun sudah disiapkan BI.
Pada awal 2013, pemerintah yang masih dipimpin Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) mengirimkan Rancangan Undang-Undang Redenominasi
yang diberi nama RUU Perubahan Harga Rupiah ke DPR.
Namun, rupanya momentum sudah lewat. Pada tahun terakhir masa
kepemimpinan Presiden SBY itu, para anggota dewan lebih memilih fokus
untuk konsolidasi memasuki tahun politik menjelang Pemilihan Umum
(Pemilu) 2014.
Lagi pula pembahasan redenominasi rupiah membutuhkan kondisi
ekonomi dan politik yang stabil. Gonjang-ganjing politik menjelang
Pemilu 2014 saat itu dirasa membuat pembahasan redenominasi tidak akan
kondusif dan rawan disisipi kepentingan politik.
Dua tahun berselang, BI melihat peluang pembahasan redenominasi
kembali terbuka. Diduga penyebabnya, laju inflasi sepanjang 2016 terus
terkendali. Reformasi struktural perekonomian pun diyakini BI akan
memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi pada 2017.
Deputi Gubernur BI Ronald Waas mengungkapkan harapannya agar
pembahasan redenominasi dengan parlemen dapat dilanjutkan. BI dan
pemerintah, kata dia, sudah mengusulkan kepada DPR agar redenominasi
masuk dalam Prolegnas pada 2017.
Menurut Ronald, ketika pembahasan dimulai, BI, pemerintah dan DPR
dapat menentukan masa transisi dan masa pemberlakuan redenominasi
rupiah. Yang penting, seperti diharapakannya, redenominasi ini dapat
segera dibahas.
"Yang penting undang-undangnya kalau bisa diketok, disepakati, soal
diberlakukan mulai kapan bisa diatur di undang-undang," kata Ronald, 30
November 2016.
Peta jalan untuk pemberlakuan redenominasi yang disiapkan BI adalah
dengan pembahasan RUU Perubahan Harga Rupiah pada 2017. Jika pembahasan
beres, maka RUU tersebut dapat disahkan menjadi UU pada 2018. Dua tahun
setelah itu, BI akan menyiapkan infrastruktur dan mencetak uang rupiah
baru dengan tiga digit yang telah dihilangkan.
Setelah itu, pada 2020-2024, BI dan pemerintah menerapkan masa
transisi. Dalam masa transisi, uang sebelum redenominasi dan uang
setelah redenominasi masih berlaku.
"Pada 2025, impelentasi sepenuhnya, sudah semua redenominasi," kata
Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI
Farida Peranginangin, 3 Desember 2016.
Namun harapan agar redenominasi dapat dibahas tahun depan tampaknya
kandas. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Subagyo kepada
Antara, mengatakan RUU Perubahan Harga Rupiah tidak akan masuk Prolegnas
2017.
Pasalnya, kata Firman, Komisi XI DPR, yang membidangi Keuangan dan
Perbankan, tidak menyetujui redenominasi menjadi prioritas.
Saat dimintai keterangan, Anggota Komisi XI DPR Hendrawan
Supratikno membenarkan RUU Perubahan Harga Rupiah tidak akan masuk
Prolegnas sebagai RUU Prioritas pada 2017. Namun menurut Hendrawan,
ditolaknya redenominasi sebagai prioritas justeru karena pertimbangan
dari Baleg.
Hendrawan mengatakan pertimbangan Baleg adalah situasi ekonomi dan
politik domestik belum kondusif untuk membahas RUU Redenominasi.
Hendrawan menerima pertimbangan tersebut.
Dia mengatakan jika mulai dibahas pada 2017, redenominasi ini rawan
dianggap sebagai sanering, karena sosialisasi yang belum masif kepada
masyarakat. Hendrawan juga mengungkapkan sebagian besar fraksi partai
politik di DPR menilai pembahasan redenominasi pada 2017 rentan disisipi
kepentingan politik.
"Idealnya redenominasi dibahas satu tahun setelah Pemilu. Jadi
tepatnya pada 2020, setelah Pemilu 2019. Itu pertimbangan fraksi," kata
dia.
Sanering dalam Perjalanan rupiah
Perjalanan rupiah menjadi saksi bisu bagaiamana bangsa ini berusaha
berdaulat dan lepas dari jeratan penjajah di era kolonial. Pada 29
Oktober 1946, proklamator RI Mohammad Hatta berpidato lantang bahwa
keesokan harinya, Oeang Republik Indonesia (ORI) merupakan satu-satunya
alat pembayaran yang sah di Tanah Air.
"Mulai pukul 24 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini
sebagai uang yang sah, tidak laku lagi. Beserta dengan uang Jepang itu,
ikut pula tidak laku, uang Javasche Bank...." kata Hatta seperti dikutip
dari Jurnal Bank Indonesia mengenai Sejarah Sistem Pembayaran.
Namun ORI tidak berlaku lama. Selang tiga tahun kemudian, Indonesia
menetapkan rupiah sebagai mata uang kebangsaannya yang baru. Sayangnya,
masa awal pemberlakuan rupiah ini dibarengi dengan kondisi ekonomi yang
tidak mengenakkan.
Pasca-kemerdekaan, kondisi ekonomi domestik tidak stabil. Utang
pemerintah menumpuk, inflasi tinggi dan harga barang melambung. Kondisi
ini memaksa Menteri Keuangan saat itu, Syafrudin Prawiranegara,
melakukan sanering.
Sanering saat itu diterapkan dengan menurunkan nilai nominal rupiah
menjadi setengah dari nilai semula, namun tidak dibarengi dengan
penyesuaian pada nilai barang dan jasa. Alhasil, meskipun dapat membantu
kondisi makro-ekonomi dan fiskal pemerintah, sanering juga berdampak
negatif kepada masyarakat karena menurunkan daya beli masyarakat.
Atas kejadian lampau itu, menurut Peneliti Institute For
Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira,
pemerintah harus memastikan terlebih dahulu bahwa publik memahami bahwa
redenominasi yang kini direncakan sangat berbeda dengan sanering.
Sosialisasi harus dilakukan menyeluruh ke seluruh pelosok Indonesia
untuk mencegah kesalahpahaman. Jika timbul kesimpang-siuran informasi
tentang redenominasi, dikhawatirkan timbul kepanikan dalam masyarakat.
Kepanikan tersebut akan berujung pada gejolak ekonomi.
"Idealnya dua tahun setelah sosialisasi dari sekarang, pemerintah dan DPR baru membahas redenominasi," kata dia.
Redenominasi memang sudah jamak dilakukan banyak negara. Ada negara
yang sukses menerapkan redenominasi seperti Turki, yang berhasil
mempertahankan stabilitas ekonomi dan mengendalikan laju inflasi kurun
2005-2012. Namun, banyak juga yang gagal seperti yang terjadi di Ghana.
Menurut jurnal BI yang bertajuk "Penentu Keberhasilan Redenominasi
Mata Uang: Pendekatan Historis dan Eksperimental", setelah redenominasi,
masyarakat Ghana terjebak dalam "trivalization" atau kecenderungan
masyarakat yang enggan menuntut uang kembalian dari penjual.
Hal itu disebabkan tidak adanya uang sen yang disiapkan otoritas di
Ghana. Frekuensinya pun terus meningkat karena masyarakat juga
menganggap harga barang menjadi lebih murah setelah redenominasi,
sehingga mengakibatkan peningkatan transaksi.
Alhasil, setelah redenominasi, tingkat inflasi di Ghana meningkat
lima persen. Faktor lain penyebab kegagalan redenominasi di Ghana karena
70 persen uang yang beredar berada di luar perbankan.
Indonesia, setidaknya sudah tiga kali didera gejolak akibat
penyederhanaan nilai nominal pada rupiah ini. Sanering dilakukan pada
1950 dan 1959, kemudian redenominasi pada 1965.
Gubernur BI Agus Martowardojo saat masih menjadi Menteri Keuangan
mengakui sanering dan redenominasi di era lampau tidak sukses. Maka dari
itu, wacana redenominasi memang perlu aksi tanpa basa-basi, melainkan
perlu muatan solusi. Karena nyatanya penyederhanaan nilai nominal rupiah
tidak sederhana.
Namun harapan redenominasi wajar jika masih mendekam dalam benak
masyarakat Indonesia seperti halnya Wida dan Galis. Sejatinya uang
rupiah adalah salah satu simbol NKRI. Tidak salah jika nilai rupiah yang
bemartabat menjadi impian setiap masyarakat Indonesia.
Redenominasi butuh aksi bukan basa-basi
Senin, 12 Desember 2016 15:37 WIB