Opini masyarakat mancanegara terbentuk oleh pemberitaan pers mancanegara
maka mereka meyakini bahwa kasus dugaan penistaan agama di belahan
akhir 2016 sebagai bukti bahwa bangsa Indonesia adalah rasis dan
penindas kaum minoritas.
Demi meluruskan anggapan keliru terhadap bangsa saya, maka saya
menulis naskah berdasar fakta yang saya alami dan amati dalam kehidupan
pribadi saya.
Jika Anda kebetulan setuju dengan anggapan bahwa bangsa Indonesia
rasis dan penindas kaum minoritas,maka sebaiknya jangan baca naskah ini
karena pasti akan tidak berkenan bagi Anda.
Saya dilahirkan di Pulau Bali yang berada di dalam wilayah negara
Republik Indonesia. Semula saya tidak sadar bahwa secara etnis-biologis
ternyata saya tergolong keturunan China dengan nenek moyang saya (yang
tidak saya kenal) dilahirkan di negara China.
Pertama saya sadar bahwa saya keturunan China pada masa pasca G-30-S
di mana sekolah saya dibakar dan warga keturunan China termasuk ayah
kandung saya ikur dibantai.
Lalu saya mengalami huru-hara rasialis di kota Semarang pada awal
dekade 1980-an abad XX di mana kantor di mana saya bekerja dilempari
batu, mobil saya dibakar dan rumah saya nyaris dijarah kaum kriminal.
Kemudian saya dihajar kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Banyak pihak
menganggap bahwa huru-hara rasialis di Indonesia sebagai manifestasi
antietnis China. Namun saya tidak setuju berdasar fakta pada justru tiga
kali huru-hara yang saya alami selalu saya diselamatkan bukan oleh
warga keturunan China yang masing-masing tentu saja lebih berusaha
menyelamatkan diri sendiri.
Saya selalu diselamatkan oleh teman-teman yang kebetulan warga bukan
keturunan China yang lazim disebut sebagai pribumi. Jika bangsa
Indonesia rasis maka mustahil almarhum kakek saya diberi kesempatan
mendirikan Jamu Jago sebagai perusahaan obat tradisional bukan China
namun Indonesia yang Insya Allah, pada tahun 2018 akan mendirgahayu
usianya yang ke-100.
Jika bangsa Indonesia rasis maka mustahil Kwik Kian Gie, Marie
Pangestu, Ignatius Jonan, Enggariasto Lukita, Thomas Lembong bisa
menjadi menteri.
Jika bangsa Indonesia rasis maka mustahil Tan Joe Hok, Rudy Hartono,
Liem Swie King, Susi Susanti, Alan Budikusuma dan lain-lain bisa
mengembangkan bakat masing-asing sehingga bisa menjadi juara-juara
dunia.
Jika bangsa Indonesia rasis, mustahil sukma saya tergerak
menciptakan komposisi-komposisi musik bersuasana kebudayaan Indonesia di
panggung gedung kesenian terkemuka Esplanade Singapura, Sydney Opera
House, dan Carnegie Hall.
Jika bangsa Indonesia rasis maka mustahil saya bisa bersahabat
dengan teman-teman saya yang bukan keturunan China seperti Gus Dur, Cak
Nur, Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Sukarnoputeri, Joko Widodo,
Jusuf Kalla, Boediono, Prabowo Subianto, Hashim Joyohadikusumo,
Moeldoko, Gatot Nurmantyo, Agus Wijoyo, Hidayat Nur Wahid, Gus Mus, Din
Syamsuddin, Emil Salim, Salim Said, Harjono Kartohadiprojo.
Selanjutnya HS Dillon, Kobalen, Frans Magnis Suseno, Idwan Suhardi,
Mahfud MD, Ninok Leksono, Laode Kamaruddin, Purnomo Yusgiantoro, Siti
Musdah Mulia, Wardah Hafids, Sandyawan Sumardi, Ilarius Wibisono, Habib
Rieziq, Daeng Mansur, Aagym, Titiek Puspa, Suka Harjana, Iravati
Sudiarso.
Selain itu, para jamu gendong , pengojek, seniman wayang orang
Bharata, Swiwedari, Swargaloka, para pemusik angklung, sasando,
kolintang Minahasa, warga Luar Batang, Kalijodo, Kampung Pulo, Bukit
Duri, dan lain-lain warga Indonesia bukan keturunan China, tanpa pernah
timbul masalah berbau rasis.
Toleranberadab
Berdasar pengalaman dan pengamatan selama 68
tahun hidup di Indonesia, maka saya meyakini bangsa Indonesia adalah
bangsa yang ramah, santun, toleran, beradab, halus budi-pekerti yang
selalu siap menjalin keBhinneka-Tunggal-Ikaan dengan semangat saling
mengerti, saling menghormati dan saling menghargai.
Maka saya pribadi berani mengambil kesimpulan bahwa pada hakikatnya di Indonesia tidak ada masalah rasialisme.
Yang ada adalah masalah kecemburuan sosial akibat kesenjangan sosial
terlalu lebar antara yang kaya dengan yang miskin. Selama kesenjangan
sosial masih hadir secara terlalu menganga di Indonesia maka sentimen
SARA selalu siap terpicu untuk membara bahkan meledak menjadi kekerasan.
Sebagai warga Indonesia yang dilahirkan di Indonesia, maka saya
wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat bukan Tanah Leluhur saya nun
jauh di China namun Tanah Air saya yaitu Indonesia demi mengejawatahkan
makna peribahasa Di Mana Bumi Dipijak, Di Sana Langit Dijunjung.
Mohon dimaafkan apabila keyakinan berdasar pengalaman hidup saya
pribadi terkesan naif serta terlalu sederhana akibat sanubari saya
memang naif dan sederhana.
Sanubari saya selalu menghayati syair lagu Indonesia Pusaka mahakarya
Ismail Marzuki : "INDONESIA TANAH AIR BETA, PUSAKA ABADI NAN JAYA.
INDONESIA SEJAK DAHULU KALA. SELALU DIPUJA-PUJA BANGSA. DI SANA TEMPAT
LAHIR BETA. DIBUAI DIBESARKAN BUNDA. TEMPAT BERLINDUNG DI HARI TUA.
TEMPAT AKHIR MENUTUP MATA".
*) Penulis adalah seniman dan budayawan, warga negara Indonesia.
Indonesia tanah air beta
Sabtu, 17 Desember 2016 16:33 WIB