Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Lima dari sembilan spesies hiu berjalan ada di
Indonesia berdasarkan penelitian oleh Conservation International (CI)
bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Western Australian
Museum, dan California Academy of Science terhadap sembilan spesies hiu
berjalan.
CI melalui siaran persnya di Jakarta, Kamis, mencatat
bahwa dalam penelitian tersebut ditemukan daerah sebaran spesies hiu
berjalan di cincin utara Benua Australia, Papua Nugini, perairan Papua
Barat, Halmahera dan Aru.
Empat spesies endemik atau hanya ada di Indonesia, antara lain
adalah Hiu Berjalan Raja Ampat (Hemiscyllium freycineti), Hiu Berjalan
Teluk Cendrawasih (Hemiscyllium galei), Hiu Berjalan Halmahera (Hemiscyllium halmahera), dan Hiu Berjalan Teluk Triton Kaimana (Hemiscyllium henryi).
Sedangkan, satu spesies lainnya, yaitu Hemiscyllium trispeculare ditemukan di perairan Aru Maluku, namun spesies ini hidup juga di pantai utara dan barat Benua Australia.
Spesies ini disebut sebagai hiu berjalan karena gerakan siripnya
seperti hewan melata, terutama di perairan dangkal, dan umumnya bisa
dilihat pada malam hari.
Kelompok hiu berjalan secara taksonomi sering disebut dengan hiu bambu (bamboo shark) dan termasuk dalam genus Hemiscyllium.
Hiu berjalan endemik Indonesia dari jenis Hemiscyllium freycineti
ditemukan pertama kali di Raja Ampat pada tahun 1824. Pada tahun 2008,
H. henryi ditemukan di perairan Kaimana dan H. galei ditemukan di Teluk
Cenderawasih.
Sedangkan, H. halmahera ditemukan perairan Halmahera pada tahun 2013.
Temuan yang didukung oleh Mark Erdmann dan Gerald Allen dari CI dan
Western Australian Museum ini merupakan perkembangan hasil temuan
sebelumnya yang menunjukkan daerah sebaran yang luas di bagian utara
Benua Australia, Papua Nugini, hingga Seychelles di Samudra Hindia dan
Pulau Solomon di Pasifik.
Pengawasan secara berkala yang dilakukan oleh CI di perairan Papua
Barat menyimpulkan bahwa populasi hiu berjalan berada dalam ancaman
serius karena daerah sebarannya yang terbatas daripada perkiraan
sebelumnya.
Spesies unik itu berpotensi mendapat ancaman lebih besar, seperti
penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab, tumpahan minyak,
peningkatan suhu, bencana, seperti angin siklon dan tsunami, kerusakan
pantai, pembangunan wilayah pesisir dengan cara reklamasi, serta
perkembangan industri pariwisata yang tidak memperhatikan keberlanjutan
lingkungan.
Marine Program Director CI Indonesia Victor Nikijuluw
mengungkapkan, selain hiu konvensional dan hiu paus yang menjadi daya
tarik pariwisata, hiu berjalan adalah daya tarik lainnya.
Menurut dia, dengan melakukan penyelaman dangkal (snorkling) atau berperahu di perairan dangkal, maka seseorang dapat menjumpai hiu berjalan.
Namun, ia pun khawatir karena spesies itu mudah ditemukan, maka ancaman keberlanjutan hidupnya juga semakin besar.
Oleh karena itu, ia berpendapat, sebaiknya spesies itu tidak
diganggu ketika seseorang berwisata di pesisir, dan jangan merusak
terumbu karang serta padang lamun yang merupakan habitat serta tempat
hiu memijah.
Kerusakan habitat dapat mengancam kelestariannya, sedangkan bila
dikonservasi dengan baik maka kehadiran spesies ini akan menjadi pesona
pariwisata yang unik dan meningkatkan nilai pariwisata, kata Victor.
Ia
menuturkan, CI akan terus bekerjasama dengan penduduk lokal, pemerintah
daerah dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam melakukan
penelitian dan upaya-upaya konservasi spesies-spesies hiu berjalan.
Rencana Aksi Nasional (RAN) yang sudah dirumuskan terhadap spesies
hiu akan diperluas cakupannya, termasuk hiu berjalan. Selain itu,
pembangunan pariwisata secara berkelanjutan di Kabupaten Raja Ampat dan
Kaimana, Papua Barat akan terus memperhatikan keberlanjutan spesies yang
unik ini.
Pakar hiu dari LIPI, Fahmi, menjelaskan bahwa sebaran hiu berjalan
yang terbatas disebabkan karena spesies itu memiliki sifat biologi yang
unik, seperti kemampuan berenang yang terbatas dan amat tergantung pada
habitat dan kedalaman tertentu sehingga tidak sanggup bergerak jarak
jauh dan tidak memiliki potensi sebaran yang tinggi.
Selain itu, ia mengemukakan, tipe reproduksi dari kelompok hiu ini
adalah dengan meletakkan telurnya pada substrat tertentu untuk kemudian
menetas dan berkembang menjadi individu dewasa pada habitat yang sama.
Fahmi mengatakan hasil temuan ini akan dikomunikasikan kepada
pemerintah daerah sebagai pengelola kawasan pesisir untuk mendorong
perlindungan bagi spesies hiu berjalan di Indonesia.
Menurut dia, sejauh ini baru spesies Hemiscyllium freycineti yang
ada di Raja Ampat dan dilindungi oleh Perda No. 9 Tahun 2012 mengenai
Larangan Penangkapan Ikan Hiu, Pari Manta, dan Jenis-jenis Ikan Tertentu
di Perairan Laut Raja Ampat.
Padahal, ia menilai, menanggapi ancaman yang dihadapi oleh spesies
hiu berjalan, maka perlu ada perlindungan yang menyeluruh terhadap semua
spesies hiu berjalan yang ada di Indonesia.
Saat ini kelompok hiu berjalan merupakan kelompok ikan hiu yang
sering dijadikan ikan hias dan memiliki nilai jual tinggi di pasaran
internasional.
Beberapa negara maju, dinilainya, bahkan sudah melakukan upaya budi daya spesies hiu berjalan untuk kepentingan komersial.
Perlunya upaya pengelolaan terhadap jenis hiu ini dan habitatnya
amat diperlukan, agar jangan sampai jenis hiu tersebut banyak ditemukan
di akuarium-akuarium ikan hias namun sulit ditemukan di habitat aslinya,
demikian Fahmi.
Lima spesies hiu berjalan ada di Indonesia
Kamis, 12 Januari 2017 22:21 WIB