Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Walaupun Donald Trump dinilai banyak pihak
sangat kontroversial, dianggap rasis, dan mendapatkan tudingan negatif
lainnya, saat ia dilantik selaku Presiden Amerika Serikat (AS) di
Washington DC pada 20 Januari 2017, semua mantan Presiden AS hadir dalam
acara pelantikan presiden di negara "Paman Sam" itu.
Itulah tradisi demokrasi Amerika. Para mantan Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan AS yang masih hidup hadir pada acara pelantikan
Trump. Tidak peduli mereka dari partai lawan atau partai kawan.
Ada Jimmy Carter yang sudah tua, ada George Bush, dan ada Bill
Cinton dengan istrinya Hillary, serta tentu ada Barack Obama dengan
istrinya, Michell Obama.
Mereka hadir menghormati sang presiden baru, Donald Trump. Para
mantan presiden itu kompak hadir, menunjukkan kesatuan AS. Ini sudah
menjadi tradisi lama mereka. Menjadi tradisi yang indah dalam demokrasi
di Amerika.
Kendati pada pemilihan presiden di negara itu bersaing ketat,
saat salah satu terpilih, semua hadir menyatu atas nama kepentingan
negara dan demokrasi.
Apakah tradisi baik seperti ini juga ada di Indonesia? Di negeri
ini politik sering masuk sebagai persoalan personal. Perbedaan politik
acapkali menjadi konflik personal. Maka tak heran kalau tradisi
menghadiri pelantikan presiden dan upacara resmi kenegaraan sering tidak
dihadiri para mantan presiden.
Ada lagi tradisi demokrasi yang bagus di AS, yaitu mantan
presiden tidak lagi tampil dalam wacana-wacana politik. Secara etis
mantan presiden tidak boleh mengkritik penggantinya di depan publik.
Kita sulit menemukan kritikan George Bush pada Barack Obama. Atau
kritikan Bill Clinton pada George Bush. Nanti Obama pun harus
menghindarkan diri dari sikap mengkritik Trump. Itu sudah menjadi etika
tak tertulis.
Di Indonesia, etika mantan presiden mundur dari kancah politik
semacam itu disebut pak Harto sebagai "lengser keprabon mandeg pandito".
Soeharto setelah lengser tidak mau berkomentar tentang politik,
apalagi kritik pada presiden penggantinya.
Pak Habibie yang biasa hidup dalam budaya Jerman, juga tidak
pernah mengkritik presiden-presiden setelahnya. Gus Dur juga mencoba
membangun tradisi itu. Walau Gus Dur diturunkan saat menjabat, setelah
lengser ia tidak menyerang atau mengkritik penggantinya.
Tetapi apakah tradisi itu berlanjut? Anda bisa melihat sendiri
bagaimana sikap Bu Mega dan Pak SBY dalam beberapa tahun terakhir ini.
Para negarawan sebagai tokoh-tokoh demokrasi memang sudah
seharusnya memegang teguh etika dan mengembangkan sikap-sikap
kenegarawanan.
Justru tidak elok kalau para mantan presiden itu saling kritik
atau saling serang dengan penggantinya, hanya karena kepentingan
politik praktis sesaat.
*Penulis, Guru Besar Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya
Etika politik para mantan presiden Amerika
Senin, 23 Januari 2017 19:32 WIB