Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Ahli Ushul Fiqih IAIN Raden Intan Lampung Ahmad
Ishomuddin membantah telah terlibat briefing atau pertemuan pengarahan
dengan tim kuasa hukum Ahok sebelum ia bersaksi dalam sidang lanjutan
Ahok pada Selasa (21/3).
"Bukan briefing, saya kan
diundang untuk pertama kalinya dalam sidang ini. Saya belum pernah
mengikuti sidang seperti ini, apalagi jadi saksi ahli agama," kata Ahmad
seusai memberikan keterangannya dalam sidang ke-15 Ahok di Auditorium
Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa.
Ia pun mengaku hanya bertanya kepada tim kuasa hukum Ahok karena dirinya baru pertama kali diundang dalam persidangan.
"Karena tidak pernah, takut bingung makanya saya bertanya. Seperti
itu saja, tidak ada briefing hanya meminta petunjuk saja, bagaimana
seharusnya sikap saya," ujarnya.
Sementara itu, I Wayan Sidarta, anggota tim kuasa hukum Ahok
menyatakan pun membantah pihaknya telah melakukan pertemuan terlebih
dahulu dengan ahli tersebut.
"Tidak ada briefing-briefing begitu, cuma dia bertanya karena tidak paham letak dan kapan sidangnya di mana," ucap Wayan.
Sebelumnya, dalam persidangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sempat
menyinggung soal pertemuan yang dilakukan tim kuasa hukum dengan ahli
itu.
"Kenapa saudara ahli bisa di-briefing terlebih dahulu?," tanya salah satu anggota tim JPU dalam persidangan Ahok.
"Itu bukan briefing cuma pemberitahuan kapan sidangnya dilaksanakan," jawab Ahmad.
Dalam persidangan itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Utara sempat mempertanyakan terkait pekerjaan ahli sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dan Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) yang tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
"Saya hadir di tempat ini bukan mewakili PBNU bukan mewakili MUI
juga karena saya juga salah satu Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI dan juga
bukan mewakili instansi tempat saya bekerja, saya hadir sebagai
pribadi," ucap Ahmad.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5
tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan
perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau
beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti
tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau
beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal,
keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya
lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama
yang dianut di Indonesia.
Saksi ahli bantah ada briefing dengan pengacara Ahok
Selasa, 21 Maret 2017 23:08 WIB