Jakarta (ANTARA GORONTALO) - KPK melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap
mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad
Tumenggung, tersangka kasus korupsi dalam pemberian surat keterangan
lunas kepada Sjamsul Nursalim senilai Rp4,8 triliun sehingga merugikan
negara Rp3,7 triliun.
"KPK telah melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap tersangka
SAT. Informasi yang kami terima pencegahan dilakukan sejak 21 Maret 2017
untuk enam bulan setelah pencegahan itu dilakukan," kata Juru Bicara
KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu.
Febri menjelaskan sejak penyidikan dilakukan dalam kasus tersebut
KPK sudah mengagendakan pemeriksaan terhadap tiga orang saksi.
"Pada 17 April diagendakan pemeriksaan terhadap Rizal Ramli, saat
itu saksi tidak hadir dan akan dijadwalkan ulang kemudian pada 20 April
diagendakan pemeriksaan saksi Kwik Kian Gie yang bersangkutan datang
memberi keterangan, dan pada 25 April diagendakan pemeriksaan saksi
Artalyta Suryani tetapi tidak hadir tentu kami akan lakukan pemanggilan
kembali," kata Febri.
Lebih lanjut, Febri menyatakan dalam proses penyelidikan sudah dilakukan permintaah keterangan terhadap 32 orang.
"Jadi 32 orang ini termasuk yang saat ini sudah menjadi tersangka,
yaitu Syafruddin Arsyad Tumenggung. Unsur-unsur saksi dari pihak BPPN,
dari pihak Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), dari pihak
Kementerian Keuangan, pihak Bank Indonesia, dan pihak Sekretaris
Negara," ucap Febri.
Febri juga mengatakan mulai pekan depan KPK akan kembali melakukan
pemanggilan saksi-saksi termasuk saksi-saksi yang belum hadir pada
pemeriksaan 17 April dan 25 April 2017.
Syafruddin selaku ketua BPPN diduga menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau
sarana padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
perekonomian negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku
pemegang saham pengendali BDNI pada tahun 2004.
Atas penerbitan SKL itu diduga kerugian negara sekurang-kurangnya
Rp3,7 triliun. Terhadap SAT disangkakan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.
20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1
KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan
perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau
korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling
banyak Rp1 miliar.
BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia
kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter
1998. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini atas dasar perjanjian
Indonesia dengan IMF.
Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5
triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis
tersebut. Namun, penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan
ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp138,4
triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan.
Terkait dengan dugaan penyimpangan dana tersebut, sejumlah debitur
diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung. Akan tetapi, Kejaksaan
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada para
debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN berdasarkan
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan
kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya
atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya
berdasarkan pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden RI Megawati
yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri
Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Menteri BUMN
Laksamana Sukardi. Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah
menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban
pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan
sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Dalam penyelidikan kasus ini, KPK sudah memeriksa sejumlah pejabat
pada Kabinet Gotong Royong 2001 s.d. 2004, yaitu Menteri Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) 2001 s.d. 2004 Laksamana Sukardi, Kepala Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, Menteri
Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001 s.d. 2004
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian
periode 2000 s.d. 2001 Rizal Ramli, Menteri Keuangan 1998 s.d. 1999
Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999 s.d. 2000 dan Kepala Bappenas
2001 s.d. 2004 Kwik Kian Gie.
Mantan Kepala BPPN dicegah ke luar negeri
Rabu, 26 April 2017 21:57 WIB