Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Waktu saya duduk-duduk santai di bawah pohon besar bersama
seluruh karyawan inti di halaman Pabrik Gula Kwala Madu, Langkat,
Sumatera Utara, Jumat sore lalu, tiba-tiba angin sangat kencang
menerjang kawasan itu. Debu, pasir, dan dedaunan kering ikut menerpa
kami. Sebagian debu masuk hidung, mata, dan mulut yang lagi terbuka.
Omong-omong serius menjelang malam ke-21 bulan puasa sore itu
terhenti seketika. Masing-masing sibuk mengucek mata, membersihkan
rambut, dan meludah dari mulut yang kering. "Ini memang lagi musim
angin. Angin bahorok," ujar GM Pabrik Gula Kwala Madu sambil
gaber-gaber. Setelah angin reda omong-omong diteruskan. Sambil was-was
akan datangnya bahorok berikutnya.
Angin kencang seperti itu, langsung menjadi topik "tadarus ramadhan"
yang hangat di bawah pohon sore itu. Juga tentang panjangnya musim
hujan di situ. Sebuah tantangan berat yang harus diatasi. Sulit sekali
menanam tebu di iklim seperti itu. PG Kwala Madu selalu sulit mengejar
prestasi pabrik-pabrik gula di Jawa.
"Tanahnya memang tidak cocok untuk tebu," ujar Dirut PTPN 2, Batara
Moeda Nasution yang mendampingi saya. Karena itu Belanda dulu hanya mau
bikin pabrik gula di Jawa.
"Tanaman tebu, memerlukan iklim yang teratur, perlu batas yang
tegas antara musim hujan dan musim kemarau, dan harus ada waktu yang
nyaris tanpa hujan sama sekali selama empat bulan terus menerus," ujar
Dr Aris Toharisman saat saya telepon dari bawah pohon di Langkat itu. Dr
Aris adalah Direktur Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia
(P3GI) di Pasuruan, Jawa Timur.
Tapi pabrik gula ini sudah terlanjur ada. Kapasitasnya terlalu
besar untuk ditutup: 4.000 tcd. Waktu itu, pemerintah Orde Baru memang
berambisi untuk swasembada gula. Banyak pabrik baru didirikan. Di Sulsel
tiga pabrik, di Sumut dua, dan satu di Kalsel. Yang di Sulsel
didirikan di Takalar, Bone, dan Camming. Ketika tiga pabrik ini
mengalami kesulitan yang panjang, orang menyebutnya terkena TBC, sesuai
dengan huruf pertama nama tiga lokasi itu.
Alhamdulillah, sejak tahun lalu yang dua pabrik (TB) sudah membaik,
tinggal yang C yang masih batuk-batuk. Ini karena lahan tebunya tidak
cukup lagi akibat diduduki masyarakat di awal reformasi dulu.
Tentang satu pabrik yang di Kalsel, inna lillahi wa inna ilaihi
rajiun, sudah wafat. Pabriknya sudah jadi besi tua dan di atas
kuburannya kini ditanami sawit. Sudah tidak bisa dihidupkan. Mayatnya
pun di dalam kuburnya sudah tinggal tulang-belulang.
Sedang dua yang di Sumut, ya itu tadi. Jadi sumber kerugian besar
yang berkepanjangan. Tapi saya bertekad untuk tidak menutupnya, terutama
yang di Kwala Madu. Tahun lalu perbaikan manajemen sudah mulai
menunjukkan hasil. Untuk pertama kali dalam 20 tahun terakhir bisa
mencapai rendemen 7. Tapi untuk lebih dari itu harus dicari jenis tebu
yang cocok.
Saya masih yakin ilmu pengetahuan yang kini sudah begitu majunya
akan bisa mengatasinya. Tantangannya memang sangat besar dan banyak.
Tapi justru di situlah asyiknya. Ilmu pengetahuan, disiplin tinggi, dan
kerja keras harus jadi solusi.
Tahun lalu saya sudah meningkatkan anggaran penelitian tebu menjadi
Rp5 miliar dari sebelumnya, selama bertahun-tahun, hanya Rp1 miliar.
Tahun ini saya minta ditingkatkan lagi menjadi Rp10 miliar. Ahlinya
cukup memadai. Ada lima doktor di situ. Di bawah Dr Aris yang selalu
lulus cum laude di tiga jenjang pendidikan tingginya. S1-nya IPB jurusan
tanah, S2-nya di NSW Autralia bidang bioteknologi, dan S3-nya di Ulm,
Jerman, di bidang teknologi pangan.
Putra kelahiran Kuningan tahun 1966 ini memang baru saya terjunkan memimpin tim riset ini tahun 2012 lalu.
Intinya: harus ditemukan bibit tebu jenis "preman medan". Jangan
sekali-kali menanam tebu biasa. Jenis tebunya harus yang sekaligus tahan
atas semua persoalan yang panjang ini: tahan angin (batang harus kaku),
tahan hujan, tahan hama penggerek batang raksasa, tahan hama penggerek
batang garis-garis, tahan penyakit daun hangus, penyakit busuk batang,
penyakit pembuluh luka api, dan banyak lagi.
Tidak ada penyakit tebu lebih banyak dari di Medan ini. Mengatasinya
pun amat sulit. Ibarat komplikasi penyakit obatnya harus saling
bertentangan. Ini ibarat sakit gula komplikasi dengan liver. Yang satu
jangan minum gula, yang satu lagi perlu banyak gula.
Tapi, sekali lagi saya masih yakin ilmu pengetahuan bisa mencarikan
jalan keluar. Dr Aris sudah punya kesimpulan. "Tebunya harus dari jenis
tebu liar," katanya. Yakni perkawinan antara tebu yang baik dengan
rumput liar sejenis glagah. Varitas itu sudah dilahirkan di laboratorium
P3GI dengan kombinasi lebih dari 20 jenis. Semuanya lagi diuji coba di
Kwala Madu.
Yang mana di antara 20 kombinasi itu cocok ditanam di Medan, baru
akan diketahui dua bulan lagi. Kini tanaman uji coba itu baru berumur
empat bulan. Kesimpulan baru bisa dibuat setelah tanaman berumur enam
bulan. Semoga berkah Lailatul Qadar bisa sampai ke tanaman tebu.
Jumat-Sabtu-Minggu kemarin saya memang ke Medan, Pangkalan Susu,
Langkat, Jember, Lumajang, dan Surabaya. PLTU Pangkalan Susu yang sangat
besar itu, baik ukurannya (2x200 MW), lebih-lebih persoalannya,
alhamdulillah sudah memasuki tahap uji coba. Saat saya berkunjung ke
situ turbin unit 2 sedang diuji. Berapa jam kemudian saya mendapat
laporan turbinnya sudah berhasil diputar maksimal: 3.000 rpm. Ada
harapan besar krisis listrik di Medan berakhir di 100 hari terakhir
kabinet Presiden SBY.
Hari itu, setelah Jumatan di Masjid Tuan Guru Basilam, ke Pabrik
Gula Kwala Madu, dan ke pesantren Syech Marbun Medan, saya langsung ke
Surabaya, Jember, dan Lumajang. Di Surabaya, tahun ini PT SIER (Persero)
kembali menjadi tuan rumah khataman Quran oleh 1.500 hufadz (orang yang
hafal Al Quran 30 juz).
Di Jember saya ke Pabrik Gula Semboro. PG ini tidak hanya berhasil
bangkit tapi juga bisa menghasilkan kristal terbaik. Lalu syukuran di
pesantren Bustanil Ilmu Al Gozali yang berambisi menjadi "Pondok Gontor
di Timur".
Setelah dhuhuran di rumah Rais Syuriah NU Jember KH Muhyiddin
Abdusshomad, saya ke Lumajang untuk meninjau PG Jatiroto. Di sinilah
saya harus menjawab pertanyaan sulit para petani tebu: mengapa di saat
petani lagi sangat bergairah, kok gula rafinasi impor membanjiri pasar
secara masif.
Saya tertegun menghadapi pertanyaan itu. Lama saya terdiam. Tidak ada kekuatan di bibir saya untuk membuka mulut. (*)
Semangat tebu preman dan bibir terkatup
Senin, 21 Juli 2014 18:18 WIB