Sleman (Antaranews Gorontalo) - Pemerhati kesehatan masyarakat dari "International Network for Rational Use of Drugs Indonesia" (INRUD Indonesia) DR dr Sunartono menilai selama ini pemberian antibiotik kepada pasien di rumah sakit sudah tidak rasional dan 50 persen secara berlebihan.
"Penggunaan antibiotik saat ini ada kecenderungan yang tidak rasional 50 persen berlebihan tidak seperti yang dibutuhkan," kata Sunartono di Sleman, Senin.
Menurut dia, hal tersebut membawa dampak yakni resistensi terhadap antibiotik yang dialami pasien yang kadang tidak disadari dan menimbulkan epidemik yang tersamar di dalam tubuh seseorang.
"Pengentasan masalah ini sedang menjadi program pemerhati kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan aturan untuk penggunaan antibiotik ini," katanya.
Ia mengatakan, penggunaan antibiotik harus seefisien mungkin, dan tidak semua jenis penyakit harus diberi antibiotik.
"Semua rumah sakit harus menjalankan program ini, antibiotik hanya diberikan untuk pasien dengan kondisi resiko besar terkena infeksi seperti operasi pembedahan dan sejenisnya.
"Sedangkan untuk penyakit-penyakit ringan seperti influensa, batuk maupun pilek dan penyakit sejenisnya tidak perlu menggunakan antibiotik," katanya.
Sunartono mengatakan, jika pasien sudah terkena resitensi antibiotik ini maka pengobatan lebih sulit dan biaya pengobatan juga lebih mahal.
"Setiap rumah sakit harus memiliki program untuk mencegah resistensi antibiotik ini. Ini harus dilakukan dari atas sampai bawah," katanya.
Ia mengatakan, upaya ini seperti usaha untuk menekan angka penggunaan injeksi yang cukup tinggi pada era tahun 1980-an.
"Saat itu ada gerakan untuk menekan angka penggunaan injeksi bagi pasien yang dinilai cukup tinggi. Gerakan yang diawali dari Gunung Kidul tersebut akhirnya menjadi percontohan nasional," katanya.
Sementara itu Keluarga Alumni Gadjah Mada Kedokteran dalam rangka mendorong pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Anti-Mikroba akan menyelenggarakan workshop Meningkatkan Penggunaan Rasional dan Mengurangi Konsumsi Anti-Infeksl untuk Pengendalian Resistensi Anti-Mikroba Pendekatan Partisipatif, lnstitusional dari bawah.
"Kegiatan akan dilaksanakan pada 5 April 2018 di Ruang Theater Gedung Perputakaan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM," kata Ketua Panitia Workshop dr Budiono Santosa.
Menurut dia, kegiatan workshop ini bekerja sama dengan organisasi mitra seperti "International Network for Rational Use of Drugs Indonesia" (INRUD Indonesia), Asosiasi Dinas Kesehatan (ADINKES), Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), dan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Divisi Farmakologi Klinik.
"Resistensi Antimikroba (RA), merupakan masalah kesehatan yang secara resmi menjadi agenda global `United Nations Sustainable Development Goal` (UN 5065). Indonesia juga menjadi salah satu pendukung inisiatif internasional ini," katanya.
Ia mengatakan, WHO telah mengembangkan "Global Strategy for the Containment of Antimicrobial Resistance (2001) dan Global Action Plan on Antimicrobial Resistance (2015), yang merupakan rekomendasi untuk negara negara anggota dalam mengendalikan RA.
"Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No 8, 2015. telah mencanangkan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit, dimana setiap rumah sakit harus membentuk Tim Pelaksana (tim PPRA) dan melaksanakan kegiatan PengendaIian Resistensi Antimikroba," katanya.
Budiono mengatakan. peraturan Menteri ini menunjukkan komitmen pemerintah RI untuk mengendalikan berkembangnya Resistensi Antimikroba, dan merupakan landasan hukum bagi pelaksanaannya di rumah sakit.
"Namun demikian masih diperlukan upaya pendampingan dan bantuan teknis bagi institusi rumah sakit dan dinas kesehatan untuk menghindari hambatan pelaksanaan program di Iapangan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018
"Penggunaan antibiotik saat ini ada kecenderungan yang tidak rasional 50 persen berlebihan tidak seperti yang dibutuhkan," kata Sunartono di Sleman, Senin.
Menurut dia, hal tersebut membawa dampak yakni resistensi terhadap antibiotik yang dialami pasien yang kadang tidak disadari dan menimbulkan epidemik yang tersamar di dalam tubuh seseorang.
"Pengentasan masalah ini sedang menjadi program pemerhati kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan aturan untuk penggunaan antibiotik ini," katanya.
Ia mengatakan, penggunaan antibiotik harus seefisien mungkin, dan tidak semua jenis penyakit harus diberi antibiotik.
"Semua rumah sakit harus menjalankan program ini, antibiotik hanya diberikan untuk pasien dengan kondisi resiko besar terkena infeksi seperti operasi pembedahan dan sejenisnya.
"Sedangkan untuk penyakit-penyakit ringan seperti influensa, batuk maupun pilek dan penyakit sejenisnya tidak perlu menggunakan antibiotik," katanya.
Sunartono mengatakan, jika pasien sudah terkena resitensi antibiotik ini maka pengobatan lebih sulit dan biaya pengobatan juga lebih mahal.
"Setiap rumah sakit harus memiliki program untuk mencegah resistensi antibiotik ini. Ini harus dilakukan dari atas sampai bawah," katanya.
Ia mengatakan, upaya ini seperti usaha untuk menekan angka penggunaan injeksi yang cukup tinggi pada era tahun 1980-an.
"Saat itu ada gerakan untuk menekan angka penggunaan injeksi bagi pasien yang dinilai cukup tinggi. Gerakan yang diawali dari Gunung Kidul tersebut akhirnya menjadi percontohan nasional," katanya.
Sementara itu Keluarga Alumni Gadjah Mada Kedokteran dalam rangka mendorong pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Anti-Mikroba akan menyelenggarakan workshop Meningkatkan Penggunaan Rasional dan Mengurangi Konsumsi Anti-Infeksl untuk Pengendalian Resistensi Anti-Mikroba Pendekatan Partisipatif, lnstitusional dari bawah.
"Kegiatan akan dilaksanakan pada 5 April 2018 di Ruang Theater Gedung Perputakaan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM," kata Ketua Panitia Workshop dr Budiono Santosa.
Menurut dia, kegiatan workshop ini bekerja sama dengan organisasi mitra seperti "International Network for Rational Use of Drugs Indonesia" (INRUD Indonesia), Asosiasi Dinas Kesehatan (ADINKES), Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), dan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Divisi Farmakologi Klinik.
"Resistensi Antimikroba (RA), merupakan masalah kesehatan yang secara resmi menjadi agenda global `United Nations Sustainable Development Goal` (UN 5065). Indonesia juga menjadi salah satu pendukung inisiatif internasional ini," katanya.
Ia mengatakan, WHO telah mengembangkan "Global Strategy for the Containment of Antimicrobial Resistance (2001) dan Global Action Plan on Antimicrobial Resistance (2015), yang merupakan rekomendasi untuk negara negara anggota dalam mengendalikan RA.
"Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No 8, 2015. telah mencanangkan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit, dimana setiap rumah sakit harus membentuk Tim Pelaksana (tim PPRA) dan melaksanakan kegiatan PengendaIian Resistensi Antimikroba," katanya.
Budiono mengatakan. peraturan Menteri ini menunjukkan komitmen pemerintah RI untuk mengendalikan berkembangnya Resistensi Antimikroba, dan merupakan landasan hukum bagi pelaksanaannya di rumah sakit.
"Namun demikian masih diperlukan upaya pendampingan dan bantuan teknis bagi institusi rumah sakit dan dinas kesehatan untuk menghindari hambatan pelaksanaan program di Iapangan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2018