Jakarta (ANTARA) - Jauh sebelum layar bioskop Tanah Air menayangkan kisahnya mulai 15 Mei mendatang, film "Mungkin Kita Perlu Waktu" telah menorehkan catatan dalam kancah perfilman Indonesia.
Keberhasilan film tersebut terpilih sebagai salah satu dari enam film panjang terbaik yang berkompetisi di Indonesian Screen Awards dalam gelaran Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2024 akhir tahun lalu, menjadi bukti awal akan kualitas dan kedalaman naratif yang ditawarkannya.
Pengakuan tersebut bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah sinyal kuat bahwa film arahan Teddy Soeriaatmadja itu memiliki sesuatu yang istimewa untuk disimak, sebuah resonansi emosional dan intelektual yang mampu menyentuh kalbu penonton.
Film itu hadir bukan hanya sebagai tontonan semata, melainkan secara signifikan menyajikan semacam "obat" bagi jiwa-jiwa yang terluka.
Lebih dari sekadar kisah dramatis, "Mungkin Kita Perlu Waktu" menyelami dinamika hubungan keluarga yang kompleks, sebuah ekosistem di mana luka batin dan pola perilaku disfungsional ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya, terperangkap dalam siklus generasi narsistik yang destruktif.
Film itu juga membuka tabir tentang gangguan kepribadian narsistik pada orang tua dapat mengukir luka mendalam pada jiwa anak-anak mereka, menciptakan pola hubungan yang penuh kecemasan, kekecewaan, dan kesulitan dalam membangun keintiman emosional yang sehat.
Halaman berikut: Jalan cerita
Jalan cerita
Kisah berpusat pada keluarga Restu Kurniawan, dengan aktor kawakan Lukman Sardi memerankan sosok kepala keluarga.
Kehidupan keluarga itu terguncang hebat setelah kepergian putri mereka, Sarah, yang diperankan oleh aktris Naura Hakim.
Kehilangan itu menciptakan gelombang kesedihan yang dahsyat, tidak hanya bagi kedua orang tua, tetapi juga bagi adik Sarah, Ombak, yang diperankan oleh aktor Bima Azriel.
Pasca tragedi kecelakaan yang mengambil nyawa Sarah, Ombak menarik diri ke dalam cangkang kesedihan dan kemurungan.
Pergulatan batinnya tidak hanya dipicu oleh rasa kehilangan yang mendalam, tetapi juga oleh kecemasan dan kekecewaan yang merayap dalam hatinya.
Ia merasa seakan-akan dipersalahkan oleh orang tuanya atas kecelakaan tragis yang merenggut nyawa sang kakak. Sebab saat kecelakaan itu terjadi, Ombak yang mengemudi.
Beban psikologis Ombak semakin berat dengan komunikasi yang tidak sehat dalam keluarga, di mana bukannya mendapatkan dukungan dan validasi, Ombak justru merasa terisolasi dan disalahkan.
Di sisi lain, terdapat tokoh Kasih, yang diperankan oleh aktris Sha Ine Febriyanti. Sebagai seorang ibu yang baru saja kehilangan putrinya, Kasih juga menyimpan pergolakan batin yang hebat.
Namun, alih-alih menghadapinya secara konstruktif, ia memilih untuk menyembunyikan luka-lukanya dengan cara yang tidak sehat, memancarkan kesan apatis dan dingin.
Sikapnya itu bukan hanya gagal memberikan dukungan emosional bagi Ombak, tetapi justru memperburuk jurang komunikasi di antara mereka.
Dalam upaya mencari pelarian dari gejolak emosi yang membuncah, perjalanan umroh ke tanah suci menjadi pilihan. Menurut Restu, perjalanan spiritual itu diharapkan oleh Kasih menjadi jalan keluar.
Tapi bagi Kasih, perjalanan umroh justru menjadi upaya mengembalikan ketenangan yang hilang akibat gangguan narsistik yang dimiliki sang suami.
Perbedaan pandangan sederhana ini mengakibatkan keretakan dalam pernikahannya dengan Restu.. Puncak dari ketegangan itu ialah keinginan untuk berpisah di akhir cerita.
Namun, perpisahan suami-istri itu menjadi sebuah pengakuan yang jujur dari Kasih bahwa ia memang membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk memulihkan luka batinnya, sebuah proses yang mungkin tidak lagi dapat ia jalani bersama dengan Restu dalam ikatan pernikahan.
Segala permasalahan yang dihadapi keluarga Kurniawan berakar pada pola pengasuhan yang diturunkan dari orang tua dengan gangguan kepribadian narsistik atau narcissistic personality disorder (NPD).
Arogansi Kasih yang belum selesai dengan dirinya sendiri, membuat Ombak, sering kali dipandang sebagai objek yang semestinya memantulkan kehebatan dan kesuksesan orang tua, bukan sebagai individu dengan kebutuhan dan perasaan yang unik.
Ketika Ombak gagal atau tidak memenuhi ekspektasi, remaja itu cenderung diabaikan, direndahkan, atau bahkan disalahkan.
Pola sikap dan perilaku dari orang tuanya itu sangat merusak perkembangan emosional Ombak, karena ia belajar bahwa cinta dan penerimaan dari ibunya mungkin saja "bersyarat".
Restu pun terkesan seperti mencari pembenaran untuk diri sendiri, alih-alih menunjukkan empati dan mendengarkan perasaan putranya setiap kali Ombak dan Kasih bertengkar.
Akibatnya, setiap upaya Restu untuk menjalin kembali keutuhan keluarganya dirasakan hampa dan tidak bermakna oleh Ombak.
Lebih parahnya lagi, Kasih justru memperburuk situasi dengan sikap abai dan dingin yang ditunjukkannya kepada Ombak, seolah-olah ia tidak peduli dengan penderitaan batin anaknya.
Suatu kali, Restu memberikan saran kepada Ombak untuk mencari bantuan profesional dengan mendatangi psikolog kenalannya, Nana, yang diperankan dengan sentuhan komedi yang cerdas oleh aktris Asri Welas.
Namun, upaya itu tidak mendapatkan dukungan dari Kasih. Ia bersikap acuh tak acuh dan berpendapat bahwa anaknya hanya membutuhkan pertolongan spiritual dari Yang Maha Pencipta dengan memperbanyak ibadah.
Di tengah dukungan dari keluarga dan bantuan profesional dari psikolog Nana yang disfungsional, Ombak berupaya mencari dukungan dari lingkaran pertemanannya di sekolah.
Upaya itu berujung pada pengalaman yang buruk, bahkan membuatnya nyaris melakukan tindakan yang brutal dan membahayakan diri sendiri.
Awalnya, memang Ombak sempat mengalami perubahan signifikan sejak ia mulai menjalin kedekatan dengan Aleiqa, seorang gadis satu kelasnya yang diperankan dengan kehangatan oleh aktris Tissa Biani.
Dari Aleiqa, Ombak menemukan obrolan santai yang mampu mengalihkan bebannya sejenak, dan yang lebih penting, ia merasakan dukungan tulus dan penerimaan tanpa syarat.
Diskusi-diskusi Ombak dengan Aleiqa tentang pilihan untuk bahagia dan pentingnya menerima diri sendiri apa adanya menjadi momen-momen kecil namun krusial.
Namun perhatian tulus dari temannya itu belumlah cukup bagi Ombak, karena keluarganya sendiri masih belum menjadi jangkar yang menahannya untuk tidak tenggelam lebih dalam di tengah lautan kesulitan yang terus menyeret perasaannya.
Halaman berikut: Sederhana tapi menyimpan makna mendalam
Makna mendalam
"Mungkin Kita Perlu Waktu," sebuah judul yang tampak sederhana, namun menyimpan makna yang sangat dalam.
Kesederhanaan justru menjadi kekuatan narasi film, karena di dalamnya terkandung potensi untuk menyampaikan kisah yang kuat dan menggugah tentang perjalanan panjang menuju penyembuhan, pemahaman, dan rekonsiliasi.
Narasi yang dibangun Teddy Soeriaatmadja tidak hanya bertumpu pada durasi film yang berjalan sekitar 95 menit, melainkan pada kedalaman emosional dan psikologis dari setiap karakter dan situasi yang dihadirkan.
Trauma masa lalu yang membayangi keluarga Kurniawan, beban ekspektasi dan tekanan dalam keluarga, serta perjuangan individu dengan masalah kesehatan mental adalah isu-isu kompleks yang tidak dapat diselesaikan dalam sekejap.
Film ini dengan cerdas menggambarkan bahwa proses pemulihan membutuhkan ruang untuk berduka dan merenung, kesabaran dalam menghadapi naik turunnya emosi, dan yang terpenting, waktu untuk memproses luka dan membangun kembali harapan.
Sebagai seorang sutradara yang memiliki latar belakang akademik di bidang "human behaviour", Teddy Soeriaatmadja menunjukkan kepekaan yang luar biasa dalam menggarap film ini.
Ia seperti menarik penonton untuk ikut menyelami nuansa-nuansa psikologis yang halus, memasuki ruang abu-abu di antara hitam dan putih dalam setiap tindakan dan keputusan karakter.
Penonton diajak untuk melihat lebih dalam luka-luka batin yang mungkin tidak terlihat secara kasat mata, merasakan ketegangan yang sering kali tersembunyi di balik kata-kata, dan menangkap secercah harapan yang mungkin masih tersembunyi di balik fasad kehidupan sehari-hari yang tampak biasa saja.
Film "Mungkin Kita Perlu Waktu" tidak hanya menyajikan drama keluarga yang menyentuh, tetapi juga mengoyak empati dan kepekaan penonton.
Melalui kisah keluarga Kurniawan, penonton diajak untuk merenungi bahwa terkadang, dalam hubungan yang terluka dan proses penyembuhan yang panjang, waktu bukanlah sekadar dimensi temporal, melainkan sebuah elemen penting dalam proses pemulihan dan penemuan jati diri yang sejati.
Pada akhirnya, kita semua, mungkin hanya membutuhkan waktu untuk memahami, memaafkan, dan menyembuhkan.
Sementara itu, film ini juga memberikan perspektif penting tentang dampak jangka panjang dari pola pengasuhan narsistik pada anak-anak.
Putra-putri dari orang tua dengan gangguan kepribadian narsistik (NPD) diperlihatkan tumbuh tanpa mendapatkan validasi emosi dan dukungan yang memadai.
Mereka belajar untuk menekan perasaan mereka, mencari validasi dari dunia luar, dan kesulitan membangun hubungan yang sehat dan setara di kemudian hari.
Contoh perilaku NPD dari orang tua seperti melarang anak untuk menangis dan dianggap "lemah" jika menunjukkan kemarahan atau kekecewaan, serta menyuruh diam agar tidak mengungkapkan perasaan negatif. Akibatnya, anak belajar untuk menekan emosi mereka, mengembangkan rasa tidak aman dalam diri, dan terus-menerus mencari validasi dari orang lain untuk merasa berharga.
Dalam konteks film, Kasih pun kemungkinan besar tumbuh dengan ekspektasi tinggi terhadap agama dan nilai-nilai kesempurnaan, yang mungkin diturunkan dari orang tuanya.
Hal ini membuatnya cenderung menuntut kesempurnaan dari anaknya dan merasa gagal sebagai orang tua ketika Ombak mengalami kesulitan. Tanpa disadari, Kasih mungkin saja meneruskan siklus narsistik yang pernah dialaminya.
Untuk mengakhiri siklus generasi narsistik yang merusak ini dan mewujudkan generasi yang lebih sehat secara emosional, langkah pertama adalah kesadaran diri seperti yang ditunjukkan dalam film "Mungkin Kita Perlu Waktu".
Diperlihatkan bahwa Kasih dan Restu merasa perlu ruang pengasuhan yang terpisah satu sama lain untuk menyadari pola perilaku disfungsional yang mungkin mereka warisi dan dampaknya terhadap anaknya.
Langkah kedua adalah mencari bantuan profesional jika diperlukan, seperti terapi psikologis, serta jujur saat memproses luka masa lalu dan mengembangkan pola perilaku yang lebih sehat. Film tersebut mengilustrasikan bahwa keberhasilan terapi psikologis bergantung pada kejujuran klien terhadap masalah utama yang mengganggu diri mereka sendiri.
Langkah ketiga adalah menerapkan pola asuh yang penuh empati, yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan emosional anak, memberikan dukungan tanpa syarat, dan menghargai individualitas mereka.
Proses pengasuhan anak yang penuh empati, seperti yang mungkin diimplikasikan dalam perjalanan karakter dalam film "Mungkin Kita Perlu Waktu," meliputi sejumlah tahapan penting.
Pertama, orang tua perlu menyadari luka masa lalu mereka sendiri dan pola perilaku yang mungkin diturunkan dari generasi sebelumnya.
Kedua, mereka perlu mencari bantuan profesional jika diperlukan untuk menyembuhkan luka tersebut dan belajar cara berinteraksi yang lebih sehat.
Ketiga, orang tua perlu memberikan ruang dan kebebasan bagi anak untuk berekspresi dan berkembang sesuai dengan potensi unik mereka, tanpa memaksakan ekspektasi yang tidak realistis.
Terakhir, orang tua perlu belajar mendengarkan anak dengan empati dan tanpa menghakimi, memberikan dukungan dan penerimaan, terutama saat anak mengalami kegagalan.
Pesan yang ingin disampaikan film ini mungkin adalah ajakan untuk menjadi generasi yang mengakhiri siklus narsistik, bukan meneruskannya.
Kita mungkin tidak bertanggung jawab atas luka masa lalu yang kita alami, tetapi kita memiliki tanggung jawab untuk tidak mewariskannya kepada generasi berikutnya.
Seorang ibu yang menyadari bahwa ia dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kritik dan kurang kasih sayang, misalnya, dapat belajar mengembangkan rasa welas asih pada diri sendiri dan membesarkan anaknya dengan empati, bukan dengan harapan yang tinggi dan tuntutan yang tidak realistis.
Dengan kesadaran dan upaya yang berkelanjutan, siklus narsistik yang merusak ini dapat dihentikan, membuka jalan bagi generasi yang lebih sehat dan bahagia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Film "Mungkin Kita Perlu Waktu" kisahkan kerugian pola asuh narsistik