Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengatakan bahwa Indonesia perlu memperkuat kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas untuk mencapai target 17,1 GW pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dalam 10 tahun ke depan.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 yang dirilis bulan lalu, energi surya diproyeksi menjadi tulang punggung transisi energi karena memiliki porsi terbesar dalam bauran energi baru terbarukan (EBT), yakni sebesar 17,1 GW – tertinggi dibandingkan sumber EBT lainnya.
Wakil Ketua Dewan Pakar Bidang Riset dan Teknologi AESI Arya Rezavidi di Jakarta, Kamis, menyebut Indonesia membutuhkan SDM yang kompeten di berbagai bidang, mulai dari installer, engineer, analis regulasi, analis teknis, analis keuangan, software engineer, hingga safety engineer.
“Kualitas SDM sangat krusial mengingat proyek PLTS merupakan investasi modal besar atau high capital expenditure dengan masa pakai yang sangat panjang, bisa mencapai 20 tahun atau lebih,” kata Arya.
Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah merespons kebutuhan ini dengan mengeluarkan beberapa Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) terkait PLTS.
Beberapa di antaranya meliputi Kepmenaker No. 182 tahun 2017 tentang perencanaan PLTS, Kepmenaker No. 166 tahun 2019 tentang pemasangan dan pembangunan PLTS, Kepmenakaer No. 160 tahun 2019 tentang pemeriksaan dan pengujian PLTS, Kepmenaker No. 138 tahun 2019 tentang pengoperasian PLTS, dan Kepmenakar No. 161 tahun 2019 tentang pemeliharaan PLTS.
Namun, Arya juga menyoroti kualitas kontraktor lokal dalam proyek PLTS. Meski sebagian komponen PLTS sudah bisa diproduksi di dalam negeri, ia mengamati bahwa kontraktor utama (EPC) untuk proyek-proyek besar PLN masih banyak berasal dari luar negeri, seperti terlihat pada proyek PLTS Terapung Cirata di Jawa Barat yang EPC-nya berasal dari China, meskipun sub-kontraktornya merupakan perusahaan lokal.
“Ini juga tantangan untuk kita supaya meningkatkan kualitas kontraktor kita, mungkin kualitas kontraktor kita belum bisa dianggap memiliki kualifikasi yang sama,” katanya.
Salah satu tantangan utama menurutnya adalah produktivitas pekerja lokal yang dianggap masih lebih rendah dibandingkan pekerja dari negara lain.
Untuk mengatasi tantangan ini, Arya menekankan pentingnya pelatihan berkelanjutan dan sertifikasi profesi secara berkala.
Ia menyebut, berbeda dengan ijazah yang berlaku seumur hidup, sertifikasi profesi, terutama yang bersifat vokasional, memiliki masa berlaku umumnya 3 atau 5 tahun dan harus diuji ulang untuk memastikan peningkatan kompetensi.
Indonesia berpotensi menciptakan 760 ribu lapangan kerja hijau dari pengembangan energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan. Tenaga surya diperkirakan akan menyumbang paling banyak, dengan 348.057 pekerjaan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: RI harus tingkatkan kualitas SDM dukung target energi surya 17,1 GW