Jakarta (ANTARA) - Executive Director Lembaga Arunala Indonesia Dyah Larasati mendorong penguatan komitmen pemangku kebijakan untuk membangun sistem jaminan pensiun yang besar, inklusif, dan berkelanjutan, di tengah masih rendahnya cakupan perlindungan hari tua.
"Isu aging (penuaan) sama isu jaminan hari tua atau jaminan pensiun itu sudah cukup lama dan memang sebenarnya ada banyak alasan yang melatarbelakangi kenapa masih sangat kecil," ujar Dyah Larasati di Jakarta, Sabtu.
Dyah menjelaskan hingga saat ini jumlah pekerja formal yang terdaftar dalam program jaminan pensiun masih sekitar 14 juta orang atau 37 persen dari total angkatan kerja formal.
Sementara itu sebagian besar penduduk bekerja di sektor informal yang tidak secara otomatis terdaftar dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.
"Sebagian dari mereka bahkan tidak mengetahui adanya program ini. Literasi dan kesadaran terhadap pentingnya menyiapkan hari tua masih sangat rendah," katanya.
Menurut dia, sebagian pekerja informal dari kalangan menengah ke atas mungkin memilih asuransi pribadi, sementara kelompok bawah kerap kali tidak memiliki kemampuan finansial untuk berkontribusi secara rutin.
"Isu kemampuan finansial ini jadi tantangan tersendiri. Banyak dari mereka yang penghasilannya terbatas, sehingga menabung untuk hari tua bukan menjadi prioritas," ujar Dyah.
Selain itu, menurutnya, rendahnya kepercayaan publik terhadap sistem asuransi, yang dipicu oleh sejumlah kasus gagal bayar seperti Jiwasraya dan Asabri, turut memperburuk tingkat partisipasi masyarakat dalam program jaminan pensiun.
Dyah menilai perlu adanya kampanye literasi dan sosialisasi yang masif untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya jaminan hari tua.
Ia juga mendorong pemerintah untuk memberikan insentif bagi pekerja informal agar mereka lebih tertarik mengikuti program jaminan sosial.
"Sektor informal kita sangat besar dan didominasi oleh pekerja dengan penghasilan rendah. Pemerintah bisa memberikan kontribusi bersama, misalnya menambahkan Rp20.000 untuk setiap iuran Rp20.000 yang dibayarkan peserta,” ujarnya.
Dyah juga menyarankan agar skema iuran dibuat fleksibel, seperti memberikan opsi pembayaran bulanan, triwulanan, atau disesuaikan dengan kemampuan peserta, mengingat pendapatan sektor informal yang cenderung fluktuatif.
Menurut Dyah, urgensi pembangunan sistem jaminan pensiun menjadi semakin tinggi seiring tren demografi menuju masyarakat menua. Ia mencontohkan negara-negara seperti Jepang dan negara-negara Eropa yang memulai sistem pensiunnya lebih dari seabad lalu.
"Kita akan menghadapi struktur penduduk menua dalam 20-30 tahun ke depan. Saat ini ada sekitar 33 juta lansia, dan diperkirakan akan mencapai 65 juta pada 2045. Tanpa sistem yang kuat, beban ekonomi terhadap generasi produktif akan sangat berat," kata Dyah.
Oleh karena itu ia menekankan perlunya upaya dari berbagai sisi, mulai dari literasi publik, pemberian insentif, hingga dukungan regulasi dan fiskal dari pemerintah.
"Kalau tidak disiapkan sejak sekarang, risiko sosial dan ekonomi pada masa depan akan sangat besar. Harapannya semakin banyak masyarakat yang mulai menabung dan menyadari pentingnya jaminan hari tua sebagai bagian dari perlindungan sosial jangka panjang," ujar Dyah.
Sementara itu Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mengusulkan sejumlah perbaikan regulasi dalam sistem jaminan pensiun nasional untuk memperluas cakupan kepesertaan, meningkatkan nilai manfaat, serta menjamin keberlanjutan pembiayaan program di masa depan.
"Harus ada pembaruan regulasi agar program ini benar-benar inklusif dan berkelanjutan, serta memberikan manfaat yang layak bagi pekerja Indonesia," ujar Edy.
Dalam aspek kepesertaan, Edy mengusulkan revisi terhadap Pasal 39 hingga Pasal 42 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) guna membuka akses Program Jaminan Pensiun (JP) bagi seluruh pekerja, termasuk sektor informal, dan mewajibkan pekerja mikro serta kecil untuk ikut serta.
Selain itu ia mendorong revisi Pasal 14 dan Pasal 17 UU SJSN agar pemerintah dapat membiayai iuran JP bagi pekerja miskin dan tidak mampu, sehingga kelompok rentan ini tetap mendapatkan perlindungan sosial hari tua.
Edy juga menekankan pentingnya penerbitan segera Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan dari Pasal 23 UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, untuk mengatur pengelolaan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi aparatur sipil negara (ASN) melalui BPJS Ketenagakerjaan, termasuk JP bagi ASN.
"Ini penting agar keberlangsungan kepesertaan tetap terjaga ketika seseorang berpindah status dari pekerja swasta ke ASN, atau sebaliknya," ujarnya.
Dalam hal manfaat, Edy menilai perlunya peningkatan nilai manfaat pensiun untuk menjamin kehidupan layak di hari tua. Ia mengusulkan revisi Pasal 17 ayat (2) PP tentang JP agar koefisien perhitungan manfaat dinaikkan dari 1 persen menjadi 1,33 persen.
"Langkah ini merujuk pada Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952, yang merekomendasikan manfaat minimal 40 persen dari upah terakhir dengan masa iur 30 tahun," kata dia
Ia juga meminta agar manfaat pensiun bagi ahli waris peserta meninggal atau peserta yang mengalami cacat total tetap, ditetapkan minimal 1,5 kali dari garis kemiskinan. Selama ini, batas bawah manfaat masih berada di bawah ambang garis kemiskinan nasional.
"Pemerintah juga harus segera meningkatkan iuran JP agar program tidak mengalami defisit keuangan. Ini bagian dari memastikan keberlanjutan dana pensiun nasional," kata Edy.
Untuk memastikan kepatuhan dan transparansi, Edy mengusulkan agar pengawas pemeriksa BPJS Ketenagakerjaan diberikan kewenangan pemeriksaan langsung, dengan didukung oleh pengawas ketenagakerjaan dari Kementerian Ketenagakerjaan.
Ke depan, Edy juga mendorong kajian menyeluruh atas kemungkinan konsolidasi program JP, Jaminan Hari Tua (JHT), dan kompensasi PHK menjadi satu sistem tabungan hari tua nasional, yang terdiri dari akun manfaat pasti dan pembayaran lumpsum.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pakar desak penguatan komitmen pemerintah bangun jaminan pensiun inklusif dan berkelanjutan