Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Ketua Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) Azriana menganggap norma tentang zina pada
Pasal 484 revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) bermasalah
sehingga dia menyarankan untuk dihapus saja.
"Ada perubahan definisi zina antara KUHP warisan kolonial Belanda
dengan RUU KUHP yang menyebabkan ketidakjelasan siapa yang dirugikan.
Pidana harus jelas siapa yang dirugikan," kata Azriana di Jakarta,
Jumat.
Azriana mengatakan zina pada KUHP warisan kolonial Belanda diartikan
sebagai pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan. Dengan arti
tersebut, maka pihak yang dirugikan adalah pasangan dari seseorang yang
melakukan zina.
Baca juga: (Komnas Perempuan: agama dan moralitas tantangan keadilan gender)
Sedangkan pada RUU KUHP, zina dipahami sesuai konsep agama, yaitu
hubungan badan antara dua orang di luar ikatan perkawinan. Menurut
Azriana, konsep ini tidak bisa dipakai di ranah pidana karena akan sulit
mengidentifikasi pihak yang dirugikan.
"Dengan konsep ini, justru RUU KUHP berpotensi mengkriminalkan
korban perkosaan yang tidak bisa membuktikan kejahatan yang dia alami,
sehingga dianggap berzina. Yang terjadi nanti malah menghukum korban
perkosaan dan memberikan impunitas kepada pelaku," tuturnya.
Karena itu, Komnas Perempuan menyarankan agar pasal tentang zina itu
dihapus saja dari RUU KUHP. Saran itu bukan berarti menyetujui
perbuatan zina karena seringkali hubungan badan di luar nikah pada
akhirnya merugikan pihak perempuan.
Baca juga: (Ketua Komnas Perempuan bicara soal pasal 488 RUU KUHP)
"Jangan diatur dalam KUHP, tetapi beri peran yang lebih luas kepada tokoh agama untuk membimbing umatnya," ujarnya.
Komnas Perempuan menyoroti norma tentang zina pada revisi KUHP
Jumat, 17 Maret 2017 13:16 WIB