Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang
rawan serangan peretas karena kurangnya jumlah sumber daya manusia yang
ahli di bidang keamanan siber.
"Kasus peretasan di Indonesia mulai dari peretasan media sosial,
serangan virus, hingga yang jauh lebih merusak seperti penyadapan," ujar
CEO Universitas Macquarie Tim Beresford,di Jakarta, Senin.
Indonesia termasuk negara yang paling rawan serangan peretas
karena dalam kurun waktu tiga tahun (2012 hingga 2015) hampir 500 orang
ditangkap atas dugaan kejahatan siber.
Tenaga ahli di bidang keamanan siber masih sangat sedikit. Jumlah
aparat kepolisian yang menangani kejahatan siber masih puluhan orang.
Sementara di Korea Selatan, polisi yang menangani kejahatan siber
berjumlah ribuan orang.
"Saat ini, tiga bidang penting yang sedang tumbuh pusat baik dari
sisi ancaman maupun peluang yang ditimbulkan yakni keamanan siber,
aktuaria dan analitik, dan hukum lingkungan," kata dia.
Dia menambahkan perlu ada upaya untuk menyiapkan tenaga ahli melalui
pelatihan untuk peningkatan kemampuan karyawan, baik di perusahaan
maupun instansi pemerintah.
"Untuk jangka panjang, program gelar baik di tingkat sarjana maupun pascasarjana perlu dipertimbangkan," katanya.
Keamanan siber, kata dia, merupakan salah satu prioritas keamanan
nasional Australia. Sejumlah universitas menjadi pusat pendidikan dan
riset di bidang ini, salah satunya adalah Macquarie University yang
menawarkan kekhususan di bidang studi strategis, keamanan siber,
terorisme, kejahatan terorganisir, dan pengendalian pemberontakan.
"Lulusan keamanan siber, tak perlu khawatir karena diperkirakan
lebih dari satu juta lowongan kerja di bidang itu," cetus dia.
Macquarie University juga menyediakan beasiswa senilai lebih dari
Rp15 miliar untuk mahasiswa Indonesia mulai dari tingkat sarjana sampai
pascasarjana.
Ahli: Indonesia rentan serangan peretas akibat kekurangan SDM
Senin, 15 Mei 2017 22:46 WIB