Dalam
akun Instagram @smindrawati, ia menulis, "saya terhenyak ketika membaca
berita bahwa seorang Tere Liye akan berhenti menerbitkan buku karena
masalah perpajakan."
Menteri Sri mengatakan buku tak pernah lepas dari rutinitasnya. Buku adalah teman yang bisa membawanya ke dunia lain dan mampu memberikan perspektif lain mengenai hidup dan kehidupan.
Menteri Sri mengatakan buku tak pernah lepas dari rutinitasnya. Buku adalah teman yang bisa membawanya ke dunia lain dan mampu memberikan perspektif lain mengenai hidup dan kehidupan.
Sri mengatakan, ia tahu proses pembuatan buku membutuhkan waktu yang panjang.
"Ada
jerih payah tidak mudah (keringat, airmata atau bahkan darah) yang
nyata dibalik terbitnya suatu buku, juga biaya yang sering tidak
sedikit. Meski penulis yang memiliki passion menulis pasti juga
menikmati proses menulis itu sendiri."
Sri melanjutkan, "Tere Liye menyatakan frustrasinya menghadapi "kebijakan perpajakan" dan "perlakukan aparat atau kantor pajak" terhadap kewajiban membayar pajak penghasilannya sebagai penulis. Hal ini menyangkut perlakukan perpajakan atas royalti yang diterima dari buku-buku yang ditulis Tere Liye."
"Kebijakan perpajakan di negara kita diatur
oleh Undang-Undang (UU) yang kemudian diturunkan oleh Peraturan
Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan atau Peraturan Dirjen Pajak.
Ada bagian kebijakan yang ditetapkan oleh UU yang tidak bisa diubah
serta merta oleh Dirjen, Menteri atau bahkan Presiden seperti masalah
tarif pajak penghasilan (PPh) dan penjenjangan tarif (progresivitas) PPh
perorangan."
Meski demikian, Sri mengatakan ada kebijakan yang dapat diubah lebih cepat dan dalam kewenangan Menteri dan Dirjen Pajak.
"Misalnya penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi WP orang pribadi, setelah dikonsultasikan dengan DPR dan besaran norma penghitungan penghasilan neto bagi WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto kurang dari 4,8 M rupiah setahun (yang tidak menyelenggarakan pembukuan)."