Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Kementerian Perindustrian mengunjungi
Negeri Tirai Bambu Tiongkok untuk fokus mengembangkan program industri
hijau, di mana setiap sektor manufaktur nasional perlu menerapkan
prinsip yang ramah lingkungan.
“Selain sebagai
pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian, elemen pokok industri hijau juga guna menghadapi kesiapan
Konvensi Stockholm terkait peningkatan daya saing,†kata Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Ngakan Timur
Antara melalui keterangannya di Jakarta, Kamis.
Ngakan
memimpin rombongan kunjungan kerja ke Negeri Tirai Bambu pada 16-18
Oktober 2017, yang diikuti antara lain dari perwakilan Pusat Penelitian
dan Pengembangan Industri Hijau, Balai Besar Teknologi Pencegahan
Pencemaran Industri, Direktorat Industri Kimia Hulu serta United Nations
Development Program (UNDP) Indonesia.
Delegasi
Indonesia bertemu langsung dengan Direktur Jenderal Kerjasama Ekonomi
Luar Negeri, Kementerian Perlindungan Lingkungan Tiongkok beserta
jajarannya dalam rangka membahas kemajuan implementasi Konvensi
Stockholm, terutama terkait pengelolaan limbah elektronika serta proses
daur ulangnya.
Tiongkok telah meratifikasi
Konvensi Stockholm pada 2004, sedangkan Indonesia meratifikasi pada
tahun 2009 melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009 tentang Bahan
Pencemar Organik yang Persisten.
“Dalam
pertemuan, kami saling bertukar informasi tentang bahan tahan api (flame
retardant) alternatif untuk menggantikan polybrominated diphenyl ethers
(PBDE) dan manajemen limbah elektonika (e-waste),†tuturnya.
PBDE
merupakan senyawa kimia organik yang secara internasional telah
dilarang penggunaannya di industri karena berpotensi sebagai bahan
pencemar yang bersifat persisten di lingkungan atau Persistent Organic
Pollutants (POPs) sesuai dalam Konvensi Stockholm tentang POPs yang
ditandatangani 172 negara pada tahun 2001.
“Setiap
tahun, sejumlah bahan kimia baru diusulkan untuk menjadi POPs setelah
terbukti secara ilmiah memiliki potensi bahaya terhadap lingkungan dan
makhluk hidup,†jelas Ngakan.
Sebagaimana pada
awal penerapan Konvensi Stockholm, Indonesia memasukkan 12 bahan kimia
pestisida yang masuk dalam daftar POPs atau dilarang diproduksi dan
digunakan seperti aldrin, dieldrin, DDT, chlordane, mirex dan
hexachlorobenzene.
Pada 2014, sebagai tindak
lanjutnya, Kemenperin telah melakukan kegiatan penyusunan kajian bahan
alternatif Perfluorosulfonate (PFOS) dan penyusunan pedoman pengelolaan
PFOS.
Selain itu, menyusun pedoman pengelolaan
limbah elektronik untuk delapan komoditi, yaitu refrigeran, TV, AC,
lampu LFL, laptop, mesin cuci, telepon dan baterai serta pedoman
pengelolaan limbah plastik.
Dari pertemuan
kedua belah pihak, Kepala BPPI memaparkan tujuan untuk menjalin kerja
sama dengan UNDP Indonesia terkait PBDE yang akan berjalan selama tahun
2016-2020. Pasalnya, Kementerian Perlindungan Lingkungan Tiongkok telah
bekerjasama dengan UNDP untuk pelaksanaan manajemen berwawasan
lingkungan dalam produk elektronika dan peralatan listrik serta
pengolahan limbahnya.
Di sela kunjungan
kerjanya, Ngakan dan rombongan mengunjungi Beijing Technology and
Bussiness University untuk juga saling bertukar informasi tentang bahan
pengganti PBDE sebagai flame retardant yang banyak digunakan pada produk
elektronika, tekstil, kertas dan otomotif.
Bahan
kimia substitusi yang dikembangkan seperti decabromodiphenyl ethane
(DBDPE) merupakan flame retardant yang cukup efektif dan merupakan
produk utama yang dipasarkan oleh Tiongkok.
Sebagai
langkah tindak lanjut, menurut Ngakan, akan dilakukan kerja sama antara
BPPI dengan Beijing Technology and Bussiness University dengan
mengundang tim Prof Qian Lijun selaku Dekan Fakultas Teknik Material dan
Mekanik untuk menyampaikan hasil-hasil penelitiannya ke stakeholder di
Indonesia.
Selain itu, pertukaran teknologi
dapat dilakukan dengan pengiriman peneliti ke Tiongkok untuk belajar
teknologi flame retardants.