Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang di
pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin, mengungkapkan
ada risiko politik dalam pengadaan KTP Elektronik (KTP-e) seperti
disebut dalam sebuah surat yang kemudian ditanyakan kepada mantan Dirut
PNRI Isnu Edhi Wijaya.
"Kami menyita surat tertanggal 5 Oktober
2012 dari kantor PNRI. Di sini saudara menyebutkan ada 10 risiko terkait
proyek KTP-e, ada risiko politik, pemerintah, kemudian partai politik
di DPR. Apa yang harus untuk memastikan dan untuk mendapatkan informasi
anggaran proyek. Ini saudara tandatangani, bagaimana?" tanya JPU KPK
Abdul Basir.
"Saya tidak ingat. Itu surat dikirim ke mana ya?" jawab Dirut Perum Percetakan Negara RI 2009-2013 Isnu Edhi Wijaya.
Isnu menjadi saksi untuk terdakwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi
Narogong yang didakwa mendapatkan keuntungan 1,499 juta dolar AS dan
Rp1 miliar dalam proyek pengadaan KTP-e yang seluruhnya merugikan
keuangan negara senilai Rp2,3 triliun.
"Ini dikirim ke dewan pengawas Perum PNRI. Di surat Ini saudara tulis
sendiri bahwa perlu komunikasi intensif dengan DPR. Ini risk profile,
potensi-potensi risiko dalam KTP-e. Ini saudara tanda tangani," tambah
jaksa Basir.
Jaksa lalu membawa bukti surat itu ke hakim untuk juga diperlihatkan ke Isnu.
"Di sini ada tulisan 5 persen untuk SN, ini tulisan bapak?" tanya jaksa Basir.
"Bukan," jawab Isnu.
"Lalu siapa yang membuat analisa risiko ini?" tanya jaksa Basir.
"Yang membuat adalah konsultan dari Sucifondo, dari hasil risk inilah
kemudian dilaporkan ke dewan pengawas kami. Ini pernah dipresentasikan
ke seluruh anggota konsorsium. Dia (Sucofindo) membuat sesuai
kemampuannya, barang kali sampai ke politik dan sebagainya," jawab Isnu.
"Nama konsultannya siapa Pak?" tanya jaksa Basir.
"Saya lupa Pak. Untuk nama konsultan kita namanya Totalindo. Tapi
apakah itu dibuat oleh Totalindo atau bukan, saya tidak tahu. Tapi ini
pernah dipresentasikan di kantor PNRI. Setelah saya membaca analisa
konsultan itu kemudian saya tanda tangamni dan kirim ke dewan pengawas,"
jawab Isnu.
"Komunikasi yang bagaimana yang dimaksud dengan DPR?" tanya jaksa Basir.
"Saya tidak pernah berkomunikasi dengan DPR," jawab Isnu.
"Saya ulangi pertanyaannya, apakah konsorsium Perum PNRI dan PNRI
sebagai lead, kemudian dari risiko-risiko tadi saudara mengambil
kesimpulan agar berkomunikasi dengan DPR?" tanya jaksa Basir.
"Tidak pernah, saya tidak paham pembahasan anggaran," jawab Isnu.
"Ini kan ada di poin 3 BAP, kalau anggaran tidak disetujui maka perlu
dikomunikasi dengan DPR. Maksudnya bagaimana?" tanya jaksa Basir.
"Terus terang kami tidak punya pengalaman ke sana sehingga saya pun
tidak kebayang bagaimana melakukannya, (risiko) itu hanya dipaparkan
saja, tidak disampaikan bagaimana caranya," ungkap Isnu.
Manajemen bersama konsorsium PNRI dalam dakwaan KTP-e disebut
mendapatkan keuntungan sejumlah Rp137,989 miliar. PNRI juga disebut
sebagai salah satu dari tiga konsorsium yang terkafiliasi dengan Andi
yaitu PNRI, Astagraphia dan Murakabi Sejahtera dimenangkan dalam tender
KTP-e.
Jaksa tanyakan soal risiko politik proyek KTP-E kepada dirut PNRI
Senin, 23 Oktober 2017 20:16 WIB