PBB, New York, (ANTARA GORONTALO) - Lebih dari 800.000 pengungsi Rohingya
Myanmar diduga hidup dalam situasi yang "sangat akut", kata Komisaris
Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) Filippo Grandi kepada Dewan Keamanan
PBB pada Kamis (2/11).
Grandi mengeluarkan pernyataan mengenai pengungsi Rohingya tersebut,
sebagai perbandingan dengan 65 juta sampai 66 juta orang yang dipaksa
meninggalkan tempat tinggal mereka di dunia. "Kami berbicara mengenai
sebagian krisis paling rumit di Afrika terutama di Sudan Selatan,
Republik Demokratik Kongo," kata Grandi kepada wartawan di luar ruang
pertemuan Dewan Keamanan.
"Ada banyak perhatian pada situasi di Bangladesh --pengungsi
Rohingya, yang datang dari Myanmar-- dan pergerakan krisis tersebut,
yang barangkali yang paling akut pada saat ini," katanya.
Dari 800.000 pengungsi, kata para pejabat PBB, 607.000 menyelamatkan
diri dari kerusuhan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar Utara, sejak 25
Agustus. Saat itu, gerilyawan Rohingya melancarkan serangan terhadap pos
keamanan, sehingga memicu pembalasan dari pasukan pemerintah dan
penjaga keamanan sipil. Banyak desa dibumi-hanguskan dan warga desa
menyelamatkan diri setelah kerusuhan mematikan merebak.
Akses ke Negara Bagian Rakhine --salah satu yang kurang berkembang
di Myanmar-- telah sangat dibatasi, kendati seorang pejabat senior PBB
pada Oktober terbang di atas sebagian wilayah yang mengalami teror dan
melaporkan ia melihat banyak desa yang terbakar.
"Ada dukungan buat peran yang bisa dimainkan oleh UNHCR dalam
memfasilitasi pembahasan mengenai kepulangan secara sukarela, aman dan
bermartabat jika dan ketika keadaan tercipta di Negara Bagian Rakhine
agar ini bisa terjadi," kata kepada Badan Pengungsi PBB tersebut,
sebagaimana dikutip Xinhua.
Ia menjelaskan karena pengungsi
adalah masalah kemanusiaan, semuanya dibahas di dalam UNHCR sebagai
"peristiwa non-politis". "Tapi itu adalah masalah yang tumpang-tindih
dengan agenda perdamaian dan keamanan Dewan Keamanan. Jadi, penyelesaian
masalah pengungsi pada dasarnya adalah politik."
Etnis Rohingya
menghadapi masalah tambahan sebab mereka secara hukum tak memiliki
negara. Myanmar tidak mengakui kebanyakan orang Muslim tersebut sebagai
warga negara, bahkan setelah mereka tinggal selama beberapa dasawarsa di
Myanmar, yang kebanyakan warganya adalah pemeluk agama Buddha.
"Anda perlu menangani masalah kewarganegaraan yang sangat rumit,"
kata Grandi. "Tanpa itu, takkan ada jaminan mereka bisa pulang. Saya
tidak tahu apakah kepulangan orang Rohingya dapat terjadi jika masalah
ini tak diselesaikan."
"Ini --sebagaimana telah sering kami katakan-- bukan cuma pengungsi,
tapi ini adalah pengungsi yang tak memiliki negara," katanya. "Jadi,
ini adalah masalah yang rumit."
UNHCR: 800.000 pengungsi Rohingya hidup dalam "kondisi sangat akut" di Bangladesh
Jumat, 3 November 2017 12:46 WIB