dengan eksploitasi berlebih dalam penangkapan rajungan di laut (alam), maka dampak yang ditimbulkan adalah kian krisisnya stok
Jakarta (ANTARA) - Sebuah kajian mengenai status kondisi sumber daya perikanan rajungan (Portunus pelagicus) di pantai utara Jawa Tengah pada 2013 memberikan simpulan yang menunjukkan gejala terjadi "overfishing" (penurunan populasi).

Kajian itu dilakukan bersama Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (P4KSI KKP), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), dan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan), khususnya di Kabupaten Demak, sebagai salah satu sentra rajungan di pantai utara (pantura) Jateng.

Karena itulah, kemudian kawasan konservasi rajungan di Desa Betahwalang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, pada 27 Desember 2013 ditetapkan oleh para pihak guna memperbaiki sumber daya perikanan daerah itu yang kecenderungannya makin kritis.

Pihak yang berkolaborasi dalam upaya penetapan kawasan konservasi itu adalah nelayan rajungan setempat, Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI), dan Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan (FPIK) Undip.

Arie Prabawa, salah satu pemangku kepentingan rajungan, mengenang peluncuran kawasan konservasi rajungan itu ditandai dengan pemasangan tonggak bambu di tengah laut sejauh dua mil dari pantai bersama nelayan dan diikuti langsung Kepala Desa Betahwalang Ahmad Jamil beserta unsur muspika.

Penetapan Desa Betah Walang sebagai kawasan konservasi itu bertujuan agar rajungan tetap lestari.

"Dengan demikian, bisa terus dikelola secara lestari hingga anak cucu masyarakat nelayan ke depan dalam jangka yang jauh," katanya.

Penurunan populasi itu, ternyata masih berlangsung. Data KKP pada 2016 (http://jdih.kkp.go.id/peraturan/70-kepmen-kp-2016-ttg-rencana-pengelolaan-perikanan-rajungan) telah memvalidasinya.

Baca juga: Asosiasi rajungan gencarkan Gerakan Kembalikan Sebelum 5 Menit

Laju pengusahaan/pemanfaatan atau laju eksploitasi (E) adalah jumlah total rajungan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total rajungan yang mati, baik yang disebabkan faktor alam maupun penangkapan rajungan.

Laporan itu menyatakan laju pemanfaatan rajungan --bahkan di perairan Indonesia-- melalui tabel yang dicantumkan memperlihatkan bahwa laju eksploitasi (E) di atas 0,5.

Ada tujuh peringkat dalam laporan itu yang merujuk pada penelitian, yakni pertama, Lampung Timur, Lampung (E)-nya 0,76, Zairion (2015), kedua, Cirebon, Jawa Barat (E=0,82) Ernawati dan Sumiono (2015), ketiga, Demak, Jawa Tengah (E=0,78) Ernawati dan Sumiono (2015), keempat Pati, Jawa Tengah (E=0,8), Ernawati (2013), kelima, Rembang, Jawa Tengah (E=0,78) Ernawati dan Sumiono (2015), keenam Sumenep, Jawa Timur (E=0,72) Ernawati dan Sumiono(2015) serta ketujuh Takalar, Sulawesi Selatan (E=0,78) Nuraeni (2013)

Berdasarkan nilai laju pengusahaan yang rasional dan lestari di suatu perairan berada pada nilai E<0,5 atau paling tinggi E=0,5.

Dengan mengacu pada rujukan tersebut, laporan itu menyebut diketahui bahwa pengusahaan rajungan di perairan utara Jawa telah melebihi tingkat kelestariannya, di mana telah terjadi pemanfaatan yang berlebih.

Dengan demikian terlihat bahwa laju pengusahaan sumber daya rajungan sudah berada pada tahapan upaya penangkapan yang berlebih (over exploited).
Pakar kelautan dan perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK IPB) Dr Hawis Madduppa (dua dari kiri) dan Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian PPN/Bappenas Dr Ir Sri Yanti JS (dua dari kanan) saat memberikan bantuan alat penangkap rajungan ramah lingkungan kepada nelayan rajungan di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jatim, kerja sama APRI, UNDP melalui Proyek GEF-GMC dan Bappenas, Sabtu (21/9/2019). (FOTO ANTARA/HO-Humas APRI)


Skema FIP

Dalam sebuah seminar tahun 2015 di Bogor, Dr Purwito Martosubroto dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnasjiskan) menyatakan perikanan rajungan mulai berkembang sekitar tahun 1990-an, di mana harga rajungan pada saat itu sekitar Rp5.000 hingga Rp7.000 per kg.

Merujuk data pada 2013, ia menyebutkan harga rajungan di pabrik pengalengan sudah mencapai Rp250.000 per kg, sehingga ekspor komoditas rajungan Indonesia sumbangannya menembus 414,4 juta dolar AS per tahun atau sekitar Rp5 triliun

Nilai ekspor rajungan pada 2013 itu meningkat pesat, dari tahun 2005 yang masih berada di kisaran 130,9 juta dolar AS.

Bahkan, data KKP dengan merujuk data sementara Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 mencatat nilai ekspor rajungan, termasuk kepiting, mencapai 393 juta dolar AS atau Rp5,35 triliun, yang merupakan hasil penjualan rajungan sebanyak 25,9 ribu ton.

Dengan berkembangnya kegiatan ekspor pada awal 2000-an itulah kegiatan penangkapan mulai meningkat sehingga menyerap banyak tenaga kerja, khususnya di "mini plant" atau unit pengolahan ikan (UPI) rajungan skala kecil.

Alhasil, dengan eksploitasi berlebih dalam penangkapan rajungan di laut (alam), maka dampak yang ditimbulkan adalah kian krisisnya stok.

Dalam kaitan itu, maka para pemangku kepentingan bersepakat untuk melakukan upaya-upaya yang kemudian dikenal dengan Program Perbaikan Perikanan (fisheries improvement project/FIP), termasuk di rajungan.

Baca juga: Rajungan menuju sertifikasi global, memadukan konservasi-pemanfaatan

Dalam buku pegangan FIP-WWF Seafood Sustainability pada laman https://seafoodsustainability.org/ dinyatakan bahwa FIP menyatukan beberapa pemangku kepentingan di sektor perikanan, meliputi nelayan, sektor swasta, pengelola perikanan, peneliti, dan LSM, yang berkolaborasi untuk memperbaiki praktik dan pengelolaan penangkapan ikan, sehingga sektor perikanan pada akhirnya dapat meraih sertifikasi dari Dewan Penata Layanan Kelautan (The Marine Stewardship Council/MSC) agar bisa diterima di pasar global.

Sebagai lembaga ekolabel perikanan internasional di negara-negara berkembang, MSC ingin memastikan ikan yang dipasarkan di dunia ditangkap tanpa merusak lingkungan dan berkesinambungan.

Sampai saat ini belum satu pun perusahaan perikanan rajungan di Indonesia yang mendapatkan sertifikat MSC itu.

Namun, pakar kelautan dan perikanan Fakultas Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Ilmu Perikanan dan Kelautan (FPIK) IPB Dr Hawis Maddupa menegaskan bahwa program perbaikan perikanan rajungan telah dimulai dan dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia.

Berbagai kegiatan itu telah dilakukan untuk melaksanakan program perbaikan perikanan rajungan, di mana pada saat ini APRI dan mitra berusaha untuk mewujudkan perikanan rajungan berkelanjutan melalui sertifikasi MSC.

APRI bekerja sama dengan LSM yaitu SFP (Sustainable Fisheries Partnership) dan pembeli dari AS memfasilitasi evaluasi terhadap perikanan rajungan (kegiatan pre-assessment) pada tahun 2009.

Hasil "pre-assessment" yang dilakukan oleh auditor Marine Resources Assesment Group (MRAG) menunjukkan bahwa perikanan rajungan masih belum layak mendapatkan sertifikat Dewan Penata Layanan Kelautan (The Marine Stewardship Council/MSC)

Pada 2019, kolaborasi APRI, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan Badan Pembangunan PBB (UNDP) memberikan dukungan konservasi bagi rajungan melalui pembiayaan oleh Global Environment Facility (GEF) pada Proyek Global Sustainable Supply Chains for Marine Commodities (GMC) pad 2018-2021.

Tiga pihak sedang bekerja sama untuk mencapai pemaduan antara kepentingan konservasi dan pemanfaatan ekonomi rajungan itu.

"Sasaran utamanya jelas yakni meraih sertifikasi global ekolabel dari Marine Stewardship Council (MSC)," kata Hawis Maddupa yang juga Direktur Eksekutif APRI itu.
Program Gerakan Tangkap Kembalikan Sebelum 5 Menit! (GTK5), yang telah diluncurkan APRI di Pamekasan, Madura, Jawa Timur pada 10 Juli 2020 selanjutnya akan dimasyarakatkan ke seluruh nelayan rajungan Indonesia. (FOTO ANTARA/HO-Humas APRI


Program GTK5

Salah satu upaya konservasi rajungan itu dilakukan APRI melalui Program Gerakan Tangkap Kembalikan Sebelum 5 Menit! (GTK5), yang telah diluncurkan di Pamekasan, Madura, Jawa Timur pada 10 Juli 2020.

"GTK5 ini merupakan upaya untuk kelestarian dan keberlanjutan perikanan rajungan di Indonesia," kata Hawis Madduppayang bersama Sekretaris Dewan APRI Bambang Arif Nugraha sebagai unsur delegasi Indonesia memaparkan kemajuan program FIP pada pertemuan "International Boston Seafood Show" digagas Dewan Rajungan NFI (National Fisheries Institute) di Amerika Serikat, negara pembeli terbesar rajungan asal Indonesia, pada 15-17 Maret 2015.

Gerakan yang sudah diluncurkan di Pamekasan itu selanjutnya akan dimasyarakatkan ke seluruh nelayan rajungan Indonesia.

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12/PERMEN-KP/2020 yang mana merupakan revisi dari Permen KP No. 56/PERMEN-KP/2016 melarang penangkapan rajungan kecil dengan lebar karapas <10 cm dan rajungan bertelur demi mewujudkan kelestarian dan keberlanjutan perikanan rajungan.

Namun, kerap kali rajungan kecil dan/atau rajungan bertelur tidak sengaja tertangkap oleh nelayan. Rajungan kecil dan/atau bertelur yang tidak sengaja tertangkap tersebut haruslah dikembalikan ke laut agar kelestarian rajungan dapat terus terjaga.

Untuk mendukung pengembalian rajungan kecil dan/atau rajungan bertelur ke laut setelah tertangkap itu, APRI melakukan Program GTK5 itu.

Gerakan ini dimaksudkan agar nelayan dapat menerapkan pengembalian rajungan kecil dan/atau bertelur dengan jangka waktu kurang dari lima menit setelah penangkapan.

"Ini perlu dilakukan karena setelah lima menit tertangkap, risiko kematian rajungan akan tinggi dan rajungan kecil nantinya tidak memiliki kesempatan untuk tumbuh dewasa, sedangkan rajungan betina bertelur akan kehilangan calon anak-anaknya," katanya.

Oleh karena itu guna wujudkan perikanan rajungan yang lestari dan berkelanjutan semua pemangku kepentingan terkait diajak untuk mengikuti dan terlibat pada Program GTK5 sehingga keseimbangan pelestarian, konservasi dan pemanfaatan bisa terjaga.

Baca juga: APRI-Bappenas dan UNDP berikan dukungan konservasi rajungan
Baca juga: Rajungan Pantura tunjukkan gejala "overfisihing"

 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020