Jadi kerja sama atau kolaborasi 'pentahelix' ini menjadi impelementasi dari upaya kita dalam mengurangi dampak variabilitas iklim agar kita bisa terhindar dari musibah yang akan datang di tahun 2021
Mataram (ANTARA) - Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Provinsi Nusa Tenggara Barat kian memperkuat strategi kolaborasi "pentahelix" dalam upaya menanggulangi bencana yang akan terjadi pada periode tahun 2021.

"Jadi kerja sama atau kolaborasi 'pentahelix' ini menjadi impelementasi dari upaya kita dalam mengurangi dampak variabilitas iklim agar kita bisa terhindar dari musibah yang akan datang di tahun 2021," kata Ketua Forum PRB NTB di Mataram, Rahmat Sabani, S.TP, MP di Mataram, Rabu.

Pentahelix sendiri dimaknai sebagai kerangka kerja dalam berkegiatan dan berkarya agar lebih maksimal dengan lima unsur yang terdiri atas pemerintah (administration), masyarakat (society), bisnis/investor (business), peneliti (knowledge), dan media massa.

Sebelumnya, pada Selasa (5/1) 2021, Rahmat Sabani juga menjadi narasumber dalam acara "Dialog Kentongan" yang disiarkan RRI Mataram dengan tema "Dampak Perubahan Iklim 2021" bersama narasumber prakirawan iklim BMKG Stasiun Klimatologi Lombok Barat Anas Baihaqi, SP.

Rahmat Sabani menjelaskan bahwa variabilitas iklim merupakan sebuah perubahan iklim yang masuk dalam skala regional.

Dia mencontohkan fenomena alam yang terjadi di awal pembuka tahun 2021 ini.

"Sekarang ini telah terjadi iklim ekstrem yang disebut fenomena La Nina. Salah satu dampaknya ada kejadian, yakni suhu permukaan laut di Samudra Pasifik menjadi lebih dingin dari biasanya," kata dosen Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri, Universitas Mataram (Unram) itu.

Terkait dengan adanya kejadian alam tersebut, Rahmat bersama Forum PRB NTB akan memperkuat strategi kolaborasi "pentahelix" yang terdiri dari unsur pemerintah daerah, masyarakat, pengusaha, akademisi, dan juga media tersebut.

"Karena jika itu tidak diperkuat, maka kita dan seluruh masyarakat akan terancam oleh dampak perubahan itu," katanya.

Ancaman yang dia maksud itu salah satunya muncul virus corona jenis baru penyebab COVID-19 yang kini menjadi pandemi.

Dia mengatakan bahwa banyak jurnal yang membahas keterkaitan antara dampak perubahan iklim tersebut dengan munculnya virus yang mematikan itu.

"Juga akan mengancam ketersediaan pangan dan air. Kenaikan permukaan air laut itu juga salah satu dampak yang ada implikasinya ke pangan," kata mahasiswa doktoral (S3) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah itu.

Karena itu, kata dia,  jika Forum PRB ini tidak dimanfaatkan dengan baik maka seluruh elemen masyarakat akan sulit beradaptasi dengan perubahan tersebut.

"Jadi semua elemen harus terlibat, tidak bisa hanya cangkupannya sektoral saja," kata Rahmat Sabani.

Senada dengan yang disampaikan Rahmat dari Forum PRB NTB, Anas Baihaqi sebagai prakirawan iklim dari BMKG Stasiun Klimatologi Lombok Barat mengatakan kepedulian terhadap lingkungan menjadi salah satu faktor penentunya.

"Pemicunya itu asap kendaraan bermotor dan juga yang berasal dari industri. Tapi hal itu tidak bisa kita pungkiri karena perkembangan zaman akan terus diikuti dengan meningkatnya produk industri," katanya.

Karenanya, BMKG terus melakukan mitigasi dengan mencari cara agar dampak yang ditimbulkan dapat dihadapi oleh masyarakat.

"Seperti misalnya suatu daerah yang awalnya kering, bisa jadi basah, begitu juga sebaliknya. Jadi Bagaimana masyarakat nantinya bisa beradaptasi dan menghadapi perubahan yang terjadi," demikian Anas Baihaqi.

Baca juga: "Kolaborasi pentahelix" Forum PRB wujud penanggulangan bencana di NTB

Baca juga: Hadapi bencana NTB susun rencana kontingensi


Baca juga: NTB siapkan desa tangguh bencana di lingkar KEK Mandalika

Baca juga: Konsepsi NTB latih fasilitator Desa Tangguh Bencana

 

Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021