UU Cipta Kerja menjawab masalah upah rendah, jam kerja panjang, perlindungan hak pekerja, buruh kerja harian lepas, perjanjian kerja waktu tertentu, ...
Jakarta (ANTARA) - Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 dinilai mampu meningkatkan daya saing tenaga kerja dan meningkatkan kualitas perlindungan terhadap pekerja termasuk di sektor kelapa sawit.

Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan RI Haiyani Rumondang di Jakarta, Jumat, mengatakan UU Cipta Kerja harus dipandang positif karena memperbaiki, menyempurnakan, dan melindungi pihak pengusaha maupun pekerja.

UU Cipta Kerja menjawab masalah upah rendah, jam kerja panjang, perlindungan hak pekerja, buruh kerja harian lepas, perjanjian kerja waktu tertentu, mencegah pekerja anak, dan melindungi pekerja perempuan dari tindakan kekerasan.

"Seluruh persoalan tersebut kerap kali diangkat untuk menyerang sawit. Kampanye negatif sawit di sektor tenaga kerja sangat merugikan semua pihak. Tanpa penanganan yang baik, kampanye tadi bisa merusak kontribusi sawit terhadap negara. Padahal, peran sawit telah terbukti menyerap 16 juta tenaga kerja," ujarnya dalam dialog webinar bertemakan "Bedah UU Cipta Kerja Bagi Sawit Borneo Berkelanjutan".

Baca juga: RSPO: Pekerja perempuan di perkebunan sawit perlu payung hukum

Oleh karena itu, tambahnya, pemerintah mengajak pelaku usaha dan buruh sawit untuk bersama-sama melaksanakan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11/2020 dan peraturan pelaksananya.

Senada dengan itu Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI Musdhalifah Machmud menyatakan perubahan yang tertuang dalam UU Cipta Kerja idealnya disikapi positif oleh pelaku usaha dan pekerja.

Menurut dia, implementasi regulasi akan meningkatkan daya saing Indonesia, kemudahan perizinan, dan membuka peluang ekspor.

"UU Cipta Kerja akan meningkatkan keberterimaan produk sawit Indonesia di pasar global dan memperkuat citra positif kelapa sawit berkelanjutan, termasuk dengan menerapkan kewajiban ISPO yang telah mengadopsi 12 target SDG's dari 17 target," katanya.

Baca juga: Bahlil: Investasi pintu masuk buka lapangan pekerjaan

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan industri sawit selama tiga tahun terakhir menghadapi gempuran kampanye negatif yang berkaitan ketenagakerjaan.

"Semakin ke sini serangan terhadap kampanye semakin spesifik. Sekarang, bukan lagi industrinya yang diserang melainkan perusahaan menjadi objek kampanye negatif. Kalau dulu, kampanye negatif memakai isu orang hutan dan lingkungan tetapi sekarang isunya beralih pekerja perempuan dan anak," ujarnya.

Joko menyarankan perlunya memanfaatkan UU Cipta kerja untuk memperbaiki keadaan dan meminimalkan resiko atas kampanye tersebut. Ada tiga prasyarat perlu dijalankan pelaku usaha untuk mengadopsi UU Cipta Kerja.

Pertama, pelaku usaha dan pekerja menyamakan persepsi terhadap UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksana. Kedua, pembinaan hubungan industrial menjadi prioritas tidak ada pilihan lain bahwa pemberi kerja dan pekerja harus harmonis.

Baca juga: Serikat sebut petani sawit belum nikmati tingginya harga CPO

Ketiga, pelaku usaha harus memperbaiki praktek ketenagakerjaan yang baik sesuai regulasi. Dalam konteks sustainability, maka aspek ketenagakerjaan menjadi penting sebagaimana diatur prinsip dan kriteria ISPO.

Sekretaris Eksekutif Jejaring/Serikat Pekerja Buruh Sawit Indonesia Nursanna Marpaung mengatakan pihaknya telah membangun kerjasama yang baik dengan Gapki sejak 2017 melalui serangkaian kegiatan seperti pelatihan dan workshop bersama di beberapa wilayah dan riset tentang pekerja perempuan.

Pewarta: Subagyo
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021