Jakarta (ANTARA) - Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto mengatakan polusi udara termasuk asap kebakaran hutan dan lahan turut memperparah COVID-19 baik dari penularan, angka rawat inap dan angka kematian.

Agus dalam webinar Kebakaran Hutan dan Lahan Benarkah Dapat Bersinergi dengan COVID-19? yang diadakan IPB University secara daring diakses dari Jakarta, Sabtu, mengatakan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menimbulkan banyak kerugian di berbagai sektor, termasuk kesehatan.

Asap dari karhutla berdampak pada morbiditas respirasi, kardiovaskular, serebrovaskular, hingga kematian, ujar dia. Berbeda dengan polusi udara, komposisinya kompleks berupa partikel yang sangat kecil yang biasa disebut particulate matter (PM) dan terdiri dari campuran komponen termasuk asam (nitrat dan sulfat), bahan kimia organik, logam, dan partikel tanah atau abu.

Baca juga: Kalbar kembangkan aplikasi asap digital pantau karhutla

Jika diklasifikasikan berdasarkan ukuran maka, ia mengatakan asap karhutla mengandung partikel kasar berdiameter kurang sama dengan 10 μm yang disebut PM10, partikel halus berdiameter lebih kecil sama dengan 2,5 μm yang disebut PM2,5, serta partikel sangat halus berdiameter kurang sama dengan 1 μm atau disebut PM1.

PM yang berasal dari asap karhutla itu, menurut dia, dapat terhirup ke dalam paru-paru, masuk ke alveolus bahkan hingga ke aliran daerah. Tidak hanya itu, asap tersebut juga mengandung karbon monoksida (CO) yang bisa menyebabkan hipoksia dan iskemia, nitrogen dioksida (NO2) yang berdampak toksik dan karsinogenik, lalu mengandung Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) yang dapat menyebabkan toksik dan karsinogenik, serta Volatile organic compound (VOC) yang menyebabkan iritan dan karsinogenik.

Berdasarkan sejumlah penelitian yang mencoba mengungkap kaitan polusi udara dengan COVID-19, seperti studi Pasini et al (2020) di delapan negara yakni Italia, Spanyol, Jerman, Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Iran dan China yang menggunakan satelit dan pengukuran indeks kualitas udara, diketahui infeksi COVID-19 lebih banyak terjadi pada daerah dengan kadar PM2,5 dan NO2 yang tinggi.

Sedangkan studi Zhu et al. (2020) di 219 kota di China menunjukkan peningkatan kadar PM2,5, PM10, NO2, dan O3 sebesar 10 μm per meter kubik (m3) maka berkaitan dengan peningkatan kasus COVID-19 harian sebanyak 2,24 persen, 1,76 persen, 6,94 persen, dan 4,75 persen (secara berurutan).

Sementara penelitian yang dilakukan Setti et al. (2020) di 110 kota di Italia menunjukkan perbandingan kasus COVID-19 per 1.000 penduduk antara kota dengan kadar PM10 tertinggi dan terendah yakni 0,26 banding 0,03. Hal tersebut memunculkan dugaan bahwa PM10 dapat menjadi karier droplet berisi virus, memungkinkan partikel virus bertahan lebih lama di udara, sehingga meningkatkan transmisi COVID-19 secara indirek.

Agus juga menyampaikan hasil studi lain yang dilakukan Leifer et al. (2021) di California, Amerika Serikat, pada tiga kejadian kahutla tidak direncanakan (wildfire) di Orange County, di mana terdapat peningkatan TM2,5 akibat kebakaran. Lalu setiap kejadian karhutla selalu diikuti peningkatan kasus COVID-19 setelah sekitar seminggu periode jeda.

Hal tersebut, konsisten dengan waktu inkubasi dan waktu pengetesan atau pelaporan COVID-19. Karenanya, ia mengatakan sangat penting memastikan karhutla tidak terjadi, terlebih di masa pandemi.

Baca juga: Antisipasi "bencana musiman" di tengah pandemi
Baca juga: Menko Polhukam: Pemerintah bersiap tanggulangi karhutla 2021


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021