Kuala Lumpur (ANTARA) - Pemerintah Malaysia menegaskan pihaknya bergerak bersama ASEAN dalam mengatasi masalah pengungsi Rohingnya dari Myanmar, yang di Malaysia saat ini jumlahnya sudah mencapai 200.000 orang.

"Isu pelarian Rohingya dari Myanmar adalah krisis yang telah berkelanjutan sejak beberapa dekade yang lalu," ujar Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah ketika menjawab pertanyaan anggota parlemen Wong Chen di gedung parlemen, Rabu.

Pengusiran terhadap Rohingya dari Myanmar pada 25 Agustus 2017, ujar dia, hanyalah merupakan manifestasi terkini diskriminasi atas warga etnik tersebut oleh Pemerintah Myanmar yang telah berlangsung sejak pemerintahan tentara memerintah pada 1962.

"Walaupun Myanmar pernah dipimpin oleh sebuah pemerintahan demokratik yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, nasib etnik Rohingya tetap tidak berubah," katanya.

Mereka masih dikecualikan daripada daftar 135 etnik yang dianggap sebagai rakyat Myanmar berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 Myanmar yang berlaku hingga sekarang.

"Etnik Rohingya tetap tidak bernegara (stateless) dan hak-hak mereka terabaikan," katanya.

Dalam masa yang sama, ujar dia, pengusiran populasi mana pun secara paksa dianggap sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan menurut undang-undang internasional, khususnya Statuta Roma terkait Mahkamah Pidana Internasional, dan Konvensi Mengenai Pencegahan dan Hukuman atas Genosida 1948.

"Walaupun penghentian pengusiran ini terletak sepenuhnya di bawah kuasa pemerintah di Myanmar, Malaysia dan negara-negara sependirian perlu terus berusaha ke arah merealisasikan penghentian pengusiran tersebut," katanya.

Dalam hal ini, kata menlu, Malaysia mengambil langkah untuk terus mengetengahkan isu pengungsi Rohingya dalam perbincangan tingkat bilateral maupun internasional.

Di tingkat ASEAN misalnya, ujar dia, Malaysia adalah negara yang paling konsisten dan lantang mengutarakan tentang isu tersebut.

"Malaysia juga mendukung kuat usaha-usaha ASEAN dalam memudahkan repatriasi pelarian Rohingya kembali ke Myanmar," katanya.

Baca juga: Militer Myanmar tidak tanggapi positif upaya utusan khusus ASEAN

Dia mengatakan Malaysia juga melihat bahwa jika pertanggungjawaban atas pengusiran etnik Rohingya tersebut dapat dicapai melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice – ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court – ICC), etnik Rohingya mungkin akan mendapat pembelaan yang sewajarnya. 

 Selain itu, kata Saifuddin, pengusiran serta pelanggaran hak asasi terhadap etnik tersebut juga bisa dihentikan.

Ketika menjawab pertanyaan tentang upaya yang dijalankan menyangkut Myanmar di luar payung ASEAN, Saifuddin menjelaskan bahwa Malaysia mengambil pendekatan bekerja sama dengan negara-negara ASEAN dan tidak bergerak secara sendiri.

"Ini mempertimbangkan bahwa ASEAN mempunyai pengaruh yang lebih besar atas Myanmar untuk mengubah haluannya dan kembali kepada landasan demokrasi seperti yang telah dimandatkan oleh rakyat Myanmar melalui Pemilu," katanya.

Melalui pertemuan darurat yang dihadiri para pemimpin ASEAN untuk membincangkan masalah tersebut bersama-sama wakil tentara Myanmar pada 24 April 2021, lima poin konsensus telah disetujui oleh ASEAN.

"Kini ASEAN sedang melaksanakan konsensus ini mulai dengan memberi bantuan kemanusiaan untuk Myanmar," katanya.

ASEAN, perhimpunan negara-negara Asia Tenggara, memiliki 10 anggota, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Brunei Darussalam, Laos, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar. 


Baca juga: ASEAN salurkan bantuan alkes senilai Rp15,7 miliar ke Myanmar

Baca juga: Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar belum bisa bertugas

 

Menlu Retno: mekanisme ASEAN paling tepat atasi krisis Myanmar

Pewarta: Agus Setiawan
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021