Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan berkas perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Siang ini Jaksa Penuntut Umum KPK telah melimpahkan berkas perkara atas nama Syafruddin Arsyad Temenggung ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Jakpus. Berikutnya, kami menunggu penetapan dan jadwal sidang," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis.

Sebelumnya, pada tahapan penyidikan telah diperiksa total 72 saksi untuk Syafruddin.

Unsur saksi antara lain staf, direksi dan komisaris PT Gajah Tunggal, pengacara, guru besar FE UI, notaris, Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), pegawai dan Kepala BPPN, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kanwil Jawa Tengah, tim Bantuan Hukum, staf khusus Wapres, komisaris PT Kasongan, dan wiraswasta atau unsur swasta lainnya.

Syafruddin sendiri dalam kapasitas sebagai tersangka telah beberapa kali diperiksa pada 5 September 2017, 3 Januari dan 9 Januari 2018.

KPK telah menetapkan Syafruddin sebagai tersangka pada April 2017.

Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Dalam perkembangannya, berdasarkan audit investigatif BPK RI, kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp4,58 triliun.

KPK telah menerima hasil audit investigatif itu tertanggal 25 Agustus 2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.

Dari hasil audit investigatif BPK itu disimpulkan adanya indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban secara keseluruhan.

Nilai Rp4,8 triliun itu terdiri atas Rp1,1 triliun yang dinilai "sustainable" dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi yang menjadi kewajiban obligor yang belum ditagihkan.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018