Indonesia memiliki tiga patahan tektonik atau sesar besar, yaitu Sumatera, Palu-Koro dan Sorong yang memiliki sifat bergerak bergesekan..
Jakarta (ANTARA News) - Indonesia merupakan wilayah rawan bencana karena berada di antara tiga lempeng besar dunia, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Australia dan lempeng Pasifik.

Saking banyaknya kemungkinan bencana yang terjadi, Indonesia bahkan disebut sebagai "supermarket bencana".

Namun, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tidak terlalu sepakat dengan sebutan itu.

"Indonesia adalah laboratorium bencana terbesar di dunia karena hampir semua jenis bencana ada," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho suatu ketika.

Bencana besar terakhir yang terjadi di Indonesia adalah gempa di Sulawesi Tengah pada Jumat, 28 September 2018.

Wilayah yang terkenal dengan kuliner kaki lembu donggala (kaledo) itu bahkan dihantam oleh tiga bencana yang menyebabkan banyak korban dan sebagian masih hilang, yaitu gempa, tsunami dan likuifaksi.

Likuifaksi atau pencairan tanah adalah fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, misalnya getaran gempa bumi atau perubahan ketegangan lain secara mendadak, sehingga tanah yang padat berubah wujud menjadi cairan atau air berat.

Likuifaksi menyebabkan permukiman dan segala sesuatu yang ada di atas bumi terhisap ke dalam tanah oleh lumpur cair. Dalam kejadian gempa di Sulawesi Tengah, hal itu terjadi di Perumahan Petobo, Kota Palu.

Mengingat kemungkinan bencana yang banyak terjadi di Indonesia, maka budaya sadar bencana memiliki arti penting untuk membangun kesiapsiagaan ketika terjadi bencana.

Bila budaya sadar bencana sudah terbentuk, setiap orang paham ancaman bencana di wilayahnya masing-masing. Selain memahami ancaman bencana, mereka juga paham tentang sistem peringatan bencana dan bagaimana menanggapi sistem peringatan itu.

Ancaman Tsunami

Sutopo mengatakan 3,8 juta jiwa penduduk Indonesia memiliki risiko terhadap ancaman bencana tsunami, sedangkan penduduk Indonesia yang berisiko terancam gempa bumi sebanyak 148,4 juta jiwa.

"Waktu untuk menyelamatkan diri hanya 30 menit hingga 40 menit. Karena itu, mitigasi bencana tsunami penting," kata Sutopo

Contoh gempa dan tsunami dengan jarak waktu yang sangat singkat terjadi di Flores pada 12 Desember 1992. Gempa berkekuatan 7,8 Skala Richter diikuti tsunami 36 meter.

Jarak waktu antara gempa dengan tsunami saat itu hanya lima menit, hal itu menyebabkan 2.600 orang tewas dan hilang.

Selain gempa dan tsunami di Flores pada 1992, kejadian serupa juga pernah terjadi di Ambon pada 1674. Tercatat, 2.243 orang tewas akibat tsunami dengan ketinggian 80 meter hingga 100 meter.

Antara 1629 hingga pertengahan 2018, terdapat 178 kejadian tsunami besar dan kecil di seluruh Indonesia.

Singkatnya waktu antara gempa dengan tsunami karena tsunami di Indonesia bersifat lokal. Artinya, sumber gempa pemicu tsunami berada di sekitar wilayah Indonesia.

"Kawasan Timur Indonesia lebih rawan tsunami, tetapi masih minim penelitian, sarana prasarana, sosialisasi dan mitigasi tsunami," jelasnya.

Sayangnya, tanggapan masyarakat saat menerima informasi peringatan dini tsunami masih belum memuaskan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Universitas Syiah Kuala Aceh dan pemerintah Jepang pada gempa bumi 11 April 2012 yang melibatkan 813 responden, 63 persen masyarakat tidak mendengar sirine tsunami.

Meskipun sirine peringatan tsunami hanya didengar 63 persen masyarakat, tetapi 75 persen masyarakat diketahui menyelamatkan diri. Sayangnya, 75 persen dari mereka menggunakan kendaraan.

Akibatnya, kemacetan lalu lintas terjadi. Sebanyak 78 persen pengungsi terjebak dalam kemacetan lalu lintas sekitar 20 menit.

Ketika ditanya tentang upaya menyelamatkan diri, 60 persen masyarakat pergi ke pedalaman atau perbukitan, 19 persen ke bangunan tinggi dan 21 persen tetap tinggal di tempat.

"Sebanyak 71 persen responden menyatakan belum pernah ikut latihan menghadapi bencana," kata Sutopo.

Ketika peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana pada 26 April 2018, Kepala BNPB Willem Rampangilei mengatakan budaya sadar bencana penting dibangun di masyarakat.

"Bila tidak ada kesadaran terhadap bencana, maka korban akan lebih sulit untuk diselamatkan," katanya saat itu.

Bila budaya sadar bencana sudah terbentuk, setiap orang paham ancaman bencana di wilayahnya masing-masing. Selain memahami ancaman bencana, mereka juga paham tentang sistem peringatan bencana dan bagaimana menanggapi sistem peringatan itu.

Karena itu, pelatihan menghadapi bencana harus sering dilakukan. Apalagi, Indonesia berada di wilayah yang rawan bencana.

Pelatihan menghadapi bencana harus terus menerus dilakukan, tidak hanya saat Hari Kesiapsiagaan Bencana. Harus disadari bahwa jutaan orang Indonesia tinggal di daerah yang rawan bencana.

Ekspedisi Palu-Koro

Dua bulan sebelum gempa dan tsunami melanda Sulawesi Tengah, para peneliti tengah melakukan Ekspedisi Palu-Koro untuk meneliti sesar Palu-Koro.

Dalam jumpa pers terkait ekspedisi tersebut pada Juli 2018, Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko mengatakan Indonesia memiliki tiga patahan tektonik atau sesar besar, yaitu Sumatera, Palu-Koro dan Sorong yang memiliki sifat bergerak bergesekan.

Sukmandaru mengatakan kerak bumi tempat tinggal manusia merupakan lempengan-lempengan tektonik yang terus bergerak sehingga kulit luarnya ikut terpengaruh.

Karena pergerakan itu, kulit kerak menjadi pecah-pecah yang menyebabkan terbentuk sesar. Pergerakan itu menyebabkan lempeng tektonik dan sesar bertabrakan, bergesekan atau saling menjauh.

Dampak dari pergerakan lempeng tektonik dan sesar itu, salah satunya adalah gempa bumi. Pergerakan tersebut juga dapat memicu timbulnya gunung api di perbatasan antarlempeng.

Khusus untuk Sesar Palu-Koro, terdapat catatan peristiwa gempa besar pada 1907 dan 1909. Namun, penelitian palaeoseismologi menunjukkan wilayah tersebut memang kerap terjadi gempa, tidak hanya dua kali yang tercatat itu.

Sukmandaru mengatakan tujuan diadakan Ekspedisi Palu-Koro adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi kebencanaan, terutama gempa bumi, di wilayahnya.

Di wilayah tersebut kerap terjadi gempa. Karena itu, masyarakat perlu memiliki kesadaran sehingga mampu memitigasi.

Baca juga: BNPB catat 1.763 korban gempa Sulteng
Baca juga: Aparat TNI/Polri pulihkan keamanan di Sulteng

 

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018