JAKARTA (ANTARA News) -- Underwriter dituntut untuk memiliki integritas dalam menilai kelaiklautan (sea worthiness) kapal untuk meminimalisir munculnya risiko klaim asuransi yang besar apabila terjadi kerusakan atau bahkan kecelakaan begitu kapal telah berlayar.
 
Hal ini disampaikan oleh Direktur Teknik Operasi Indonesia Re Kocu A. Hutagalung di acara diskusi bertajuk 'Jaminan pada Cuaca Buruk (Bad Weather) Dilihat dari sisi Teknik Perkapalan, Kompetensi & Pengawasan, Regulasi dan Polis Asuransi (ITC Hull)' di Jakarta, Rabu.
 
"Underwriter harus berani menolak menerima risiko tersebut apabila ada temuan bahwa kapal tersebut tidak laik melaut, karena kalau terjadi kecelakaan, begitu banyak yang dirugikan," ujar Kocu.
 
Pernyataan Kocu tersebut tidak lain dilatarbelakangi oleh polemik yang masih terjadi dalam hal penilaian kelaiklautan sebuah kapal sebelum berlayar. Tidak jarang Surat Izin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB) diterbitkan padahal kondisi kapal tidak laik untuk melaut. Untuk menerbitkan SPB/SIB dibutuhkan kesepakatan antara syahbandar, pemilik kapal, dan nakhoda.
 
Mengingat setiap kapal yang berlayar, beserta awak dan penumpang di dalamnya diasuransikan, peran underwriter sangat vital untuk menilai kelaiklautan kapal. Meskipun demikian, pemilik kapal sebagai pihak tertanggung pun berhak untuk memilih atau mengganti vendor asuransi apabila tidak menemui kesepakatan antar kedua belah pihak terkait kelaiklautan kapal.
 
"Sekarang keputusan di tangan kita (asuransi) - terima atau tidak. Kalau kita sama seperti mereka, ya ke depannya akan seperti ini terus. Kita harus punya integritas dalam mengambil risiko," tegasnya.
 
Selama 2018 saja, Indonesia Re mencatatkan loss ratio dari Marine Hull mencapai 120 persen dengan nilai lebih dari Rp200 miliar. Mayoritas klaim disebabkan oleh constructive total loss atau biaya perbaikan lebih besar dari nilai barang tersebut.
 
Senada dengan Kocu, Direktur Teknik Asuransi Jasa Tania Arifia Indah Liany menyayangkan longgarnya pengawasan pihak-pihak terkait hingga SIB/SPB dapat diterbitkan meskipun kapal tersebut kurang laik untuk melaut.
 
"Tentunya tim underwriter kami sangat selektif (memilih risiko) karena kami menganggap SIB/SPB tidak merepresentasikan kelaikan kapal (untuk melaut)," tuturnya.
 
Sementara itu, ditemui di kesempatan yang sama, Guntur Tampubolon Managing Director Radita Hutama Internusa (Charles Taylor Adjusting) tidak menampik bahwa terbitnya SIB/SPB pada kapal yang ternyata tidak/kurang laik melaut juga kerap kali berasal dari pemilik bisnis atau kargo, yang ingin barangnya dapat sampai tujuan tepat waktu tanpa melihat kondisi kapal atau laporan prakiraan cuaca.
 
"Jadinya mengorbankan kepentingan jangka panjang untuk kepentingan sesaat, dan akhirnya si pemilik bisnis dan asuransi yang rugi," pungkasnya.

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2019