Takjauh dari pusat pertokoan, terdapat sebuah tempat ibadah bernama Klenteng Tridharma Tulus Harapan Kita. Letaknya berada di Kelurahan Biawu, Kota Gorontalo.

Menurut Maryam Lamadilauw, pandita di klenteng itu, Tulus Harapan Kita adalah klenteng tertua di Gorontalo.

Berdasarkan penanggalan Tiongkok, klenteng tersebut telah berusia 127 tahun dan dibangun oleh para pedagang Tionghoa.

"Saat itu pedagang dari Tiongkok masuk ke Gorontalo untuk memperluas area dagangnya. Mereka kemudian mengumpulkan hasil keuntungan berdagangnya untuk membangun klenteng ini," ungkapnya.

Klenteng dua lantai itu tampak selalu rapi dan bersih. Pagar merahnya selalu terbuka bagi umat Buddha Tridharma beribadah dan siapa saja yang ingin melihat dari dekat bangunan itu.

Saat masuk ke halaman klenteng, pengunjung akan berjumpa dengan seorang laki-laki berkulit cokelat, bermata sayu dengan senyum kecil yang selalu menghiasi wajahnya. Namanya adalah Alit Antara (32), pemeluk agama Hindu yang tiga tahun ini menjaga klenteng tersebut.

Kedua orang tua Alit berasal dari Bali dan bertahun-tahun telah menjadi transmigran di Provinsi Gorontalo.

Lahir dan dibesarkan di Desa Tri Rukun Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo membuatnya sejak kecil sudah terbiasa berkebun dan bertani.

"Saya ke Kota Gorontalo ingin mengadu nasib dan menyekolahkan anak di tempat yang lebih baik. Kebetulan waktu itu Ketua Pengurus klenteng ini ingin menambah jumlah penjaga klenteng dan saya ditawarkan kerja di sini," katanya.

Pekerjaan sebagai petani pun akhirnya dia tinggalkan.

Bersama istrinya, Ketut Sumerti dan seorang anak laki-lakinya, dia menempati rumah di bagian belakang Klenteng.

"Saya dan istri bertugas membersihkan klenteng ini setiap hari. Waktu yang paling sibuk adalah menjelang perayaan Imlek seperti sekarang ini karena banyak persiapan dan pembenahan yang harus dilakukan," ungkapnya.

Dua minggu sebelum Imlek tiba, dia banting tulang mulai dari membersihkan bangunan hingga memasang 170 lampion di teras dan halaman klenteng.

Alit mengaku merawat klenteng tersebut dengan sepenuh hati. Dia menyapu sebersih-bersihnya dan menyingkirkan debu yang bisa merusak kemegahan klenteng.

Ia pun selalu mematuhi batasan-batasan yang tidak boleh dilanggarnya, seperti larangan membersihkan arca.

"Semua arca yang ada harus dibersihkan sendiri oleh umatnya, jadi saya tidak berani menyentuh," ujarnya.

Hal itu dilakukannya semata karena ingin para umat yang sembahyang di tempat suci itu merasa lebih nyaman.

Selain Alit sekeluarga, seorang pria muslim bernama Tomo Duanimo (47) turut merawat klenteng tersebut sejak 2008.

Ada pula seorang umat Budha bernama Mak Giok (87) yang bekerja di tempat ibadah itu sejak masih gadis.

Ketiganya berbagi tugas. Alit dan Tomo merawat bangunan, sementara Mak Giok mengurus semua keperluan sembahyang di klenteng itu. Namun, yang bertanggung jawab selama 24 jam terhadap klenteng itu adalah Alit dan istrinya.

"Saya hanya pulang kampung pada Hari Raya Nyepi karena di kota tidak ada Pura. Kalau kami sedang Nyepi, Pak Tomo yang mengerjakan tugas saya. Akan tetapi, jika Pak Tomo sedang berlebaran, gantian saya yang mengerjakan tugasnya. Kalau sedang Imlek maupun Waisak, saya dan Tomo tidak ingin membuat Mak Giok sibuk," urai pria itu.

Meski akan menguras tenaga dan keringatnya, dia mengaku ikut gembira menyambut perayaan Imlek.

Baginya suasana Imlek mampu memberi harapan baru yang lebih baik.

"Saya senang bisa berkumpul dan menjadi bagian dalam persiapan Imlek. Apalagi, setelah itu ada waktu khusus untuk bagi-bagi angpao," tuturnya sambil tertawa.

Tanpa menunggu lama, pria itu belajar banyak mengenai kebiasaan, ritual hingga ketentuan dalam agama Buddha.

"Keuntungan yang paling saya rasakan adalah wawasan saya mengenai keagamaan bertambah, termasuk bagaimana cara untuk memelihara suatu hubungan," tambahnya.

Dalam bekerja, dia membangun hubungan kekeluargaan dan saling menghargai, baik dengan sesama penjaga klenteng maupun dengan warga Tionghoa di sekitarnya.

Meski demikian, dia mengaku kehidupan beragamanya sama sekali tak terusik sekalipun hidup di lingkungan klenteng dan berbaur dengan pemeluk agama lainnya.

Pria itu tetap sembahyang tiga kali sehari di kamar yang disediakan oleh Ketua Pengurus Klenteng.

Justru dia mengaku bisa belajar lebih dalam mengenai kasih sayang antarumat beragama melalui kesetiannya merawat klenteng.


Pewarta:

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2015