Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengakui ada sejumlah masalah dalam penyerapan anggaran di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) padahal dana tersebut dibutuhkan untuk mengatasi pandemi COVID-19.

"Ada beberapa kementerian yang disinggung, pertama Kemenkes dengan anggaran cukup besar, tapi serapan anggaran 1,53 persen. Setelah kita dalami ada beberapa persoalan, pertama, masalah koordinasi antara pemerintah daerah, BPJS, Kemenkes, itu juga sedang dibenahi," kata Moeldoko dalam wawancara khusus dengan ANTARA, di kantornya Gedung Bina Graha, Jakarta, Senin.

Dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara pada 18 Juni 2020 lalu, Presiden Joko Widodo (JokowI) menegur dengan keras penyerapan anggaran di bidang kesehatan baru 1,53 persen dari total anggaran yang disiapkan sebesar Rp75 triliun.

Akibatnya, menurut Presiden Jokowi, uang beredar di masyarakat seluruhnya terhenti di sana.

"Ini masalah koordinasi sering mudah diucapkan tapi sulit untuk dilakukan, tapi ada langkah-langkah yang sudah dilakukan Kemenkes untuk mengnyinergikan kekuatan ini untuk mencari solusi bersama," ujar Moeldoko.

Masalah selanjutnya adalah pada proses verifikasi data tenaga kesehatan.

"Verifikasi data tenaga kesehatan juga perlu ada koordinasi, jangan sampai ada salah sasaran dan masalah ketiga ada regulasi Kemenkes yang lama menghadapi situasi seperti ini. Regulasi itu tidak cocok lagi, jadi perlu ada perbaikan," kata Moeldoko.

Intinya, menurut Moeldoko, dalam situasi pandemi COVID-19, perlu ada langkah-langkah baru yang dilakukan Kemenkes.

Menurut Moeldoko, tingkat 'kegemasan' Presiden terhadap mandeknya penyerapan anggaran dan lambatnya penanganan COVID-19 sudah mendekati puncak.

"Gemasnya Presiden dari angka 1-5 sudah mendekati angka 5. Presiden ingin skema bantuan tadi, bansos, bantuan ekonomi dan keuangan itu tidak telat, kalau terlambat Presiden mengatakan dunia usaha sudah mati, UMKM sudah mati juga. Ini peringatan kesekian kalinya bukan baru kali ini, kalau terlambat, sudah bahaya," ujar Moeldoko pula.

Dalam arahan 18 Juni 2020 tersebut, Presiden Jokowi bahkan membuka opsi "reshuffle" menteri atau pembubaran lembaga yang masih bekerja biasa-biasa saja.

"Bisa saja, membubarkan lembaga, bisa saja 'reshuffle'. Sudah kepikiran ke mana-mana saya, entah buat perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) yang lebih penting lagi. Kalau memang diperlukan. Karena memang suasana ini harus ada, kalau bapak ibu tidak merasakan itu sudah," kata Presiden Jokowi sambil mengangkat kedua tangannya.

Hadir dalam sidang paripurna tersebut Wakil Presiden Ma'ruf Amin, para menteri Kabinet Indonesia Maju, dan para kepala lembaga negara.

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020