Kementerian Dalam Negeri sedang mengkaji pemberian sanksi berupa penundaan pelantikan bagi para kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan COVID-19 dalam tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (PIlkada) Serentak Tahun 2020.
"Sedang dikaji opsi sanksi lain, misalnya diangkat penjabat sementara yang kita tunjuk dari pusat, apabila para pelanggar itu menang, maka akan diusulkan untuk ditunda pelantikannya hingga tiga sampai enam bulan. Disekolahkan dulu biar taat aturan," kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Akmal Malik dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Akmal mengatakan para bakal calon kepala daerah tersebut seharusnya dapat memberikan contoh yang baik kepada masyarakat, yang salah satunya melalui kepatuhan terhadap protokol kesehatan.
Hingga Senin, sebanyak lebih dari 50 kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota mendapat sanksi berupa peringatan tertulis karena telah melanggar protokol kesehatan. Pelanggaran tersebut sebagian terjadi pada saat tahapan pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah untuk Pilkada Serentak Tahun 2020.
"Sudah 50 bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota dan satu gubernur yang ditegur keras oleh Mendagri. Teguran tersebut terkait kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak patuh protokol kesehatan," kata Akmal.
Sebagian besar kepala daerah pelanggar protokol kesehatan tersebut merupakan petahana yang kembali mencalonkan diri sebagai bakal calon kepala daerah pada Pilkada Serentak Tahun 2020, seperti Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Bupati Klaten Sri Mulyani, Bupati Muna Barat Laode Muhammad Rajiun Tumada dan Bupati Muna Rusman Emba.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan Bawaslu Kabupaten Klaten, Bupati Klaten terbukti telah melanggar kode etik," kata Akmal.
Mendagri Tito Karnavian juga telah memerintahkan para gubernur untuk memberikan peringatan tertulis kepada para bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota yang bermasalah tersebut.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020