Jakarta, (ANTARAGORONTALO) - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyarankan moratorium hukuman mati di Indonesia karena  praktik pemidanaan tersebut telah mendorong "death row phenomenon" (fenomena masa tunggu eksekusi) akibat panjangnya deret waktu tunggu eksekusi.

"Lamanya waktu tunggu eksekusi yang bahkan mencapai 16 tahun telah menimbulkan situasi penyiksaan bagi terpidana mati," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono di Jakarta, Sabtu bertepatan dengan Hari Antipenyiksaan Sedunia, 26 Juni 2016.

Dia mengatakan, eksekusi mati telah menyisakan permasalahan serius terkait kondisi ini. Pada dua eksekusi terakhir, rata-rata masa tunggu mencapai 10 Tahun enam bulan, dengan waktu tunggu paling lama mencapai 16 tahun.

Waktu tunggu yang begitu lama, di satu sisi menunjukkan bahwa para terpidana sesungguhnya sudah mendapatkan hukuman penjara yang tidak sedikit. Dengan demikian, terpidana mendapatkan dua kali hukuman yaitu penjara dan pidana mati. Perlakukan ini merupakan perlakuan yang tidak manusiawi.

Selain itu, kondisi di masa tunggu juga mengakibatkan trauma mental yang berat dan kemunduran kondisi fisik dalam tahanan.

Ia mencontohkan, terpidana mati kasus narkoba, Rodrigo Gularte dan Marco Archer Cardoso Moreira dieksekusi dalam kondisi gangguan jiwa dan mental yang tidak stabil.

Mary Jane, yang sampai saat ini masih masuk dalam masa tunggu terpidana mati, mendapatkan trauma mental dan stres.

Supriyadi mengutip pernyataan pelapor khusus PBB tentang penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang, Juan Mendez. Ia dalam laporan pada 2012 menyatakan hukuman mati haruslah dilihat dalam bingkai martabat manusia dan larangan terhadap penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang.

Secara praktik, metode eksekusi yang mengakibatkan ketersiksaan dan tidak manusiawi.

Pewarta:

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016