Pakar hukum pidana Romli Atmasasmita menilai revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (revisi UU KPK) akan mengembalikan marwah dan jati diri KPK sebagai lembaga yang fokus menangani permasalahan korupsi.
Melalui siaran pers yang diterima Antara, Jumat, Romli berpendapat selama ini dalam praktiknya ada banyak hal yang kurang tepat di lapangan.
Romli mencontohkan KPK harus berkoordinasi dengan Polri, Kejaksaan Agung dan kementerian terkait jika ada sebuah kasus korupsi. Tapi, menurutnya, KPK terkadang langsung melakukan penindakan tanpa berkoordinasi dengan lembaga-lembaga tersebut. Padahal tugas utama KPK adalah melakukan koordinasi dan supervisi, selain penindakan.
Romli mengatakan apabila masih ditemukan permainan setelah koordinasi, baru KPK diperkenankan melakukan penindakan.
"Kalau supervisi di jaksa dan polisi ada masalah, baru diambil alih," ujarnya.
Romli juga mengkritisi kewenangan penyadapan KPK yang tanpa izin dari pengadilan.
"Ini berbeda dengan Kejagung dan Polri. Padahal seharusnya mekanismenya sama," katanya.
Sementara Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan menilai revisi UU KPK bertujuan agar pemberantasan korupsi di negeri ini semakin baik dan mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
"Revisi UU KPK memberikan kewenangan pada lembaga ini untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), padahal dalam sejumlah kasus ada tersangka korupsi yang bertahun-tahun tersandera walau tak bisa diproses hukum lebih lanjut. Sehingga para tersangka ini tak punya kepastian hukum," kata Edi.
Mantan anggota Kompolnas ini mengharapkan dengan UU yang baru, KPK dapat meneliti kembali sejumlah kasus dan menerbitkan SP3 bila terdapat sejumlah kasus yang tidak bisa dilanjutkan.
Dengan adanya revisi UU KPK, Edi mengharapkan KPK, Polri dan Kejaksaan bisa bersinergi dan saling melengkapi dalam penegakan hukum.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengaku setuju jika ada hal-hal yang perlu dievaluasi untuk memperbaiki lembaga antirasuah itu, asalkan tak melemahkan lembaga ini.
Salah satunya, pakar hukum tata negara ini setuju dengan pembentukan Dewan Pengawas KPK. Menurutnya, Dewan Pengawas merupakan perluasan fungsi dari Dewan Penasehat KPK.
"Ya kalau sifatnya internal, dewan pengawas tidak mengganggu independensi KPK," kata Jimly.
Dikatakan, selama ini KPK memang sudah memiliki penasehat. Maka dengan adanya dewan pengawas tidak perlu lagi ada Dewan Penasehat.
"Jadi Dewan Pengawas semacam perluasan fungsi Dewan Penasehat yang sudah ada. Namun pemilihan Dewan Pengawas KPK harus transparan dan keberadaannya jangan sampai mengganggu proses hukum. Misalnya soal penyadapan. Izin penyadapan itu kan izinnya bisa dari pengawas," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019
Melalui siaran pers yang diterima Antara, Jumat, Romli berpendapat selama ini dalam praktiknya ada banyak hal yang kurang tepat di lapangan.
Romli mencontohkan KPK harus berkoordinasi dengan Polri, Kejaksaan Agung dan kementerian terkait jika ada sebuah kasus korupsi. Tapi, menurutnya, KPK terkadang langsung melakukan penindakan tanpa berkoordinasi dengan lembaga-lembaga tersebut. Padahal tugas utama KPK adalah melakukan koordinasi dan supervisi, selain penindakan.
Romli mengatakan apabila masih ditemukan permainan setelah koordinasi, baru KPK diperkenankan melakukan penindakan.
"Kalau supervisi di jaksa dan polisi ada masalah, baru diambil alih," ujarnya.
Romli juga mengkritisi kewenangan penyadapan KPK yang tanpa izin dari pengadilan.
"Ini berbeda dengan Kejagung dan Polri. Padahal seharusnya mekanismenya sama," katanya.
Sementara Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan menilai revisi UU KPK bertujuan agar pemberantasan korupsi di negeri ini semakin baik dan mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
"Revisi UU KPK memberikan kewenangan pada lembaga ini untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), padahal dalam sejumlah kasus ada tersangka korupsi yang bertahun-tahun tersandera walau tak bisa diproses hukum lebih lanjut. Sehingga para tersangka ini tak punya kepastian hukum," kata Edi.
Mantan anggota Kompolnas ini mengharapkan dengan UU yang baru, KPK dapat meneliti kembali sejumlah kasus dan menerbitkan SP3 bila terdapat sejumlah kasus yang tidak bisa dilanjutkan.
Dengan adanya revisi UU KPK, Edi mengharapkan KPK, Polri dan Kejaksaan bisa bersinergi dan saling melengkapi dalam penegakan hukum.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengaku setuju jika ada hal-hal yang perlu dievaluasi untuk memperbaiki lembaga antirasuah itu, asalkan tak melemahkan lembaga ini.
Salah satunya, pakar hukum tata negara ini setuju dengan pembentukan Dewan Pengawas KPK. Menurutnya, Dewan Pengawas merupakan perluasan fungsi dari Dewan Penasehat KPK.
"Ya kalau sifatnya internal, dewan pengawas tidak mengganggu independensi KPK," kata Jimly.
Dikatakan, selama ini KPK memang sudah memiliki penasehat. Maka dengan adanya dewan pengawas tidak perlu lagi ada Dewan Penasehat.
"Jadi Dewan Pengawas semacam perluasan fungsi Dewan Penasehat yang sudah ada. Namun pemilihan Dewan Pengawas KPK harus transparan dan keberadaannya jangan sampai mengganggu proses hukum. Misalnya soal penyadapan. Izin penyadapan itu kan izinnya bisa dari pengawas," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2019