Gorontalo, (ANTARA GORONTALO) - Berbagai stakeholder (pemangku kepentingan) di Kabupaten Gorontalo, memiliki peran dalam menurunkan angka kematian ibu hamil (AKI) yang menjadi problematika masalah kesehatan di daerah ini.

Kepala Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Gorontalo, Azis Nurhamiddin, Selasa, mengatakan, persoalan menekan AKI bukan sekedar masalah sakit dan sehat semata, namun seluruh elemen di daerah ini saling berkaitan dan bergantung satu sama lain, termasuk aspek sosial ekonomi dan budaya didalamnya.

"Hal ini menjadi salah satu faktor mengapa angka kematian ibu melahirkan tidak kunjung tuntas," ujarnya.

Ia mengatakan, diawal kepemimpinan bupati Gorontalo David Bobihoe Akib tahun 2005 lalu, AKI mencapai 553 per 100 ribu lahir hidup dan terjadi penurunan sekitar 50 persen.

Memasuki periode kedua kepemimpinan bupati tahun 2011, yaitu angka kematian ibu melahirkan sebesar 259 per 100 ribu lahir hidup, namun masih cukup tinggi bila dibanding dengan komitmen target Internasional, yaitu target Millenium Development Goals (MDGs) 2015 yang ingin dicapai yaitu sebesar 102 per 100 ribu lahir hidup.

Sementara target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yaitu 110 per 100 ribu lahir hidup masih jauh dari harapan, sehingga memerlukan ekstra kegiatan dan tentunya melibatkan segenap stakeholder, karena masalah kesehatan adalah tanggung jawab bersama.

Langkah strategis yang ditempuh pemerintah Kabupaten Gorontalo, adalah pelembagaan pembentukan tim Gugus Tugas (G-GAS) dalam rangka percepatan penurunan AKI, sesuai keputusan bupati Gorontalo nomor 59/16/I/2013 tertanggal 22 Januari 2013, artinya tim G-GAS sudah berjalan sekitar satu tahun lebih, yang didalamnya melibatkan lembaga vertikal.

Yaitu Kementerian Agama, Kepolisian dan TNI, ditindak lanjuti dengan pembentukan tim G-GAS di tingkat kecamatan dengan Surat Keputusan (SK) Camat.

Juga melibatkan lembaga vertikal di kecamatan yaitu Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek), Koramil, Camat, Kepala Urusan Agama, Kepala Puskesmas serta lintas program dan sektor terkait lainnya, dimana tim G-GAS di tingkat kecamatan sebagian besar dikukuhkan bupati.

Yang pelaksanaannya diintegrasikan dengan program pelayanan berpindah "Goverment Mobile", serta hasilnya cukup signifikan dalam mengatasi masalah kesehatan, terutama penurunan AKI.

"Jika ada selentingan negatif dari berbagai pihak tentang posisi tim G-Gas tingkat kabupaten, pemerintah daerah mengakui memang belum optimal namun tidak bisa dipungkiri kinerja tim ini di tingkat kecamatan sangat maksimal dan telah mendapat apresiasi dari pemerintah pusat serta berbagai lembaga pemerhati kesehatan," ujar Azis.

Menurut ia, eksistensi aparat Kepolisian dan TNI dalam tim G-GAS sangat dibutuhkan, karena persoalan tingginya AKI, sebab tidak hanya berkenaan dengan aspek teknis namun lebih banyak pada aspek non teknis, sehingga sangat membutuhkan penanganan dengan pendekatan multi disiplin ilmu atau multi sektor.

"Jadi kehadiran unsur Kepolisian dan TNI bukan untuk menakut-nakuti, namun diantaranya menjaga stabilitas sosial kemasyarakatan, memberikan pengamanan dan perlindungan terhadap tim G-Gas lainnya selama melaksanakan tugas dan mengkoordinasikan satuan di tingkat bawah untuk dapat bekerja sama," ungkapnya.

Lanjut kata Azis, data dan fakta di lapangan menunjukkan bahwa penyebab tingginya AKI karena anggota keluarga terlambat mengambil keputusan, terlambat merujuk dan terlambat mendapatkan penanganan.

Dari tiga hal itu, hanya sekitar 70 persen dapat diselesaikan dengan pendekatan non teknis melibatkan lintas program dan sektoral, disamping masyarakat butuh "personal leader" yang bisa jadi contoh, panutan, dan didengar serta bisa mengayomi.

Contoh konkrit di beberapa kecamatan, pada awalnya keluarga si ibu hamil akan melahirkan tidak mau dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sehingga kehadiran aparat kepolisian "Polisi Sahabat Rakyat", anggota keluarga yang bersangkutan termasuk ibu hamil mau dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan dan akhirnya bisa diselamatkan dari maut.

Azis menegaskan, tidak betul polisi memanggil-manggil paksa ibu hamil, sebab tugas ini mulia dan bupati sekalipun tidak pernah berbohong terkait program ini.

Bupati David Bobihoe Akib sendiri pada tayangan "talk show" di salah satu media nasional beberapa waktu lalu menyebutkan, "manakala ada ibu yang tidak mau diajak ke rumah bersalin atau puskesmas tempat bersalin, itu kami meminta polisi memaksa dijemput polisi".

Terkait program penurunan AKI di kabupaten ini, Kepala Kepolisian Resor (Polres) Gorontalo, AKBP Budi Setiyawan di Limboto mengatakan, sejauh ini pihaknya tidak pernah memaksa ibu hamil untuk melahirkan di puskesmas atau tempat persalinan.

"Polisi tidak pernah memaksa ibu hamil sebab kami bekerja sesuai tupoksi polisi," tegasnya. 

Pewarta: Susanti Sako

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2014