Beberapa saat setelah diisolasi dan diblokade (lockdown) pada tanggal 23 Januari 2020 pukul 10.00, pengamanan Kota Wuhan ditingkatkan.
Bukan hanya petugas medis, pengerahan personel kepolisian dan militer dalam skala besar dilakukan ke Ibu Kota Provinsi Hubei yang berada di wilayah tengah China itu.
Tidak hanya pintu keluar-masuk tol, bandar udara, dan stasiun kereta api, jalan tikus pun sulit ditembus karena ketatnya pengamanan agar wabah penyakit radang paru-paru berat yang diakibatkan oleh virus corona jenis baru atau COVID-19 yang berepisentrum di Wuhan itu tidak makin meluas penyebarannya.
Tak peduli siapa pun itu, orang asing yang pada tanggal tersebut berada di kota berpenduduk sekitar 11 juta jiwa itu juga mendapatkan perlakuan yang sama.
Setelah berbagai pendekatan dan kesepakatan dengan pemerintah China, beberapa warga negara asing, termasuk 238 warga negara Indonesia bisa meninggalkan Wuhan.
Namun pekan ini masyarakat China dihebohkan oleh seorang pasien COVID-19 yang berhasil dengan mudahnya melarikan diri dari Wuhan.
Bahkan perempuan bermarga Huang itu bisa mengemudikan mobil bersama keluarganya dalam waktu tempuh sekitar 24 jam untuk melakukan perjalanan Wuhan-Beijing.
Kenapa dia bisa lolos dari Wuhan dan dengan leluasanya bisa melakukan perjalanan dengan keluarganya ke Beijing? Bukankah pengamanan di Wuhan sangat ketat?
Demikian pula pengamanan di Beijing. Apalagi sehari setelah Wuhan ditutup, setiap rumah di beberapa daerah lain di China digedor oleh petugas kepolisian untuk menanyai satu-persatu penghuninya apakah ada yang berasal dari Wuhan atau punya riwayat perjalanan ke kota terkaya ketujuh di China itu dalam waktu 14 hari terakhir seperti yang pernah dialami ANTARA di Beijing pada 24 Januari lalu.
Pertanyaan-pertanyaan dan berbagai jenis kemuskilan lainnya yang muncul dari kalangan warganet China atas peristiwa yang tidak lazim itu tidak bisa dihindari.
Apalagi China sangat ketat dan kaku dalam menerapkan aturan sehingga jarang sekali petugas memberikan toleransi apa pun.
Tidak mengherankan kalau wabah tersebut juga telah berbuntut pemecatan besar-besaran pejabat eksekutif dan pejabat teras Partai Komunis China (CPC) dari semua tingkatan di Wuhan dan Provinsi Hubei.
Mantan Tahanan
Sejumlah media di China mendapati bahwa Huang telah berada di permukiman penduduk di Distrik Dongcheng, Beijing, pada Senin (24/2).
Dia tiba dari Wuhan sejak Sabtu (22/2), kemudian memeriksakan diri karena sempat mengalami demam dan sakit tenggorokan sejak 18 Februari, demikian pernyataan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Beijing (BCDPC).
Otoritas pemerintahan di Hubei langsung menggelar investigasi atas kasus tersebut pada Rabu (26/2) atas dasar pemberantasan wabah COVID-19 adalah dengan menutup semua akses keluar-masuk Wuhan.
Seorang narasumber yang dikutip laman berita Yicai mengungkapkan bahwa perempuan tersebut merupakan tahanan yang baru saja dibebaskan dari Wuhan. Huang didiagnosis terpapar COVID-19 saat masih berada di Wuhan.
Setelah bebas, dia dijemput keluarganya untuk dibawa pulang ke Beijing dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Persoalan wabah di Wuhan dan Hubei itu masih sangat kompleks dan jika penyebaran virus tidak dikekang, maka berbagai upaya yang dilakukan sebelumnya akan sia-sia sehingga virus pun kembali berjangkit, demikian pendapat pakar kesehatan yang dikutip Global Times.
Seorang staf Dinas Lalu Lintas Jalan Raya Kota Wuhan mengatakan bahwa warga Wuhan harus mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada otoritas setempat. Kalau permohonannya disetujui, maka yang bersangkutan bisa meninggalkan kota itu.
Namun staf tersebut buru-buru menambahkan bahwa hanya pemohon dengan kondisi tertentu dan bertujuan khusus yang diizinkan meninggalkan Wuhan.
Agar semua tindakan isolasi benar-benar diterapkan di Wuhan dan Hubei, Ketua Partai CPC Provinsi Hubei yang baru Ying Yong pada Selasa (25/2) menekankan pentingnya memperketat lagi arus keluar-masuk Wuhan dan Hubei.
Beberapa kota di provinsi itu juga melakukan pembatasan yang sangat ketat terhadap setiap kendaraan yang hendak keluar wilayah.
Sempat berembus isu bahwa hampir 2.000 orang dalam jangka waktu tiga jam telah meninggalkan Wuhan menuju Changsha, Ibu Kota Provinsi Hunan yang bertetangga dengan Provinsi Hubei.
Namun isu tersebut dibantah oleh pihak otoritas Changsha pada Selasa (25/2) malam.
Jingzhou, salah satu kota lainnya di Provinsi Hubei yang juga diisolasi, Rabu (26/2) sore, mengeluarkan pengumuman penangguhan surat izin kepada semua warga dan kendaraan yang hendak ke luar wilayah.
Surat izin yang sudah telanjur dikeluarkan terpaksa dibatalkan dan warga Kota Jingzhou yang telanjur keluar wilayah dipaksa pulang.
Sebelumnya warga Kota Jingzhou diperbolehkan mengemudikan kendaraan pribadi ke luar wilayah setelah mengantongi surat izin dan kartu keterangan sehat dari pemerintah setempat dan pemerintah daerah tujuan yang didapatkan secara daring.
Seorang staf Pemkot Jingzhou pada Rabu (26/2) mengaku pihaknya telah memberikan persetujuan kepada 2.000 pemohon setiap hari. Namun mulai Kamis (27/2) ini tidak seorang pun diizinkan meninggalkan kota itu.
Pemerintah Kota Shiyan di Provinsi Hubei juga telah memperketat semua akses keluar wilayah. Jalan penghubung antarkota diperketat, kecuali bagi kendaraan petugas pengendalian dan pencegahan penyakit menular, kendaraan pengangkut kebutuhan sehari-hari, dan kendaraan petugas kegawatdaruratan.
Semua itu dilakukan demi terjaminnya upaya-upaya pengendalian dan pencegahan wabah penyakit yang hingga saat ini telah merenggut 2.718 nyawa manusia itu.
"Besarnya jumlah warga yang mendapatkan persetujuan meninggalkan Hubei sangat mencengangkan. Para pejabat dan pegawai pemerintah di daerah itu merupakan orang-orang yang sangat berkepentingan dalam memberantas penyebaran virus. Seharusnya mereka sangat ketat menjaga wilayahnya dan isolasi ini tidak sekadar formalitas," kritik Prof Wang Hongwei dari Renmin University.
Sampai saat ini terdapat 10 warga negara asing di Wuhan yang terpapar COVID-19, dua di antaranya, masing-masing berasal dari Amerika Serikat dan Jepang, meninggal dunia.
Sementara itu, tujuh WNI yang masih bertahan di Hubei sampai saat ini dilaporkan dalam keadaan sehat dan terbebas dari paparan COVID-19.
"Mencegah orang-orang meninggalkan Wuhan dan Hubei merupakan sebuah prestasi besar bagi bangsa ini. Hal ini juga berkaitan dengan kepercayaan dan optimisme seluruh masyarakat atas penanggulangan epidemi pada masa-masa yang akan datang," tulis seorang pengamat lainnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020
Bukan hanya petugas medis, pengerahan personel kepolisian dan militer dalam skala besar dilakukan ke Ibu Kota Provinsi Hubei yang berada di wilayah tengah China itu.
Tidak hanya pintu keluar-masuk tol, bandar udara, dan stasiun kereta api, jalan tikus pun sulit ditembus karena ketatnya pengamanan agar wabah penyakit radang paru-paru berat yang diakibatkan oleh virus corona jenis baru atau COVID-19 yang berepisentrum di Wuhan itu tidak makin meluas penyebarannya.
Tak peduli siapa pun itu, orang asing yang pada tanggal tersebut berada di kota berpenduduk sekitar 11 juta jiwa itu juga mendapatkan perlakuan yang sama.
Setelah berbagai pendekatan dan kesepakatan dengan pemerintah China, beberapa warga negara asing, termasuk 238 warga negara Indonesia bisa meninggalkan Wuhan.
Namun pekan ini masyarakat China dihebohkan oleh seorang pasien COVID-19 yang berhasil dengan mudahnya melarikan diri dari Wuhan.
Bahkan perempuan bermarga Huang itu bisa mengemudikan mobil bersama keluarganya dalam waktu tempuh sekitar 24 jam untuk melakukan perjalanan Wuhan-Beijing.
Kenapa dia bisa lolos dari Wuhan dan dengan leluasanya bisa melakukan perjalanan dengan keluarganya ke Beijing? Bukankah pengamanan di Wuhan sangat ketat?
Demikian pula pengamanan di Beijing. Apalagi sehari setelah Wuhan ditutup, setiap rumah di beberapa daerah lain di China digedor oleh petugas kepolisian untuk menanyai satu-persatu penghuninya apakah ada yang berasal dari Wuhan atau punya riwayat perjalanan ke kota terkaya ketujuh di China itu dalam waktu 14 hari terakhir seperti yang pernah dialami ANTARA di Beijing pada 24 Januari lalu.
Pertanyaan-pertanyaan dan berbagai jenis kemuskilan lainnya yang muncul dari kalangan warganet China atas peristiwa yang tidak lazim itu tidak bisa dihindari.
Apalagi China sangat ketat dan kaku dalam menerapkan aturan sehingga jarang sekali petugas memberikan toleransi apa pun.
Tidak mengherankan kalau wabah tersebut juga telah berbuntut pemecatan besar-besaran pejabat eksekutif dan pejabat teras Partai Komunis China (CPC) dari semua tingkatan di Wuhan dan Provinsi Hubei.
Mantan Tahanan
Sejumlah media di China mendapati bahwa Huang telah berada di permukiman penduduk di Distrik Dongcheng, Beijing, pada Senin (24/2).
Dia tiba dari Wuhan sejak Sabtu (22/2), kemudian memeriksakan diri karena sempat mengalami demam dan sakit tenggorokan sejak 18 Februari, demikian pernyataan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Beijing (BCDPC).
Otoritas pemerintahan di Hubei langsung menggelar investigasi atas kasus tersebut pada Rabu (26/2) atas dasar pemberantasan wabah COVID-19 adalah dengan menutup semua akses keluar-masuk Wuhan.
Seorang narasumber yang dikutip laman berita Yicai mengungkapkan bahwa perempuan tersebut merupakan tahanan yang baru saja dibebaskan dari Wuhan. Huang didiagnosis terpapar COVID-19 saat masih berada di Wuhan.
Setelah bebas, dia dijemput keluarganya untuk dibawa pulang ke Beijing dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Persoalan wabah di Wuhan dan Hubei itu masih sangat kompleks dan jika penyebaran virus tidak dikekang, maka berbagai upaya yang dilakukan sebelumnya akan sia-sia sehingga virus pun kembali berjangkit, demikian pendapat pakar kesehatan yang dikutip Global Times.
Seorang staf Dinas Lalu Lintas Jalan Raya Kota Wuhan mengatakan bahwa warga Wuhan harus mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada otoritas setempat. Kalau permohonannya disetujui, maka yang bersangkutan bisa meninggalkan kota itu.
Namun staf tersebut buru-buru menambahkan bahwa hanya pemohon dengan kondisi tertentu dan bertujuan khusus yang diizinkan meninggalkan Wuhan.
Agar semua tindakan isolasi benar-benar diterapkan di Wuhan dan Hubei, Ketua Partai CPC Provinsi Hubei yang baru Ying Yong pada Selasa (25/2) menekankan pentingnya memperketat lagi arus keluar-masuk Wuhan dan Hubei.
Beberapa kota di provinsi itu juga melakukan pembatasan yang sangat ketat terhadap setiap kendaraan yang hendak keluar wilayah.
Sempat berembus isu bahwa hampir 2.000 orang dalam jangka waktu tiga jam telah meninggalkan Wuhan menuju Changsha, Ibu Kota Provinsi Hunan yang bertetangga dengan Provinsi Hubei.
Namun isu tersebut dibantah oleh pihak otoritas Changsha pada Selasa (25/2) malam.
Jingzhou, salah satu kota lainnya di Provinsi Hubei yang juga diisolasi, Rabu (26/2) sore, mengeluarkan pengumuman penangguhan surat izin kepada semua warga dan kendaraan yang hendak ke luar wilayah.
Surat izin yang sudah telanjur dikeluarkan terpaksa dibatalkan dan warga Kota Jingzhou yang telanjur keluar wilayah dipaksa pulang.
Sebelumnya warga Kota Jingzhou diperbolehkan mengemudikan kendaraan pribadi ke luar wilayah setelah mengantongi surat izin dan kartu keterangan sehat dari pemerintah setempat dan pemerintah daerah tujuan yang didapatkan secara daring.
Seorang staf Pemkot Jingzhou pada Rabu (26/2) mengaku pihaknya telah memberikan persetujuan kepada 2.000 pemohon setiap hari. Namun mulai Kamis (27/2) ini tidak seorang pun diizinkan meninggalkan kota itu.
Pemerintah Kota Shiyan di Provinsi Hubei juga telah memperketat semua akses keluar wilayah. Jalan penghubung antarkota diperketat, kecuali bagi kendaraan petugas pengendalian dan pencegahan penyakit menular, kendaraan pengangkut kebutuhan sehari-hari, dan kendaraan petugas kegawatdaruratan.
Semua itu dilakukan demi terjaminnya upaya-upaya pengendalian dan pencegahan wabah penyakit yang hingga saat ini telah merenggut 2.718 nyawa manusia itu.
"Besarnya jumlah warga yang mendapatkan persetujuan meninggalkan Hubei sangat mencengangkan. Para pejabat dan pegawai pemerintah di daerah itu merupakan orang-orang yang sangat berkepentingan dalam memberantas penyebaran virus. Seharusnya mereka sangat ketat menjaga wilayahnya dan isolasi ini tidak sekadar formalitas," kritik Prof Wang Hongwei dari Renmin University.
Sampai saat ini terdapat 10 warga negara asing di Wuhan yang terpapar COVID-19, dua di antaranya, masing-masing berasal dari Amerika Serikat dan Jepang, meninggal dunia.
Sementara itu, tujuh WNI yang masih bertahan di Hubei sampai saat ini dilaporkan dalam keadaan sehat dan terbebas dari paparan COVID-19.
"Mencegah orang-orang meninggalkan Wuhan dan Hubei merupakan sebuah prestasi besar bagi bangsa ini. Hal ini juga berkaitan dengan kepercayaan dan optimisme seluruh masyarakat atas penanggulangan epidemi pada masa-masa yang akan datang," tulis seorang pengamat lainnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020