Pakar Hukum Pidana dari Universitas Riau, DR. Erdianto Effendy SH, MHum mengatakan, tidak boleh ada makar terhadap presiden, wakil presiden dan pemerintah serta tindakan lain yang mengancam keamanan negara dalam rangka mendukung pelaksanaan proses demokrasi.
"Terduga pelaku makar dapat diancam dengan pidana yang lebih berat juga makar terhadap presiden dan wakil presiden yang dilakukan sekalipun dalam masa pandemi COVID-19 ini, sehingga perlu penegakan hukum pidana khususnya, terhadap pelakunya," kata Erdianto Effendy dalam keterangannya di Pekanbaru, Sabtu.
Pendapat demikian disampaikannya sebagai rangkuman dari Diskusi dosen hukum pidana yang digelar pada 2 Juni 2020 secara virtual dimoderatori Jufri dari Universitas Ichsan Gorontalo, dengan nara sumber Ganjar Laksamana dari UI, Erdianto Effendi (Univ Riau), dan Rocky Marbun (Univ Pancasila Jakarta), serta dihadiri dosen-dosen hukum pidana lintas universitas dari seluruh Indonesia di antaranya Mahmud Mulyadi dari USU, Fachrizal Affandi (Unibraw), Andi Mulyono (STIH Manokwari), Zulkarnain (Univ Widya Gama Malang), Azmi Syahputra (Universitas Bung Karno), Musa (Universitas Islam Riau), Dede Kania (Univ Islam SGD).
Diksusi digelar virtual itu, kata Erdianto juga diikuti para dosen lainnya yakni Dedy Fahmadi dari Unlam Banjarmasin, Maria Ulfah (Univ Parahyangan), Eka Juarsa (Unisba), Andin Betaweya dari IAIN Pare Pare dan banyak lainnya.
Menurut Erdianto, bagian penting lainnya dari diskusi tersebut disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal-pasal makar yaitu Pasal 104, 106 dan 107 serta pasal-pasal terkait keamanan negara dalam hukum pidana harus tetap eksis sebagai bentuk pelaksanaan fungsi hukum pidana untuk melindungi negara dengan tidak mengabaikan hak asasi warga negara dalam penyampaian pendapat dan pikiran.
Para pakar hukum Indonesia, katanya, sepakat percobaan melakukan makar adalah sama dengan perbuatan makar yang selesai, dan untuk terpenuhinya delik makar tidak harus dengan serangan yang bersifat fisik.
"Namun demikian, aparat penegak hukum diimbau untuk tidak sembarangan menggunakan pasal-pasal makar dalam merespon kritik terhadap pemerintah karena harus dapat dibedakan dengan tegas mana kritik mana makar. Kritik adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari demokrasi," katanya.
Ia menyampaikan, bahwa tidak sekadar kritik dapat dianggap makar kecuali telah ada perwujudan niat untuk menimbulkan bahaya bagi keamanan negara dan menggunakan indikator berdasarkan analisis intelijen tentang keberadaan suatu tindakan masyarakat yang berpotensi mengancam keselamatan presiden, wakil presiden dan pemerintah.
Bahkan, segala bentuk diskusi ilmiah adalah bebas sebagai bentuk perwujudan kebebasan akademik dan tidak dapat dikriminalisasi kecuali terhadap objek kajian yang jelas dilarang dalam hukum pidana, karenanya diimbau untuk tidak secara sembarangan melekatkan stigma makar kepada kegiatan akademik atau kritik yang dilontarkan.
"Sedangkan tuduhan makar secara sembarangan dapat dikualifikasi sebagai delik penghinaan menurut Pasal 310 KUHP," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020
"Terduga pelaku makar dapat diancam dengan pidana yang lebih berat juga makar terhadap presiden dan wakil presiden yang dilakukan sekalipun dalam masa pandemi COVID-19 ini, sehingga perlu penegakan hukum pidana khususnya, terhadap pelakunya," kata Erdianto Effendy dalam keterangannya di Pekanbaru, Sabtu.
Pendapat demikian disampaikannya sebagai rangkuman dari Diskusi dosen hukum pidana yang digelar pada 2 Juni 2020 secara virtual dimoderatori Jufri dari Universitas Ichsan Gorontalo, dengan nara sumber Ganjar Laksamana dari UI, Erdianto Effendi (Univ Riau), dan Rocky Marbun (Univ Pancasila Jakarta), serta dihadiri dosen-dosen hukum pidana lintas universitas dari seluruh Indonesia di antaranya Mahmud Mulyadi dari USU, Fachrizal Affandi (Unibraw), Andi Mulyono (STIH Manokwari), Zulkarnain (Univ Widya Gama Malang), Azmi Syahputra (Universitas Bung Karno), Musa (Universitas Islam Riau), Dede Kania (Univ Islam SGD).
Diksusi digelar virtual itu, kata Erdianto juga diikuti para dosen lainnya yakni Dedy Fahmadi dari Unlam Banjarmasin, Maria Ulfah (Univ Parahyangan), Eka Juarsa (Unisba), Andin Betaweya dari IAIN Pare Pare dan banyak lainnya.
Menurut Erdianto, bagian penting lainnya dari diskusi tersebut disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal-pasal makar yaitu Pasal 104, 106 dan 107 serta pasal-pasal terkait keamanan negara dalam hukum pidana harus tetap eksis sebagai bentuk pelaksanaan fungsi hukum pidana untuk melindungi negara dengan tidak mengabaikan hak asasi warga negara dalam penyampaian pendapat dan pikiran.
Para pakar hukum Indonesia, katanya, sepakat percobaan melakukan makar adalah sama dengan perbuatan makar yang selesai, dan untuk terpenuhinya delik makar tidak harus dengan serangan yang bersifat fisik.
"Namun demikian, aparat penegak hukum diimbau untuk tidak sembarangan menggunakan pasal-pasal makar dalam merespon kritik terhadap pemerintah karena harus dapat dibedakan dengan tegas mana kritik mana makar. Kritik adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari demokrasi," katanya.
Ia menyampaikan, bahwa tidak sekadar kritik dapat dianggap makar kecuali telah ada perwujudan niat untuk menimbulkan bahaya bagi keamanan negara dan menggunakan indikator berdasarkan analisis intelijen tentang keberadaan suatu tindakan masyarakat yang berpotensi mengancam keselamatan presiden, wakil presiden dan pemerintah.
Bahkan, segala bentuk diskusi ilmiah adalah bebas sebagai bentuk perwujudan kebebasan akademik dan tidak dapat dikriminalisasi kecuali terhadap objek kajian yang jelas dilarang dalam hukum pidana, karenanya diimbau untuk tidak secara sembarangan melekatkan stigma makar kepada kegiatan akademik atau kritik yang dilontarkan.
"Sedangkan tuduhan makar secara sembarangan dapat dikualifikasi sebagai delik penghinaan menurut Pasal 310 KUHP," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020