Pada tahun 2019 Budi Mulya sempat mengalami demam tifoid atau yang biasa dikenal sebagai tifus dan harus mendapatkan perawatan di salah satu rumah sakit di Jakarta.
Budi merasa santai saja menjalani perawatan karena telah memiliki asuransi kesehatan swasta yang cukup ternama. Dirinya telah terdaftar sebagai peserta asuransi kesehatan swasta tersebut selama tiga bulan dengan membayar premi Rp500 ribu per bulan.
Awalnya Budi masih merasa aman dengan membayar biaya perawatan secara mandiri lewat pembiayaan pribadi karena berpikir akan mendapatkan reimburse. Namun, ternyata pihak asuransi kesehatan swasta tersebut tidak menerima klaim Budi hingga akhirnya dia memutuskan untuk menghentikan kepesertaan.
Pada awal tahun 2020 lalu Budi sempat mengalami gangguan usus buntu dan harus melakukan operasi. Budi yang merupakan warga Jakarta sudah terdaftar secara otomatis sebagai peserta JKN-KIS yang didaftarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI dalam upaya memenuhi cakupan kesehatan semesta (universal health coverage) wilayah tersebut.
Akhirnya Budi menjalani tindakan operasi usus buntu dan dirawat selama tiga hari dengan menggunakan asuransi kesehatan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan tanpa dipungut biaya sepeserpun.
Berbeda lagi dengan salah satu warga Depok Imam Supriyadi yang pernah terdaftar sebagai peserta asuransi kesehatan swasta yang didaftarkan dari tempatnya bekerja.
Beberapa kali Imam sempat menggunakan asuransi kesehatan swasta tersebut, namun dia mengeluhkan keterbatasan layanan yang didapatkan karena asuransi tersebut menetapkan batas atas atau plafon klaim pembiayaan.
Menurut Imam, asuransi kesehatan swasta yang bekerja sama dengan perusahaan tempatnya bekerja hanya cukup untuk membiayai pengobatan berbiaya ringan. Sementara jika memerlukan tindakan operasi atau lainnya harus dari pembiayaan pribadi.
Semenjak adanya program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), dia terdaftar sebagai peserta segmen Pekerja Penerima Upah (PPU). Imam pun mendapatkan manfaat dari kepesertaan JKN-KIS yang digunakan untuk biaya pengobatan putrinya yang harus dioperasi karena menderita TB kelenjar getah bening.
Dia mengaku semua pembiayaan ditanggung oleh JKN-KIS. "Kalau masih pakai asuransi swasta yang dulu mah nggak tahu harus keluar biaya berapa," kata dia.
Pengalaman Budi dan Imam merupakan sedikit contoh nyata dari banyaknya perbedaan antara asuransi kesehatan sosial JKN-KIS dengan asuransi kesehatan komersial yang diselenggarakan pihak swasta. Berikut beberapa poin perbedaan tersebut ketika disandingkan berdasarkan sumber resmi BPJS Kesehatan.
Prosedur jadi peserta
Pada asuransi kesehatan swasta memberikan batasan usia pesertanya, seperti maksimal 65 tahun atau pada masa usia pensiun. Asuransi komersil juga mewajibkan tes kesehatan bagi calon peserta untuk skrining penyakit yang diderita karena berkaitan dengan pembiayaan klaim.
Adapula perbedaan premi antara laki-laki dan perempuan, merokok atau tidak, dan usia yang semakin lanjut. Karena makin tua usia maka semakin besar risiko menderita penyakit dan premi semakin mahal.
Sedangkan pada JKN-KIS yang merupakan program pemerintah tidak menerapkan batasan usia mulai dari bayi baru lahir hingga lansia. Selain itu JKN-KIS tidak mensyaratkan cek kesehatan, sekalipun calon peserta memiliki penyakit kronis pun bisa mendaftar.
Masa tunggu
Pada asuransi kesehatan swasta memerlukan masa tunggu kepesertaan selama enam bulan hingga dua tahun. Jika belum memenuhi waktu masa tunggu tersebut, peserta tidak bisa mendapatkan manfaat layanan kesehatan. Hal inilah yang dialami oleh Budi karena baru menjadi peserta asuransi komersil selama tiga bulan.
Untuk JKN-KIS tidak ada masa tunggu kecuali untuk peserta mandiri atau segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Itu pun hanya 14 hari kalender yang digunakan untuk proses validasi data. Bahkan bayi dari ibu yang sudah menjadi peserta JKN-KIS pun bisa didaftarkan menjadi peserta begitu dilahirkan.
Premi
Untuk asuransi komersial, premi atau iuran per orang per bulan berada di kisaran Rp350.000, Rp600.000, Rp8.325.000 atau lebih. Besaran premi tersebut pun berkorelasi dengan manfaat layanan kesehatan yang didapatkan. Semakin rendah, semakin sedikit layanan kesehatan yang akan ditanggung.
Untuk JKN-KIS besaran premi tergantung dari segmen kepesertaan. Untuk peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) dari badan usaha swasta maupun instansi negara yaitu 5 persen dari total upah dengan batas paling tinggi Rp12.000.000. Besaran premi tersebut dibayarkan oleh perusahaan sebanyak 4 persen, sementara 1 persennya dipotong dari gaji pekerja.
Untuk peserta mandiri atau PBPU besaran premi sesuai kelas kepesertaaan yaitu Rp150.000 untuk kelas I, Rp100.000 untuk kelas II, dan Rp42.000 untuk kelas III. Namun, untuk tahun 2020 peserta kelas III hanya perlu membayar iuran sebesar Rp25.500, dan pada tahun 2021 hanya membayar Rp35.000. Sedangkan selisih sisanya disubsidi oleh pemerintah.
Segmen peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK) ditetapkan premi sebesar Rp42.000. Namun, iuran tersebut ditanggung sepenuhnya atau 100 persen dibiayai oleh negara karena segmen PBI hanya untuk kalangan masyarakat tidak mampu.
Cakupan manfaat
Asuransi kesehatan swasta memiliki cakupan manfaat yang terbatas, atau tidak seluruh layanan kesehatan dibiayai. Beberapa asuransi swasta hanya menyediakan jaminan rawat inap. Sedangkan bila memberikan tambahan pembiayaan rawat jalan atau layanan kaca mata, iuran yang ditarik pasti lebih mahal lagi.
JKN-KIS sebagai program nasional pemerintah memberikan cakupan manfaat yang komprehensif atau luas. Mulai dari pembiayaan optik atau kaca mata, rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan laboratorium, dan lain-lain.
Jaminan penyakit katastropik
Asuransi kesehatan swasta biasanya tidak menanggung biaya penyakit katastropik atau layanan kesehatan yang harus dilakukan seumur hidup seperti layanan cuci darah untuk pasien gagal ginjal. Jika pun ada beberapa asuransi swasta yang menjamin, dapat dipastikan ada batasan biaya dan frekuensi manfaat yang bisa diperoleh.
Sedangkan program JKN-KIS sebagai asuransi kesehatan sosial yang berlandaskan undang-undang menjamin hampir seluruh layanan kesehatan yang dibutuhkan oleh penduduk untuk tetap sehat.
JKN-KIS menjamin layanan kesehatan untuk penyakit katastropik seperti pemasangan ring jantung, ataupun layanan kesehatan yang harus dilakukan seumur hidup seperti cuci darah, kemoterapi bagi pasien kanker, serta terapi pengobatan rutin untuk penderita penyakit thlasemia dan hemofilia.
Batas pembiayaan
Asuransi kesehatan swasta memiliki plafon atau batas pembiayaan pelayanan kesehatan yang bisa didapatkan oleh peserta mulai dari per hari, per bulan, atau bahkan per tahun. Jika tagihan rumah sakit melebihi plafon yang ditetapkan, sisa biayanya ditanggung secara pribadi oleh pasien.
Hal inilah yang dialami oleh Imam Supriyadi saat masih menjadi peserta asuransi kesehatan swasta.
Sedangkan JKN-KIS menjamin berapa pun biaya pelayanan kesehatan peserta JKN-KIS sesuai dengan indikasi medis yang dibutuhkan oleh pasien serta mengacu pada tarif INA CBG's yang ditetapkan pemerintah. Biaya kesehatan dijamin sepenuhnya oleh JKN-KIS selama peserta mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku.
Dari seluruh perbandingan yang disandingkan tersebut dapat disimpulkan bahwa program JKN-KIS jelas lebih murah, memiliki cakupan pembiayaan lebih luas, dan bisa dimanfaatkan oleh semua orang tanpa batasan usia.
Pemerintah hingga saat ini terus berbenah dalam menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional untuk memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah bersama para pemangku kepentingan terkait terus merancang kebijakan yang lebih baik agar program JKN-KIS bisa terus ada dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh penduduk Indonesia.*
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020
Budi merasa santai saja menjalani perawatan karena telah memiliki asuransi kesehatan swasta yang cukup ternama. Dirinya telah terdaftar sebagai peserta asuransi kesehatan swasta tersebut selama tiga bulan dengan membayar premi Rp500 ribu per bulan.
Awalnya Budi masih merasa aman dengan membayar biaya perawatan secara mandiri lewat pembiayaan pribadi karena berpikir akan mendapatkan reimburse. Namun, ternyata pihak asuransi kesehatan swasta tersebut tidak menerima klaim Budi hingga akhirnya dia memutuskan untuk menghentikan kepesertaan.
Pada awal tahun 2020 lalu Budi sempat mengalami gangguan usus buntu dan harus melakukan operasi. Budi yang merupakan warga Jakarta sudah terdaftar secara otomatis sebagai peserta JKN-KIS yang didaftarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI dalam upaya memenuhi cakupan kesehatan semesta (universal health coverage) wilayah tersebut.
Akhirnya Budi menjalani tindakan operasi usus buntu dan dirawat selama tiga hari dengan menggunakan asuransi kesehatan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan tanpa dipungut biaya sepeserpun.
Berbeda lagi dengan salah satu warga Depok Imam Supriyadi yang pernah terdaftar sebagai peserta asuransi kesehatan swasta yang didaftarkan dari tempatnya bekerja.
Beberapa kali Imam sempat menggunakan asuransi kesehatan swasta tersebut, namun dia mengeluhkan keterbatasan layanan yang didapatkan karena asuransi tersebut menetapkan batas atas atau plafon klaim pembiayaan.
Menurut Imam, asuransi kesehatan swasta yang bekerja sama dengan perusahaan tempatnya bekerja hanya cukup untuk membiayai pengobatan berbiaya ringan. Sementara jika memerlukan tindakan operasi atau lainnya harus dari pembiayaan pribadi.
Semenjak adanya program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), dia terdaftar sebagai peserta segmen Pekerja Penerima Upah (PPU). Imam pun mendapatkan manfaat dari kepesertaan JKN-KIS yang digunakan untuk biaya pengobatan putrinya yang harus dioperasi karena menderita TB kelenjar getah bening.
Dia mengaku semua pembiayaan ditanggung oleh JKN-KIS. "Kalau masih pakai asuransi swasta yang dulu mah nggak tahu harus keluar biaya berapa," kata dia.
Pengalaman Budi dan Imam merupakan sedikit contoh nyata dari banyaknya perbedaan antara asuransi kesehatan sosial JKN-KIS dengan asuransi kesehatan komersial yang diselenggarakan pihak swasta. Berikut beberapa poin perbedaan tersebut ketika disandingkan berdasarkan sumber resmi BPJS Kesehatan.
Prosedur jadi peserta
Pada asuransi kesehatan swasta memberikan batasan usia pesertanya, seperti maksimal 65 tahun atau pada masa usia pensiun. Asuransi komersil juga mewajibkan tes kesehatan bagi calon peserta untuk skrining penyakit yang diderita karena berkaitan dengan pembiayaan klaim.
Adapula perbedaan premi antara laki-laki dan perempuan, merokok atau tidak, dan usia yang semakin lanjut. Karena makin tua usia maka semakin besar risiko menderita penyakit dan premi semakin mahal.
Sedangkan pada JKN-KIS yang merupakan program pemerintah tidak menerapkan batasan usia mulai dari bayi baru lahir hingga lansia. Selain itu JKN-KIS tidak mensyaratkan cek kesehatan, sekalipun calon peserta memiliki penyakit kronis pun bisa mendaftar.
Masa tunggu
Pada asuransi kesehatan swasta memerlukan masa tunggu kepesertaan selama enam bulan hingga dua tahun. Jika belum memenuhi waktu masa tunggu tersebut, peserta tidak bisa mendapatkan manfaat layanan kesehatan. Hal inilah yang dialami oleh Budi karena baru menjadi peserta asuransi komersil selama tiga bulan.
Untuk JKN-KIS tidak ada masa tunggu kecuali untuk peserta mandiri atau segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Itu pun hanya 14 hari kalender yang digunakan untuk proses validasi data. Bahkan bayi dari ibu yang sudah menjadi peserta JKN-KIS pun bisa didaftarkan menjadi peserta begitu dilahirkan.
Premi
Untuk asuransi komersial, premi atau iuran per orang per bulan berada di kisaran Rp350.000, Rp600.000, Rp8.325.000 atau lebih. Besaran premi tersebut pun berkorelasi dengan manfaat layanan kesehatan yang didapatkan. Semakin rendah, semakin sedikit layanan kesehatan yang akan ditanggung.
Untuk JKN-KIS besaran premi tergantung dari segmen kepesertaan. Untuk peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) dari badan usaha swasta maupun instansi negara yaitu 5 persen dari total upah dengan batas paling tinggi Rp12.000.000. Besaran premi tersebut dibayarkan oleh perusahaan sebanyak 4 persen, sementara 1 persennya dipotong dari gaji pekerja.
Untuk peserta mandiri atau PBPU besaran premi sesuai kelas kepesertaaan yaitu Rp150.000 untuk kelas I, Rp100.000 untuk kelas II, dan Rp42.000 untuk kelas III. Namun, untuk tahun 2020 peserta kelas III hanya perlu membayar iuran sebesar Rp25.500, dan pada tahun 2021 hanya membayar Rp35.000. Sedangkan selisih sisanya disubsidi oleh pemerintah.
Segmen peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK) ditetapkan premi sebesar Rp42.000. Namun, iuran tersebut ditanggung sepenuhnya atau 100 persen dibiayai oleh negara karena segmen PBI hanya untuk kalangan masyarakat tidak mampu.
Cakupan manfaat
Asuransi kesehatan swasta memiliki cakupan manfaat yang terbatas, atau tidak seluruh layanan kesehatan dibiayai. Beberapa asuransi swasta hanya menyediakan jaminan rawat inap. Sedangkan bila memberikan tambahan pembiayaan rawat jalan atau layanan kaca mata, iuran yang ditarik pasti lebih mahal lagi.
JKN-KIS sebagai program nasional pemerintah memberikan cakupan manfaat yang komprehensif atau luas. Mulai dari pembiayaan optik atau kaca mata, rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan laboratorium, dan lain-lain.
Jaminan penyakit katastropik
Asuransi kesehatan swasta biasanya tidak menanggung biaya penyakit katastropik atau layanan kesehatan yang harus dilakukan seumur hidup seperti layanan cuci darah untuk pasien gagal ginjal. Jika pun ada beberapa asuransi swasta yang menjamin, dapat dipastikan ada batasan biaya dan frekuensi manfaat yang bisa diperoleh.
Sedangkan program JKN-KIS sebagai asuransi kesehatan sosial yang berlandaskan undang-undang menjamin hampir seluruh layanan kesehatan yang dibutuhkan oleh penduduk untuk tetap sehat.
JKN-KIS menjamin layanan kesehatan untuk penyakit katastropik seperti pemasangan ring jantung, ataupun layanan kesehatan yang harus dilakukan seumur hidup seperti cuci darah, kemoterapi bagi pasien kanker, serta terapi pengobatan rutin untuk penderita penyakit thlasemia dan hemofilia.
Batas pembiayaan
Asuransi kesehatan swasta memiliki plafon atau batas pembiayaan pelayanan kesehatan yang bisa didapatkan oleh peserta mulai dari per hari, per bulan, atau bahkan per tahun. Jika tagihan rumah sakit melebihi plafon yang ditetapkan, sisa biayanya ditanggung secara pribadi oleh pasien.
Hal inilah yang dialami oleh Imam Supriyadi saat masih menjadi peserta asuransi kesehatan swasta.
Sedangkan JKN-KIS menjamin berapa pun biaya pelayanan kesehatan peserta JKN-KIS sesuai dengan indikasi medis yang dibutuhkan oleh pasien serta mengacu pada tarif INA CBG's yang ditetapkan pemerintah. Biaya kesehatan dijamin sepenuhnya oleh JKN-KIS selama peserta mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku.
Dari seluruh perbandingan yang disandingkan tersebut dapat disimpulkan bahwa program JKN-KIS jelas lebih murah, memiliki cakupan pembiayaan lebih luas, dan bisa dimanfaatkan oleh semua orang tanpa batasan usia.
Pemerintah hingga saat ini terus berbenah dalam menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional untuk memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah bersama para pemangku kepentingan terkait terus merancang kebijakan yang lebih baik agar program JKN-KIS bisa terus ada dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh penduduk Indonesia.*
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2020