Saat awal kedatangan jutaan vaksin COVID-19 di Indonesia, banyak yang mempertanyakan mengapa vaksin sudah dipesan sedemikian banyak, sementara uji klinis atas vaksin tersebut belum juga tuntas.

Bukankah keputusan tersebut terkesan terlampau tergesa-gesa dan penuh risiko. Belum lagi perdebatan soal halal haram dan asal negara produsen. Lalu ada yang berkomentar dari sisi sains yang berkebalikan.

Namun, faktanya persoalan tak sesederhana yang dilihat. Indonesia bahkan tergolong terlambat dalam mengambil langkah dan keputusan terkait dengan vaksin. Lebih baik terlambat ketimbang tidak sama sekali.

Vaksin merupakan suatu hal yang tak terelakkan sebagai upaya menghentikan laju pandemi COVID-19 yang makin cepat. Memang vaksin tidak bisa menjamin 100 persen corona akan hilang, tetapi vaksin merupakan benteng pertahanan yang diharapkan akan mendorong kurva kasus COVID-19 ke arah balik.

Apa jadinya jika tanpa vaksin? Kemungkinan korban akan terus berjatuhan serasa tanpa perlawanan. Ekonomi bisa jadi ambruk sehingga bangsa ini dengan mudah dikuasai asing.

Untuk itu, dengan jumlah populasi terbesar di kawasan Asia Tenggara, Indonesia dituntut untuk harus segera mendapatkan komitmen dengan perusahaan produsen vaksin COVID-19 yang terpercaya.

Faktanya hal tersebut tak mudah sebab negara-negara kaya telah menyadari betul akan hal ini. Di samping bahwa mereka memiliki fasilitas dan akses yang baik terhadap riset untuk menemukan vaksin, mereka berpeluang membeli seluruh pasokan vaksin yang diproduksi.

Berdasarkan data People’s Vaccine Alliance menunjukkan bahwa negara-negara kaya di dunia yang mewakili hanya 14 persen populasi di bumi ini telah memborong 53 persen seluruh vaksin COVID-19 yang paling menjanjikan sampai sejauh ini.

Aliansi itu menyebutkan hampir 70 negara miskin akan hanya mungkin memvaksinasi satu dari 10 warganya pada tahun 2021, kecuali ada langkah urgen yang diambil oleh Pemerintah dan perusahaan farmasi untuk memastikan produksi jumlah yang cukup untuk mereka.

Hal itu kontras dengan fakta bahwa negara-negara kaya yang sudah membeli dosis yang cukup untuk memvaksinasi seluruh populasi mereka setidaknya tiga kali sampai akhir 2021 jika uji klinis yang sedang mereka lakukan telah dipastikan aman digunakan.

Kanada tercatat berada pada peringkat tertinggi dengan vaksin yang cukup untuk memvaksinasi masing-masing warganya lima kali dalam setahun.

Organisasi dalam aliansi itu meliputi Amnesty International, Frontline AIDS, Global Justice Now, dan Oxfam menggunakan data yang dikumpulkan dari informasi pengetahuan dan perusahaan analisis Airfinity untuk menganalisis kesepakatan yang telah dibuat antarnegara dengan delapan kandidat vaksin yang paling diunggulkan.

Mereka menemukan bahwa 67 negara berpendapat rendah dan berpendapatan rendah hingga menengah berisiko tertinggal. Lima dari 67 negara, yakni Kenya, Myanmar, Nigeria, Pakistan, dan Ukraine, dilaporkan telah mencatatkan 1,5 juta kasus positif corona di negara mereka.

"Tidak seorang pun boleh menghalangi untuk mendapatkan vaksin penyelamat hidup hanya karena asal negara mereka tinggal atau sekadar jumlah uang yang tak cukup di dompet mereka," kata Manajer Kebijakan Kesehatan Oxfam Anna Marriott.

Kepentingan Politis

Berbicara vaksin nyatanya tidak berhenti pada semata persoalan kesehatan, tetapi lebih jauh ada kepentingan politis, bahkan bisnis besar di dalamnya.

Maka, tak heran perusahaan bahkan negara-negara terus berlomba menjadi penemu vaksin untuk menaikkan daya tawarnya agar bisa menempatkan dirinya pada posisi geopolitis dan geostrategis yang paling menguntungkan.

Bagi Indonesia, tidak mudah untuk mendapatkan komitmen penyediaan vaksin dari luar negeri. Meski di dalam negeri upaya penelitian untuk menemukan vaksin terus dilakukan, untuk jangka pendek keberadaan vaksin yang memadai sangat diperlukan.

Harus diakui bahwa sejumlah tawaran yang tampaknya cuma-cuma datang dari berbagai negara. Namun, hal itu tak bisa ditanggapi ringan sebab pemerintah harus berhati-hati dengan kepentingan politis yang latar belakang tawaran tersebut lebih sering menjerat dan tidak menguntungkan.

Maka, hampir pasti bahwa tawaran dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Eropa, bahkan AS seperti makan siang yang tak pernah gratis. Presiden Joko Widodo sejak awal menginginkan terkait dengan vaksin ataupun COVID-19 secara umum, Indonesia harus menjadi negara yang bebas dari tekanan pihak mana pun, termasuk asing.

Perjuangan senyap untuk mendapatkan komitmen vaksin sejatinya sudah dilakukan oleh tim yang dibentuk pemerintah sejak Maret 2020 atau awal ketika virus corona pertama kali menjangkit di Indonesia.

Berbagai lobi dilakukan bukan semata kepada negara-negara yang sedang mengembangkan vaksin, melainkan juga pemilik modal yang punya pengaruh langsung terhadap produksi vaksin.

Banyak persoalan dan tarik ulur terjadi tidak hanya dari eksternal, tetapi juga internal. Bersamaan dengan komitmen setengah hati RRT melalui kerja sama Sinovac dan Biofarma yang setuju memproduksi vaksin untuk Indonesia.

Akan tetapi, sayangnya mereka tidak sepenuhnya terbuka terhadap riset yang dilakukan. Sementara itu,  kerja sama dengan Korea Selatan pun terbentur pada kegagalan untuk mendapatkan sampel virus yang telah dikuasai Tiongkok dan AS terlebih dahulu.

Indonesia tak bisa menunggu lebih lama, sementara korban terus berjatuhan termasuk dari kalangan medis yang selama ini berada di garis depan. Bahkan, tingkat mortalitas tenaga medis di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia.

Maka, diplomasi pun dilakukan dengan banyak cara, di antaranya memberikan terapi kejut dengan memperlihatkan kemesraan dengan 'musuh utama' Tiongkok, yakni AS.

Menkomarves Luhut Binsar Panjaitan merapat ke AS dan mengundang reaksi Tiongkok yang kemudian memutuskan untuk mendukung penuh penyediaan vaksin kepada Indonesia pada bulan November 2020.

Di akhir 2020, dari negara itu diterbangkan 1,2 juta vaksin Sinovac dan mendarat di Indonesia untuk uji lebih lanjut. Fakta ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang telah aman dan terjamin dalam urusan vaksin.

Vaksin Penting
Meskipun protokol kesehatan telah diterapkan dalam berbagai lini kehidupan, vaksin tetap saja penting.

Dokter Reisa Broto Asmoro, Juru Bicara Satgas COVID-19, menyatakan jika masyarakat melakukan vaksinasi, tidak saja memberikan perlindungan bagi orang yang diimunisasi, tetapi juga bagi lingkungannya, terutama karena ini membantu mengurangi penyebaran penyakit.

"Makin banyak orang yang divaksinasi maka penyebaran penyakitnya akan makin sedikit," kata Reisa.

Vaksin adalah alat untuk membentuk antibodi dalam melawan penyakit tertentu; vaksinasi adalah proses pemberian vaksin; dan imunisasi adalah proses di dalam tubuh yang merupakan hasil dari vaksinasi.

Pembuatan vaksin sendiri selalu dilakukan melalui berbagai tahapan yang panjang, sampai akhirnya vaksin dapat diproduksi dan didistribusikan ke masyarakat.

"Vaksin didapat melalui berbagai teknik sesuai dengan jenis vaksin yang hendak dihasilkan, prosesnya panjang, bertahap, harus memenuhi prosedur yang ketat hingga dapat diproduksi serta didistribusikan ke masyarakat, ini untuk memastikan bahwa vaksin aman dan efektif untuk digunakan," kata Reisa.

Sayangnya di Indonesia ketika korban berjatuhan akibat COVID-19 terus meningkat, mitos dan hoaks soal vaksin masih saja dipercaya.

Oleh karena itu, edukasi mengenai vaksin menghadapi dua tantangan sekaligus, yaitu mitos dan hoaks soal vaksin yang sering kali dipercaya dan menutupi fakta sebenarnya mengenai vaksin itu sendiri.

Mitos dan hoaks ini sering kali muncul dan menjadi pembicaraan di ruang-ruang digital, seperti media sosial dan grup percakapan aplikasi tertentu.

Faktanya bangsa ini sangat memerlukan vaksin COVID-19 untuk menekan laju penyebaran pandemi sekaligus sebagai upaya untuk mengakhirinya.

Jangan sampai perjuangan senyap untuk mendapatkan vaksin itu menjadi sia-sia sebab pandemi ini harus diakhiri sesegera mungkin agar Indonesia bisa bangkit dan membangun kembali.

Pewarta: Hanni Sofia

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2021