London (ANTARA GORONTALO) - Serangan siber yang mematikan sebagian dari jaringan listrik Amerika Serikat diperkirakan bisa menimbulkan kerugian ekonomi sekira 1 triliun dolar AS, demikian menurut sebuah laporan yang terbit pada Rabu.

Kalangan eksekutif sejumlah perusahaan mengkhawatirkan terjadinya pelanggaran keamanan, namun hasil survei baru-baru ini memperlihatkan bahwa mereka tidak cukup yakin dengan tingkat efektivitas asuransi siber.

Laporan yang diterbitkan Pusat Studi Risiko Universitas Cambridge dan Lloyd's of London menggarisbawahi skenario pemadaman listrik yang memaksa sedikitnya 93 juta warga New York dan Washington beraktivitas tanpa listrik.

Skenario yang dikembangkan pihak Cambridge itu secara teknologi mungkin terjadi dan diperkirakan memiliki probabilitas satu kali dalam 200 tahun, yang memaksa para penyedia jasa asuransi untuk bersiap, tulis laporan tersebut.

Keadaan hipotetis tersebut dapat juga meningkatkan angka kematian akibat kegagalan sistem kesehatan dan keamanan, penurunan angka penjualan akibat penutupan terminal perdagangan serta gangguan terhadap sistem transportasi beserta infrastruktur pendukungnya.

"Total dampak yang ditimbulkan terhadap perekonomian AS diperkirakan sekira 243 miliar dolar AS yang bisa melejit hingga lebih dari 1 triliun dolar AS dalam skenario terburuk," tulis laporan tersebut.

Kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakan infrastruktur dan rantai pengiriman bisnis, diperkirakan akan dirasakan selama periode sekurangnya lima tahun.

Skenario terburuk tersebut didasarkan pada situasi pemadaman terburuk, dengan sedikitnya 100 fasilitas pembangkit padam dan akan berujung pada kerugian sekira lebih dari 70 miliar dolar AS bagi industri jasa asuransi, laporan menyebutkan.

Mengutip data departemen energi AS, laporan itu juga mencatat sejak 2000 sedikitnya terjadi 15 kali percobaan serangan siber terhadap jaringan listrik AS.

Tim Tanggap Darurat Siber dari Pengawas Sistem Industri AS mengatakan bahwa 32 persen tindakan mereka tahun lalu berkenaan dengan ancaman keamanan siber terhadap infrastruktur penting di sektor energi.

"Bukti dari serangan siber berbahaya selama 2014 memperlihatkan bahwa para penyerang kerap mampu mengeksploitasi kerapuhan sistem yang ada lebih cepat dibandingkan pihak pengamanan melakukan perbaikan," kata Direktur Manajemen Performa Lloyd's of London Tom Bolt dalam laporan tersebut.

Lloyd's of London sendiri memiliki layanan secara global namun sekira 246,82 juta dolar atau 10 persen di antaranya berada di London, demikian Reuters.

Pewarta:

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2015