Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI berharap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat disahkan pada 2021 sehingga ada kepastian hukum bagi masyarakat.
"Sebab, kalau tidak disahkan maka pertanyaannya mau sampai kapan kita hidup dengan ketidakpastian hukum dengan berbagai terjemahan KUHP," kata Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej
pada diskusi bertajuk "apakah pembaruan KUHP sudah berdasarkan konstitusi negara Republik Indonesia" secara virtual di Jakarta, Kamis.
Apalagi, selama ini di meja pengadilan para pengambil keputusan yakni hakim telah mengadili jutaan rakyat Indonesia dengan menggunakan KUHP yang tidak pasti terjemahan mana.
Pemerintah sendiri telah melakukan sosialisasi tentang RUU KUHP di 10 kota besar yakni Medan, Semarang, Yogyakarta, Denpasar, Padang, Ambon, Makasar, Banjarmasin, Surabaya serta hari ini di Mataram.
Penting untuk diketahui, sebenarnya isi KUHP di berbagai negara sama dengan artian objek yang diatur. Hanya saja terdapat bagian atau pasal-pasal antara satu negara dengan negara lain berbeda.
Paling tidak terdapat tiga BAB yang berbeda antara satu negara dengan negara lain. Pertama, menyangkut kejahatan politik. Dalam KUHP tidak ada satu pun BAB terjemahan Belanda yang berjudul kejahatan politik.
Oleh sebab itu, pasal-pasal mengenai kejahatan keamanan negara dianggap sebagai kejahatan politik. Hal itu berbeda dengan Prancis dimana ada BAB yang mengatur tentang kejahatan politik.
Kedua, kejahatan kesusilaan. Dalam KUHP China tidak ada satupun BAB yang mengatur tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Terakhir, masalah penghinaan dimana antara satu negara dengan lainnya juga berbeda.
Wamenkumham mengatakan hal itu penting untuk diketahui oleh masyarakat. Sebab, jangan sampai ketika membahas penghinaan, kesusilaan atau kejahatan politik membandingkannya dengan negara lain karena akan berbeda.
Terakhir, ia mengakui rancangan undang-undang yang dibuat memang tidak ada yang sempurna. Oleh sebab itu, diskusi tentang hukum diperlukan guna memberikan masukan RUU KUHP yang lebih baik.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2021
"Sebab, kalau tidak disahkan maka pertanyaannya mau sampai kapan kita hidup dengan ketidakpastian hukum dengan berbagai terjemahan KUHP," kata Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej
pada diskusi bertajuk "apakah pembaruan KUHP sudah berdasarkan konstitusi negara Republik Indonesia" secara virtual di Jakarta, Kamis.
Apalagi, selama ini di meja pengadilan para pengambil keputusan yakni hakim telah mengadili jutaan rakyat Indonesia dengan menggunakan KUHP yang tidak pasti terjemahan mana.
Pemerintah sendiri telah melakukan sosialisasi tentang RUU KUHP di 10 kota besar yakni Medan, Semarang, Yogyakarta, Denpasar, Padang, Ambon, Makasar, Banjarmasin, Surabaya serta hari ini di Mataram.
Penting untuk diketahui, sebenarnya isi KUHP di berbagai negara sama dengan artian objek yang diatur. Hanya saja terdapat bagian atau pasal-pasal antara satu negara dengan negara lain berbeda.
Paling tidak terdapat tiga BAB yang berbeda antara satu negara dengan negara lain. Pertama, menyangkut kejahatan politik. Dalam KUHP tidak ada satu pun BAB terjemahan Belanda yang berjudul kejahatan politik.
Oleh sebab itu, pasal-pasal mengenai kejahatan keamanan negara dianggap sebagai kejahatan politik. Hal itu berbeda dengan Prancis dimana ada BAB yang mengatur tentang kejahatan politik.
Kedua, kejahatan kesusilaan. Dalam KUHP China tidak ada satupun BAB yang mengatur tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Terakhir, masalah penghinaan dimana antara satu negara dengan lainnya juga berbeda.
Wamenkumham mengatakan hal itu penting untuk diketahui oleh masyarakat. Sebab, jangan sampai ketika membahas penghinaan, kesusilaan atau kejahatan politik membandingkannya dengan negara lain karena akan berbeda.
Terakhir, ia mengakui rancangan undang-undang yang dibuat memang tidak ada yang sempurna. Oleh sebab itu, diskusi tentang hukum diperlukan guna memberikan masukan RUU KUHP yang lebih baik.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2021