Praktik korupsi di Indonesia sulit diberantas sampai habis karena masih lemahnya integritas dan kesadaran diri sejumlah pejabat dan sebagian masyarakat, kata Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof. Edward Omar Sharif Hiariej.
Prof. Edward, atau yang akrab dengan nama Eddy Hiariej menjelaskan kepatuhan tidak korupsi di Indonesia masih lebih banyak didorong oleh ketakutan terhadap sanksi/hukuman daripada kesadaran dalam diri masing-masing orang.
“Kita itu patuh terhadap aturan, karena ada dorongan dari luar, bukan dari hati nurani,” kata dia saat memberi sambutan pada Lokakarya Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) di Jakarta, Senin.
Dalam sesi lokakarya, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menerangkan perbedaan antara kesadaran hukum otonom dan heteronom.
Kesadaran hukum otonom merupakan pemahaman yang datang dari dalam diri, termasuk di antaranya nurani. Sebaliknya, kesadaran hukum heteronom datang dari faktor di luar diri, antara lain aturan dan sanksi-sanksi yang diatur oleh peraturan perundang-undangan atau hukum lainnya.
Ia berpendapat kesadaran antikorupsi di Indonesia masih heteronom. Oleh sebab itu, apabila hukum yang mengatur korupsi dicabut, maka praktik-praktik rasuah akan terus berjalan.
Dalam kesempatan yang sama, ia mencontohkan masyarakat Jepang yang sebagian besar dari mereka punya kesadaran hukum otonom.
“Orang Jepang, seandainya aturan tentang korupsi dicabut, maka mereka tetap tidak akan melakukan tindakan korupsi,” sebut Eddy Hiariej.
Oleh karena itu, kesadaran antikorupsi di Indonesia perlu dibangun lewat penguatan integritas, transparansi, dan akuntabilitas, sebut Prof. Eddy.
“Integritas adalah kata kunci utama memerangi korupsi,“ kata Prof. Eddy.
“Ketika berbicara mengenai integritas berarti kita berbicara mengenai sumber daya manusia. Integritas jadi sangat penting, karena integritas akan melahirkan kesadaran hukum yang otonom, bukan heteronom,” terang dia.
Kemudian, katanya, integritas perlu didampingi oleh transparansi dan akuntabilitas.
“Tiga kata kunci ini, yakni integritas, transparansi, dan akuntabilitas adalah keniscayaan bagi kementerian maupun lembaga jika hendak membangun Zona Integritas dalam rangka Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM),” kata Wamenkumham.
Lokakarya Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani merupakan rangkaian peringatan Hari Darma Karya Dhika Kementerian Hukum dan HAM 2021.
Kegiatan itu merupakan persiapan bagi 477 satuan kerja yang telah diusulkan oleh Kemenkumham untuk mengikuti evaluasi tim penilai nasional yang dipimpin oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Dalam kegiatan itu, Sekretaris Jenderal Kemenkumham RI Andap Budhi Revianto menerangkan tujuan lokakarya di antaranya membangun komitmen yang sama dalam mengawal pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2021
Prof. Edward, atau yang akrab dengan nama Eddy Hiariej menjelaskan kepatuhan tidak korupsi di Indonesia masih lebih banyak didorong oleh ketakutan terhadap sanksi/hukuman daripada kesadaran dalam diri masing-masing orang.
“Kita itu patuh terhadap aturan, karena ada dorongan dari luar, bukan dari hati nurani,” kata dia saat memberi sambutan pada Lokakarya Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) di Jakarta, Senin.
Dalam sesi lokakarya, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menerangkan perbedaan antara kesadaran hukum otonom dan heteronom.
Kesadaran hukum otonom merupakan pemahaman yang datang dari dalam diri, termasuk di antaranya nurani. Sebaliknya, kesadaran hukum heteronom datang dari faktor di luar diri, antara lain aturan dan sanksi-sanksi yang diatur oleh peraturan perundang-undangan atau hukum lainnya.
Ia berpendapat kesadaran antikorupsi di Indonesia masih heteronom. Oleh sebab itu, apabila hukum yang mengatur korupsi dicabut, maka praktik-praktik rasuah akan terus berjalan.
Dalam kesempatan yang sama, ia mencontohkan masyarakat Jepang yang sebagian besar dari mereka punya kesadaran hukum otonom.
“Orang Jepang, seandainya aturan tentang korupsi dicabut, maka mereka tetap tidak akan melakukan tindakan korupsi,” sebut Eddy Hiariej.
Oleh karena itu, kesadaran antikorupsi di Indonesia perlu dibangun lewat penguatan integritas, transparansi, dan akuntabilitas, sebut Prof. Eddy.
“Integritas adalah kata kunci utama memerangi korupsi,“ kata Prof. Eddy.
“Ketika berbicara mengenai integritas berarti kita berbicara mengenai sumber daya manusia. Integritas jadi sangat penting, karena integritas akan melahirkan kesadaran hukum yang otonom, bukan heteronom,” terang dia.
Kemudian, katanya, integritas perlu didampingi oleh transparansi dan akuntabilitas.
“Tiga kata kunci ini, yakni integritas, transparansi, dan akuntabilitas adalah keniscayaan bagi kementerian maupun lembaga jika hendak membangun Zona Integritas dalam rangka Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM),” kata Wamenkumham.
Lokakarya Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani merupakan rangkaian peringatan Hari Darma Karya Dhika Kementerian Hukum dan HAM 2021.
Kegiatan itu merupakan persiapan bagi 477 satuan kerja yang telah diusulkan oleh Kemenkumham untuk mengikuti evaluasi tim penilai nasional yang dipimpin oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Dalam kegiatan itu, Sekretaris Jenderal Kemenkumham RI Andap Budhi Revianto menerangkan tujuan lokakarya di antaranya membangun komitmen yang sama dalam mengawal pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2021