Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Sejumlah komunitas masyarakat peduli dampak
buruk rokok yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Bersatu mengungkapkan
sejumlah fakta di balik industri rokok.
Salah satunya, industri rokok melalui iklannya berusaha pengaruhi calon
konsumennya menjadi perokok.
"Tema iklan rokok seperti kesetiakawanan sangatlah berbahaya karena menganjurkan para perokok untuk menjerumuskan keluarga serta sahabat-sahabatnya ke dalam bahaya konsumsi rokok aktif maupun pasif," demikian bunyi pertanyaan pers yang diterima ANTARA News, Kamis.
Tak hanya itu, koalisi ini juga menganggap, tema iklan lainnya yakni kejantanan, bertentangan dengan dampak rokok yang menurunkan kondisi kesehatan konsumennya, termasuk bahaya kehilangan kejantanan seksual.
Industri rokok pun diklaim tetap membangun persepsi positif rokok, misalnya melalui kegiatan sosialnya dan pertandingan-pertandingan olahraga, musik dan iklan gaya hidup terkini.
Fakta lainnya, ialah mengolah isu-isu nasional seperti kehidupan 2 juta petani tembakau lokal yang terpuruk akibat tembakau tak lagi dianggap sebagai komoditas menguntungkan. Padahal, keterpurukan petani ini diakibatkan impor tembakau yang relatif besar.
Data BPS mencatat di tahun 2011, impor tembakau mencapai 64 ribu ton, kemudian meningkat menjadi 104 ribu ton di tahun 2012. Angka ini naik kembali pada 2013 menjadi 133 ribu ton dan 180 ribu ton di 2014.
Hal lainnya, ialah mengenai cukai rokok yang diklaim oleh industri rokok sebagai baktinya pada negara. Padahal, produk yang terkena cukai berarti dinyatakan konsumsinya perlu dikendalikan, diawai peredarannya.
Kemudian, pemakaiannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, sesuai Pasal 2 UU No. 39/2007 tentang cukai. Selain itu, sejumlah produk perundang-undangan seperti memasukkan pasal kreteg sebagai warisan budaya dan RUU Pertembakauan juga dianggap diperuntukkan untuk kepentingan industri rokok.
"RUU Pertembakauan adalah indikator bahwa pengambil kebijakan abai dan tidak peduli terhadap rakyatnya. RUU Pertembakauan juga akan merontokkan upaya perlindungan rakyat dari bahaya rokok," ujar Direktur Pusat Kajian Kerakyatan Indonesia, Hery Chaeriansyah, dalam kesempatan berbeda.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2015
"Tema iklan rokok seperti kesetiakawanan sangatlah berbahaya karena menganjurkan para perokok untuk menjerumuskan keluarga serta sahabat-sahabatnya ke dalam bahaya konsumsi rokok aktif maupun pasif," demikian bunyi pertanyaan pers yang diterima ANTARA News, Kamis.
Tak hanya itu, koalisi ini juga menganggap, tema iklan lainnya yakni kejantanan, bertentangan dengan dampak rokok yang menurunkan kondisi kesehatan konsumennya, termasuk bahaya kehilangan kejantanan seksual.
Industri rokok pun diklaim tetap membangun persepsi positif rokok, misalnya melalui kegiatan sosialnya dan pertandingan-pertandingan olahraga, musik dan iklan gaya hidup terkini.
Fakta lainnya, ialah mengolah isu-isu nasional seperti kehidupan 2 juta petani tembakau lokal yang terpuruk akibat tembakau tak lagi dianggap sebagai komoditas menguntungkan. Padahal, keterpurukan petani ini diakibatkan impor tembakau yang relatif besar.
Data BPS mencatat di tahun 2011, impor tembakau mencapai 64 ribu ton, kemudian meningkat menjadi 104 ribu ton di tahun 2012. Angka ini naik kembali pada 2013 menjadi 133 ribu ton dan 180 ribu ton di 2014.
Hal lainnya, ialah mengenai cukai rokok yang diklaim oleh industri rokok sebagai baktinya pada negara. Padahal, produk yang terkena cukai berarti dinyatakan konsumsinya perlu dikendalikan, diawai peredarannya.
Kemudian, pemakaiannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, sesuai Pasal 2 UU No. 39/2007 tentang cukai. Selain itu, sejumlah produk perundang-undangan seperti memasukkan pasal kreteg sebagai warisan budaya dan RUU Pertembakauan juga dianggap diperuntukkan untuk kepentingan industri rokok.
"RUU Pertembakauan adalah indikator bahwa pengambil kebijakan abai dan tidak peduli terhadap rakyatnya. RUU Pertembakauan juga akan merontokkan upaya perlindungan rakyat dari bahaya rokok," ujar Direktur Pusat Kajian Kerakyatan Indonesia, Hery Chaeriansyah, dalam kesempatan berbeda.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2015