Kementerian Kesehatan mendorong Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyediakan pembiayaan untuk skrining atau pemeriksaan awal guna mendeteksi kanker paru-paru, yang tergolong sebagai penyakit katastropik atau penyakit yang biaya pengobatannya mahal, bagi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional.
Pada acara peringatan Hari Kanker Paru Sedunia yang diikuti melalui Zoom dari Jakarta, Selasa siang, analis kebijakan ahli muda dari Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Ratu Martiningsih mengemukakan pentingnya pendeteksian dini penyakit katastropik seperti kanker paru-paru sejak awal guna menekan biaya penanganan penyakit.
"Menteri Kesehatan menekankan pentingnya kita harus lakukan deteksi awal supaya pasien tidak mengakses fasilitas kesehatan di stadium lanjut karena bisa mengakibatkan 'bom waktu'," katanya.
"Analisis kita kalau tidak dilakukan skrining akan jadi beban besar di penghujung tahun. Biaya terpusat hanya pada kuratif saja," ia menambahkan.
Ratu Martiningsih mengatakan bahwa biaya penanganan pasien dengan penyakit katastropik seperti kanker, penyakit jantung, dan gagal ginjal pada stadium lanjut bisa mencakup hingga 20 persen dari biaya pelayanan kesehatan yang harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Menurut hasil analisis Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan, biaya perawatan pasien dengan penyakit katastropik stadium lanjut bisa menyebabkan defisit keuangan BPJS Kesehatan dalam 10 hingga 30 tahun mendatang.
Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan merekomendasikan BPJS Kesehatan menyediakan paket pembiayaan pelayanan skrining untuk mendeteksi dini penyakit katastropik guna menekan biaya penanganan penyakit-penyakit yang pengobatannya berbiaya tinggi.
"Saat ini sedang berproses pengembangan 14 paket skrining, di mana di dalamnya diatur khusus kanker paru, usus, dan lainnya," kata Ratu Martiningsih.
Menurut dia, pemerintah bersama organisasi profesi dan pemangku kepentingan terkait masih membahas skema pengalokasian dana untuk skrining penyakit katastropik agar tidak sampai membebani keuangan BPJS Kesehatan.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) Evlina Suzanna mengatakan bahwa kanker paru-paru diperkirakan diderita oleh 26.000 hingga 27.000 penduduk per tahun di Indonesia.
"Untuk pria berjumlah 21 per 100.000 penduduk. Rata-rata per tahun bertambah 21.000 kasus kanker paru dengan angka kematian 18 per 100.000 kasus atau 18.000 jiwa per tahun," katanya.
"Pada kelompok perempuan, (kanker paru-paru) berada pada urutan keenam setelah kanker payudara dan serviks," ia menambahkan.
Menurut dia, kematian akibat kanker kebanyakan terjadi akibat keterlambatan pasien mengakses fasilitas pelayanan kesehatan.
Direktur Eksekutif Riset dari Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO) Elisna Syahruddin juga mengatakan bahwa angka kematian pasien kanker paru-paru tinggi karena sebagian besar pasien datang ke fasilitas kesehatan saat kanker sudah dalam stadium lanjut.
"Tindakan yang harus kita lakukan adalah skrining pada orang yang dianggap berisiko tinggi, yakni orang berusia 45 tahun, perokok, atau eks perokok. Berikutnya umur lebih dari 40 tahun tapi memiliki riwayat kanker paru di keluarga," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2022
Pada acara peringatan Hari Kanker Paru Sedunia yang diikuti melalui Zoom dari Jakarta, Selasa siang, analis kebijakan ahli muda dari Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Ratu Martiningsih mengemukakan pentingnya pendeteksian dini penyakit katastropik seperti kanker paru-paru sejak awal guna menekan biaya penanganan penyakit.
"Menteri Kesehatan menekankan pentingnya kita harus lakukan deteksi awal supaya pasien tidak mengakses fasilitas kesehatan di stadium lanjut karena bisa mengakibatkan 'bom waktu'," katanya.
"Analisis kita kalau tidak dilakukan skrining akan jadi beban besar di penghujung tahun. Biaya terpusat hanya pada kuratif saja," ia menambahkan.
Ratu Martiningsih mengatakan bahwa biaya penanganan pasien dengan penyakit katastropik seperti kanker, penyakit jantung, dan gagal ginjal pada stadium lanjut bisa mencakup hingga 20 persen dari biaya pelayanan kesehatan yang harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Menurut hasil analisis Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan, biaya perawatan pasien dengan penyakit katastropik stadium lanjut bisa menyebabkan defisit keuangan BPJS Kesehatan dalam 10 hingga 30 tahun mendatang.
Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan merekomendasikan BPJS Kesehatan menyediakan paket pembiayaan pelayanan skrining untuk mendeteksi dini penyakit katastropik guna menekan biaya penanganan penyakit-penyakit yang pengobatannya berbiaya tinggi.
"Saat ini sedang berproses pengembangan 14 paket skrining, di mana di dalamnya diatur khusus kanker paru, usus, dan lainnya," kata Ratu Martiningsih.
Menurut dia, pemerintah bersama organisasi profesi dan pemangku kepentingan terkait masih membahas skema pengalokasian dana untuk skrining penyakit katastropik agar tidak sampai membebani keuangan BPJS Kesehatan.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) Evlina Suzanna mengatakan bahwa kanker paru-paru diperkirakan diderita oleh 26.000 hingga 27.000 penduduk per tahun di Indonesia.
"Untuk pria berjumlah 21 per 100.000 penduduk. Rata-rata per tahun bertambah 21.000 kasus kanker paru dengan angka kematian 18 per 100.000 kasus atau 18.000 jiwa per tahun," katanya.
"Pada kelompok perempuan, (kanker paru-paru) berada pada urutan keenam setelah kanker payudara dan serviks," ia menambahkan.
Menurut dia, kematian akibat kanker kebanyakan terjadi akibat keterlambatan pasien mengakses fasilitas pelayanan kesehatan.
Direktur Eksekutif Riset dari Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO) Elisna Syahruddin juga mengatakan bahwa angka kematian pasien kanker paru-paru tinggi karena sebagian besar pasien datang ke fasilitas kesehatan saat kanker sudah dalam stadium lanjut.
"Tindakan yang harus kita lakukan adalah skrining pada orang yang dianggap berisiko tinggi, yakni orang berusia 45 tahun, perokok, atau eks perokok. Berikutnya umur lebih dari 40 tahun tapi memiliki riwayat kanker paru di keluarga," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2022