Direktur Utama Perum LKBN ANTARA, Meidyatama Suryodiningrat, menilai buku "Dialektika Digital" karya Agus Sudibyo memantik diskusi tentang praktik jurnalisme di Indonesia.
"Kita membaca buku tidak mencari jawaban, namun, mendorong proses dialektika dalam pemikiran kita," kata Meidyatama, dalam bedah buku "'Frenemy' Media Massa Konvensional dan Digital" yang diadakan Forum Merdeka Barat 9, Selasa.
Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan Internasional Dewan Pers, Agus Sudibyo, menulis buku "Dialektika Digital" yang mengupas kondisi industri jurnalisme Indonesia di tengah gempuran platform digital.
"Dialektika Digital" menyoroti bagaimana industri pers bekerja dan bagaimana pengaruh platform digital terhadap konten berita. Melalui buku ini, Agus mendorong platform digital mengambil tanggung jawab yang lebih besar, mereka tidak hanya menjadi perusahaan teknologi, tapi, pada praktiknya, mereka juga menjadi penerbit (publisher).
Buku tersebut, menurut Meidyatama, memancing pembacanya bertanya tentang industri media saat ini. Ketika membahas keberlanjutan media (media sustainability), misalnya, buku ini memantik pertanyaan apakah kita sudah bertanya yang benar tentang industri dan nasib media.
"Dialektika Digital" juga memantik pertanyaan mengenai "Publisher Rights", regulasi hak cipta jurnalistik yang diajukan industri pers kepada pemerintah.
Membaca buku ini, menurut Meidyatama, menimbulkan pertanyaan apakah industri pers mengajukan "Publisher Rights" karena kalah berkompetisi dengan platform digital atau memang hak industri.
Agus Sudibyo dalam buku "Dialektika Digital" melihat ada hubungan yang kompleks antara industri media dengan platform digital sehingga dia memakai istilah "frenemy", gabungan friend (teman) dan enemy (musuh).
Perusahaan media di satu sisi berkompetisi dengan platform digital. Tapi, di sisi yang lain, mereka juga bekerja sama.
"Kita tidak bisa mengelak bahwa jurnalis, penerbit (publisher) banyak terbantu oleh platform ini dalam memproduksi konten dan mendistribusikannya," kata Agus, dalam acara yang sama.
Hubungan seperti ini menyulitkan, menurut Agus. Kehadiran platform digital adalah disrupsi bagi media konvensional. Media harus bisa bertahan menghadapi perubahan ini.
Agus menegaskan buku ini tidak menunjukkan sikap antiplatform digital, tapi, bagaimana industri media bisa membangun kemandirian secara bisnis, teknologi dan jurnalistik.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2022
"Kita membaca buku tidak mencari jawaban, namun, mendorong proses dialektika dalam pemikiran kita," kata Meidyatama, dalam bedah buku "'Frenemy' Media Massa Konvensional dan Digital" yang diadakan Forum Merdeka Barat 9, Selasa.
Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan Internasional Dewan Pers, Agus Sudibyo, menulis buku "Dialektika Digital" yang mengupas kondisi industri jurnalisme Indonesia di tengah gempuran platform digital.
"Dialektika Digital" menyoroti bagaimana industri pers bekerja dan bagaimana pengaruh platform digital terhadap konten berita. Melalui buku ini, Agus mendorong platform digital mengambil tanggung jawab yang lebih besar, mereka tidak hanya menjadi perusahaan teknologi, tapi, pada praktiknya, mereka juga menjadi penerbit (publisher).
Buku tersebut, menurut Meidyatama, memancing pembacanya bertanya tentang industri media saat ini. Ketika membahas keberlanjutan media (media sustainability), misalnya, buku ini memantik pertanyaan apakah kita sudah bertanya yang benar tentang industri dan nasib media.
"Dialektika Digital" juga memantik pertanyaan mengenai "Publisher Rights", regulasi hak cipta jurnalistik yang diajukan industri pers kepada pemerintah.
Membaca buku ini, menurut Meidyatama, menimbulkan pertanyaan apakah industri pers mengajukan "Publisher Rights" karena kalah berkompetisi dengan platform digital atau memang hak industri.
Agus Sudibyo dalam buku "Dialektika Digital" melihat ada hubungan yang kompleks antara industri media dengan platform digital sehingga dia memakai istilah "frenemy", gabungan friend (teman) dan enemy (musuh).
Perusahaan media di satu sisi berkompetisi dengan platform digital. Tapi, di sisi yang lain, mereka juga bekerja sama.
"Kita tidak bisa mengelak bahwa jurnalis, penerbit (publisher) banyak terbantu oleh platform ini dalam memproduksi konten dan mendistribusikannya," kata Agus, dalam acara yang sama.
Hubungan seperti ini menyulitkan, menurut Agus. Kehadiran platform digital adalah disrupsi bagi media konvensional. Media harus bisa bertahan menghadapi perubahan ini.
Agus menegaskan buku ini tidak menunjukkan sikap antiplatform digital, tapi, bagaimana industri media bisa membangun kemandirian secara bisnis, teknologi dan jurnalistik.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2022