Kantor adalah rumah kedua bagi para pekerja/karyawan. Karena itu suasana kantor harus dibangun senyaman mungkin agar para penghuninya betah dan mampu menghasilkan karya besar.
Kehadiran pemimpin atau atasan yang mumpuni dan baik tentunya menjadi dambaan setiap pegawai. Sayangnya sosok pemimpin yang ideal itu masih agak langka di dunia nyata. Yang banyak adalah sosok bos yang lebih kental dengan semangat berkuasa dan cenderung memerintah dalam menggerakkan anak buah.
Figur bos tidaklah cocok memimpin SDM kantoran yang berlatar belakang kalangan terdidik. Pendekatan kekuasaan hanya akan menorehkan banyak luka bagi mereka yang bekerja dengan hati. Karena manajemen SDM yang efektif haruslah dibangun dengan hati agar orang-orang berdedikasi, rela mengerahkan segenap kemampuan dan waktunya demi menunaikan tugas dengan kualitas terbaiknya.
Jika kondisi lingkungan kerja sebaliknya, akibat sikap atasan yang bossy, maka tiadalah keterikatan hati antara pegawai dengan perusahaan, dan hasil yang diberikan pun ala kadarnya, sekadar menggugurkan tugas atau hanya senilai gaji yang diberi, tidak lebih.
Beda dengan pemimpin, si bossy tidak akan memperoleh anggukan tulus dari bawahannya ketika memerintah, melainkan hormat palsu, “Siap boss”.Lalu apa saja yang membedakan pemimpin dengan bos, berikut gambaran singkatnya.
Bos
Yang biasanya paling menonjol dari sikap si bos adalah merasa berkuasa. Atas kuasa yang ia punya, maka berhak memerintah anak buah. Hubungan yang dibangun adalah atasan-bawahan, bukan pendekatan kesetaraan atau kemitraan. Tidak perlu bermodal hati, apalagi empati, cukup menggunakan “power"-nya untuk menggerakkan orang. Ancaman punishment akan menjadi jurus berikutnya bila perintah tidak dijalankan.
Bos punya penyakit sentimen, dengan tingkat ketersinggungan tinggi sebagai efek dari merasa berkuasa tadi.
Sifat si bos cenderung subyektif, memberi banyak kesempatan pada mereka yang dapat menyenangkannya dan tidak memberi ruang bagi yang pernah membantah atau mengkritiknya.
Pemimpin
Memiliki kharisma, wibawa dan disegani. Tidak perlu bicara dengan nada tinggi, untuk menggerakkan perangkat di bawahnya. Dengan bicara biasa saja semua sudah tergerak mengikuti arahannya, bahkan tidak perlu dengan nada perintah.
Dia bukan one man show, melainkan jago membangun teamwork yang solid, kompak dan produktif. Piawai memberi apresiasi meski terhadap orang yang memiliki peran kecil dalam suatu pekerjaan.
Penampilan kalem dan tenang, tapi menghanyutkan. Dehamnya saja sudah bisa membuat orang di sekitarnya ketar-ketir, kesalahan apa gerangan yang sudah dibuat oleh mereka. Kalau dia sedang bicara atau memberi pengarahan, seantero ruangan mendadak sunyi. Semua mata dan telinga tertuju padanya. Tidak ada yang berani mengobrol atau sambil main ponsel.
Bicaranya tidak banyak, tapi efektif dan mengena. Si pemimpin ini hampir tidak pernah marah, kecuali terhadap kesalahan yang sangat fatal.
Merakyat, ada waktu-waktu tertentu dia berbaur dengan anak buah tanpa batasan dan bebas becanda santai. Pemimpin yang sesungguhnya, dia dicintai sekaligus disegani.
Menjadi panutan dalam banyak hal, sikap bijaksana, perilaku tawadhu’, cara berpikir yang visioner, cara pandang yang komprehensif, cara bertindak yang adil.
Bos si toxic leader
Ketika membahas toxic leadership berarti ini tentang sosok bos. Situs web kesehatan yang berkantor di San Fransisco, California, AS, Healthline Media, menyebutkan bahwa lingkungan kerja yang beracun, salah satunya (dominan) ditimbulkan oleh atasan yang berkuasa.
Lantas seperti apa bos “beracun” yang bisa mempengaruhi lingkungan kerja menjadi tidak sehat?
Mungkin anda dapat menjumpai ciri-ciri berikut dalam realita di dunia kerja:
1. Sabotase. Bos tidak ingin anda bertumbuh kembang dalam karir yang bagus. Maka ia tidak akan memfasilitasi pegawai yang dianggap pesaing untuk memanjat tangga karirnya dengan memberi tantangan dan kesempatan.
Pakar Kecerdasan Emosi (EQ) Josua Iwan Wahyudi menyebut bos hanya ingin memanfaatkan dan menggunakan kinerja timnya untuk mengangkat dirinya sendiri naik ke puncak.
2. Mikroagresi, yaitu perundungan terselubung dengan cara melempar kata-kata bernada curiga, menuduh, meremehkan atau menyiratkan sikap tidak bersahabat.
3. Manajemen mikro. Si bos memberi tugas, tapi tidak mempercayai kemampuan pegawainya sehingga ia melakukan intervensi di setiap tahap pekerjaan.
4. Kurangnya rasa hormat, timbul karena merasa diri sebagai bos dan karyawan adalah bawahan, bukan mitra kerja yang dihargai atas kontribusi dalam ketercapaian target perusahaan.
5. Menyampaikan kritik yang tidak membangun, karena disampaikan dengan cara dan bahasa yang menjatuhkan, bahkan kadang dilakukan di depan forum, sehingga mempermalukan karyawan.
6. Minim apreasiasi, sebab bos berprinsip bahwa setiap pegawai harus bekerja maksimal untuk mencapai target tertentu. Itu merupakan tugas dan kewajibannya, dan mereka sudah digaji untuk itu, sehingga tidak perlu dipuji. Sebaliknya, bos hanya berfokus pada kesalahan yang terjadi.
7. Kepemimpinan yang ofensif, dapat melukai banyak hati pegawai akibat perilaku bos yang belum memiliki kematangan emosi.
Menurut laporan MIT Sloan Management Review baru-baru ini, budaya di tempat kerja yang beracun, lebih dari 10 kali lipat menyebabkan karyawan berhenti dari pekerjaannya daripada persoalan gaji rendah.
Namun bila paparan toksisitas hanya berasal dari bos, bukan lingkungan kerja secara keseluruhan, sebetulnya karyawan masih mungkin bertahan.
Seni bertahan
Tidak perlu buru-buru putus asa dan serta merta memutuskan untuk keluar dari pekerjaan, jika persoalannya “hanya” sosok bos yang toxic. Anggap saja sebagai tantangan dan kita bisa mengeluarkan jurus seni bertahan.
Ingatlah bahwa bos bukan satu-satunya orang yang anda temui di kantor, masih banyak rekan kerja yang menyenangkan, tulus mendukung dan menghibur kita. Bangunlah lingkungan pertemanan yang solid, agar tak merasa menderita sendirian, bersama mereka bisa saling berbagi cerita dan kekesalan.
Jurus berikutnya adalah mencintai profesi yang kita geluti. Dengan kekuatan cinta, maka kesakitan yang ditimbulkan oleh pihak eksternal tidak akan terasa, karena kita fokus berkarya sehingga membuahkan kepuasan batin dan kebanggaan tersendiri.
Kemudian bersyukur, memiliki pekerjaan apalagi dalam bidang yang kita sukai, itu merupakan anugerah. Kalaupun kadang lelah terlibat konflik di lingkungan kerja, setidaknya itu masih lebih baik, karena mungkin banyak pengangguran di luaran sana lebih lelah dalam mencari pekerjaan.
Kemudian, yang tak kalah penting dan jangan lupa adalah lakukan penyembuhan diri dengan berekreasi. Dalam sehari setidaknya anda menghabiskan 8 jam untuk bekerja atau sepertiga hari. Bila lingkungan kerja tidak sehat, sudah barang tentu akan mempengaruhi kesehatan mental.
Menurut pakar EQ Josua, seorang toxic leader dapat menyedot energi emosi tim kerjanya.
Maka jangan menunggu hingga gila, manfaatkan waktu libur untuk bergembira dan memulihkan kesehatan jiwa.
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2023