Jakarta, (ANTARAGORONTAL;O) - Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menilai bahwa Mahkamah Agung (MA) tidak konsisten mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan sehingga membuka celah pemberian suap di badan lembaga peradilan tersebut.

"Di MA itu banyak, sebenarnya mereka tidak konsisten dengan prosedur yang mereka sudah buat, semua sudah ada kok, apa yang tidak diatur di republik ini? Kita tidak konsisten saja semuanya," kata Saut di Jakarta.

Pernyataan itu disampaikan menyusul dua kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK di tubuh MA, pertama adalah OTT terhadap Kepala Subdirektorat Kasasi dan Peninjauan Kembali MA Andri Tristianto Sutrisna pada 12 Februari dalam kasus dugaan penerimaan suap terkait dengan permintaan penundaan salinan putusan kasasi suatu perkara.

Kedua adalah tertangkapnya panitia/sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Edy Nasution pada tanggal 20 April 2016 terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji yang diduga terkait dengan pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) yang didaftarkan di PN Jakpus. KPK juga sudah mengirimkan surat permintaan cegah kepada Sekretaris MA Nurhadi terkait perkara tersebut.

"Saya bilang gambar besarnya 'criminal justice system' kita masih bermasalah. Mulai dari menangkap orang sampai memenjarakan. Bikin tobat tidak ini semua? Coba jujur saja kita di sini? Karena itu tidak buat efek jera. Kamu kan tahu di penjara mereka duduk-duduk, bayar sekian, tetapi itu bukan kompetensi kami, kecuali ada korupsinya," ungkap Saut.

Saut mengungkapkan bahwa KPK hanya bisa masuk ke ranah pencegahan, kecuali bila ada orang dalam lembaga peradilan itu yang melakukan korupsi.

Terkait dengan kasus suap kepada pansek PN Pusat Edy Nasutioon, Saut menilai hal itu terjadi karena belum ada sistem untuk mengoreksi pengajuan PK.

"PK itu kan dengan sistem hukum kita yang masih 'check and balance' belum jalan," ungkap Saut.

Namun, KPK hingga saat ini belum mengungkapkan apa kasus perdata yang melibatkan dua perusahaan yang berperkara di PN Jakpus itu.

"Orang konglomerat, konglomerat juga. Jangan spesifik di kasus itu masih didalami, kalian hanya menangkap sinyalnya, kami sudah mulai mencekal artinya apa?" tambah Saut.

KPK melakukan OTT pada hari Rabu (20/4) di Hotel Accacia Jalan Kramat Raya Jakpus dan mengamankan pansek PN Jakpus Edy Nasution dan seorang swasta Doddy Aryanto Supeno. Penangkapan dilakukan seusai Doddy memberikan uang Rp50 juta kepada Edy dari komitmen seluruhnya Rp500 juta.

Setelah penangkapan, KPK juga menggeledah empat tempat, yaitu di Kantor Paramont Enterprise International di Centra Business District Jalan Gading Serpong Boulevard, Tangerang; kedua, di kantor Edy Nasution di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; ketiga rumah Sekretaris MA Nurhadi di Jalan Hang Lekir; dan keempat ruang Nurhadi Gedung MA Jakarta Pusat.

Dalam perkara ini KPK menetapkan dua tersangka, yaitu Edy Nasution dengan sangkaan Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sebagai pemberi suap adalah Doddy Aryanto Supeno dengan sangkaan Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 5 Ayat (1 b) atau Pasal 13 UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1.

Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Pewarta:

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016