Gorontalo,  (ANTARA GORONTALO) - Siang itu, Samue Poponu, warga Desa Hutadaa Kabupaten/Provinsi Gorontalo memilih untuk melepas lelah di sebuah dermaga di tepi Danau Limboto, Kecamatan Limboto.

Ia bersama istrinya hari itu pulang dengan membawa ikan jenis manggabai (glossogobius giurus). Hanya tujuh ekor, dengan ukuran hanya sekitar 7-9 centimeter.

"Ini hasil mencari ikan sejak Subuh tadi. Sekarang danau tidak bisa diharapkan lagi untuk menyambung hidup. Nelayan lain kenyang dengan cara merusak, yang tidak merusak justru kelaparan," katanya, lalu menatap jauh ke arah danau.

Dari ratusan jaring apung yang berada di danau, tak satupun dimiliki oleh pria paruh baya itu. Ia hanya ingin memancing dan menangkap ikan dengan cara tradisional, untuk memenuhi kebutuhan lauk sehari-hari.

"Kalau dapat ikan banyak, yang lain dijual. Kalau hanya sedikit ya dimakan saja. Saya sebenarnya marah melihat nelayan yang menggunakan pukat harimau, karena ikan yang paling kecil pun bisa terjaring dan dibuang percuma," ungkapnya.

Sayangnya, kata dia, penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan itu belum pernah ditindak tegas oleh aparat yang berwenang.



Terancam Punah

Penangkapan ikan dengan bom dan pukat, perburuan burung, pencemaran air danau oleh limbah rumah tangga, eceng gondok, penyusutan, dan pendangkalan adalah sederet masalah yang ada di danau itu.

Beberapa peneliti memprediksi, danau ini tak bisa bertahan lama. Tahun 2025 bahkan diprediksi berubah menjadi daratan sepenuhnya.

Tahun 2013 Danau Limboto ditetapkan menjadi satu dari 15 danau kritis di Indonesia, karena mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dan penyusutan luas yang terpamang jelas di depan mata.

Berdasarkan data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), luas Danau Limboto sampai tahun 2007 sebesar 2.537,152 hektare, dengan kedalaman sekitar 2,5 m sedangkan luas daerah tangkapan air sekitar 900 km2.

Pada tahun 1932 rata-rata kedalaman Danau Limboto 30 meter dengan luas 7.000 hektare, dan tahun 1961 rata-rata kedalaman Danau berkurang menjadi 10 meter dan luas menjadi 4.250 hektare.

Pada tahun 2003, luasnya berkurang menjadi 3.054 hektare dengan kedalaman 4 meter.

Perubahan signifikan terjadi pada tahun 2014 dengan luas danau tersisa 2.537 hektare dan kedalamannya 2-2,5 meter.

Di danau ini hidup sedikit-dikitnya ada sembilan jenis tumbuhan air, serta 12 jenis ikan terdiri empat spesies, di antaranya bersifat endemik.

Di sisi lain, serangan eceng gondok menjadi pemicu cepatnya pendangkalan di danau tersebut.

Kepala Bidang Pengkajian dan Penataan Lingkungan Badan Lingkungan Hidup dan Riset Daerah (BLHRD) Provinsi Gorontalo Nasruddin, mengatakan sekitar 70 persen permukaan Danau Limboto sekarang tertutup eceng gondok.

Persebaran tanaman gulma air tersebut terdapat di bagian Barat, Tengah, Tenggara dan Utara danau. Tanaman tersebut mempercepat evaporasi (penguapan) air danau. Eceng gondok yang telah mengering atau mati juga mempercepat pendangkalan, karena sisa tumbuhan itu akan turun dan mengendap di dasar danau.



Menyelamatkan Danau

Rumitnya masalah di danau tersebut, membuat berbagai kalangan resah. Muncul berbagai suara untuk menyelamatkan danau, dengan mendesak pemerintah daerah untuk memperbaiki kawasan hulu, memprioritaskan pemulihan keanekaragaman hayati hingga menerapkan regulasi yang sudah ada yakni Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Danau Limboto.

Pemerintah Provinsi Gorontalo sendiri berencana merevisi perda itu, karena dianggap tidak relevan lagi dengan kebutuhan untuk menyelamatkan danau.

"Perlu ada revisi dan penyempurnaan rencana aksi yang telah disusun sebagai implementasi kebijakan tersebut. Ini yang kami mintakan masukan dari berbagai unsur, agar perda ini efektif," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Gorontalo, Budi Sidiki.

Sementara itu, Forum Biodiversitas Gorontalo mengusulkan Danau Limboto sebagai kawasan perlindungan satwa liar, karena menjadi salah satu pusat keanekaragaman hayati di daerah itu.

"Kekayaan biota di danau ini tidak diragukan lagi, karena masuk dalam Wallcea. Yang menjadi persoalannya sekarang adalah bagaimana caranya agar satwa di kawasan ini tidak punah," kata anggota forum, Iwan Hunowu.

Menurutnya pemerintah daerah perlu melakukan perlindungan di kawasan ini, dengan melibatkan berbagai pihak terutama warga yang tinggal di wilayah pesisir.

Anggota forum lainnya, Rosyid Azhar berharap pemerintah memberi ruang kepada pihak lain dalam berkontribusi menyelamatkan danau yang sedang kritis itu.

Selama ini, lanjutnya, pemda hanya melihat danau sebagai penghasil ikan air tawar liar dan budi daya yang potensial. "Padahal danau ini kaya sekali. Tidak hanya ikan, tapi burung, amfibi dan reptil juga melimpah. Saatnya Danau Limboto diproteksi dengan menerapkan regulasi," ungkapnya.

Kawasan ini juga menjadi jalur migrasi burung-burung penjelajah, yang terbukti dengan adanya burung yang telah ditandai di Australia namun bisa terpantau di Danau Limboto.

Dalam hal pemulihan kawasan hulu aktivis lingkungan di Gorontalo, Rahman Dako menyoroti beroperasinya perusahaan sawit di Kecamatan Bongomeme Kabupaten Gorontalo.

Rahman menilai keberadaan sawit akan mempercepat kerusakan danau bagian hilir, yang berdampak pada lemahnya ekonomi nelayan dan warga pesisir.

Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bone Bolango, M Saparis Soedarjanto mendorong warga menanam bambu kuning, sebagai salah satu langkah memulihkan kondisi Danau Limboto di bagian hulu.

Menurut dia danau kritis akibat perambahan hutan di bagian hulu, sehingga sering terjadi erosi dan membawa sedimen ke danau.

"Bambu kuning akan mencegah terjadinya erosi. Kalau ditanam di sekitar tebing sungai yang ada di bagian hulu, maka ini akan membantu mengurangi sedimen yang masuk ke danau," jelasnya.

Yang tersisa dari Danau Limboto adalah harapan dan niat tulus agar danau ini kembali pulih, ikannya banyak, bisa menjadi harapan menyambung hidup masyarakat sekitar.

Pewarta: Debby Hariyanti Mano

Editor : Hence Paat


COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2016