Direktur Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Rizka Andalusia mengatakan, kolaborasi antara peneliti dan industri penting guna memenuhi ketersediaan vaksin yang bermanfaat bagi kesehatan publik, termasuk Muslim di dunia yang membutuhkan perlindungan jaminan halal.
Oleh karena itu, kata Rizka dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa, pihaknya mendukung upaya peningkatan kolaborasi tersebut, seperti melalui Program Fellowship Penelitian dan Pelatihan Teknologi Virologi dan Vaksin Batch ke-3.
“Indonesia merupakan negara yang sedang meningkatkan ekosistem penelitian dan manufaktur vaksin, yang telah berhasil menghasilkan delapan dari 14 antigen imunisasi dan empat di antaranya telah Pra-Kualifikasi WHO,” ujarnya.
Adapun program tersebut merupakan hasil kerja sama antara Kementerian Kesehatan dengan sejumlah pihak, yaitu Standing Committee for Scientific and Technological Cooperation (COMSTECH), PT Bio Farma, dan Universitas Padjadjaran selaku pusat riset vaksin OKI.
Program ini juga didukung oleh berbagai pemangku kepentingan lainnya seperti BRIN, UNAIR, ITB, UI, serta pelaku industri vaksin seperti Etana dan Kalbe. Sebanyak 12 peneliti dari sembilan negara anggota OKI, antara lain Indonesia, Malaysia, Mesir, Pakistan, Somalia, Tanzania, dan Uganda, turut berpartisipasi di program itu.
Dia menilai, program itu, yang telah berlangsung selama tiga tahun, merupakan wujud nyata kolaborasi untuk memproduksi vaksin dengan jaminan halal bagi komunitas dan negara-negara Islam.
Dalam keterangan yang sama, Deputi CEO PT Bio Farma Soleh Ayubi juga menyatakan bahwa dibutuhkan kolaborasi berbagai pihak untuk menciptakan ekosistem yang dapat menyelesaikan berbagai masalah kesehatan besar seperti pandemi.
Soleh Ayubi menambahkan, setidaknya ada tiga hal yang harus menjadi perhatian peneliti vaksin agar hasil penelitian dapat diimplementasikan menjadi sebuah produk industri, pertama adalah kemampuan untuk memahami dan menghubungkan laboratorium dengan perusahaan.
Kedua, ujarnya, memahami berbagai aspek peraturan setempat terkait sistem evaluasi produk obat-obatan.
"Saya harap peserta juga mempelajari aspek GMP atau aspek praktik manufaktur yang baik,” dia menuturkan.
Salah satu peserta, Mwambi Bashir dari Islamic University in Uganda, menyatakan bahwa sekembalinya dari program ini, ia akan mempromosikan pentingnya penggunaan vaksin kepada masyarakat.
“Jika kita ingin mendorong masyarakat untuk menerima vaksin, kita harus menekankan pentingnya inklusivitas nilai agama, budaya, dan kepercayaan dalam masyarakat,” ujar Mwambi.
Mwambi menyebut bahwa program tersebut adalah hal yang menarik bagi negara-negara OKI, khususnya produksi vaksin yang menekankan pada kehalalan.
Selain itu, dia mengaku telah melihat dan memperoleh pengetahuan langsung tentang bagaimana perusahaan vaksin di Indonesia telah berkomitmen menghasilkan vaksin halal untuk komunitas Muslim dunia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kemenkes: Kolaborasi kunci pemenuhan vaksin yang halal
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024
Oleh karena itu, kata Rizka dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa, pihaknya mendukung upaya peningkatan kolaborasi tersebut, seperti melalui Program Fellowship Penelitian dan Pelatihan Teknologi Virologi dan Vaksin Batch ke-3.
“Indonesia merupakan negara yang sedang meningkatkan ekosistem penelitian dan manufaktur vaksin, yang telah berhasil menghasilkan delapan dari 14 antigen imunisasi dan empat di antaranya telah Pra-Kualifikasi WHO,” ujarnya.
Adapun program tersebut merupakan hasil kerja sama antara Kementerian Kesehatan dengan sejumlah pihak, yaitu Standing Committee for Scientific and Technological Cooperation (COMSTECH), PT Bio Farma, dan Universitas Padjadjaran selaku pusat riset vaksin OKI.
Program ini juga didukung oleh berbagai pemangku kepentingan lainnya seperti BRIN, UNAIR, ITB, UI, serta pelaku industri vaksin seperti Etana dan Kalbe. Sebanyak 12 peneliti dari sembilan negara anggota OKI, antara lain Indonesia, Malaysia, Mesir, Pakistan, Somalia, Tanzania, dan Uganda, turut berpartisipasi di program itu.
Dia menilai, program itu, yang telah berlangsung selama tiga tahun, merupakan wujud nyata kolaborasi untuk memproduksi vaksin dengan jaminan halal bagi komunitas dan negara-negara Islam.
Dalam keterangan yang sama, Deputi CEO PT Bio Farma Soleh Ayubi juga menyatakan bahwa dibutuhkan kolaborasi berbagai pihak untuk menciptakan ekosistem yang dapat menyelesaikan berbagai masalah kesehatan besar seperti pandemi.
Soleh Ayubi menambahkan, setidaknya ada tiga hal yang harus menjadi perhatian peneliti vaksin agar hasil penelitian dapat diimplementasikan menjadi sebuah produk industri, pertama adalah kemampuan untuk memahami dan menghubungkan laboratorium dengan perusahaan.
Kedua, ujarnya, memahami berbagai aspek peraturan setempat terkait sistem evaluasi produk obat-obatan.
"Saya harap peserta juga mempelajari aspek GMP atau aspek praktik manufaktur yang baik,” dia menuturkan.
Salah satu peserta, Mwambi Bashir dari Islamic University in Uganda, menyatakan bahwa sekembalinya dari program ini, ia akan mempromosikan pentingnya penggunaan vaksin kepada masyarakat.
“Jika kita ingin mendorong masyarakat untuk menerima vaksin, kita harus menekankan pentingnya inklusivitas nilai agama, budaya, dan kepercayaan dalam masyarakat,” ujar Mwambi.
Mwambi menyebut bahwa program tersebut adalah hal yang menarik bagi negara-negara OKI, khususnya produksi vaksin yang menekankan pada kehalalan.
Selain itu, dia mengaku telah melihat dan memperoleh pengetahuan langsung tentang bagaimana perusahaan vaksin di Indonesia telah berkomitmen menghasilkan vaksin halal untuk komunitas Muslim dunia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kemenkes: Kolaborasi kunci pemenuhan vaksin yang halal
COPYRIGHT © ANTARA News Gorontalo 2024